Google
 

Selasa, 12 Desember 2006

Pengobatan Tersandung Masalah

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan HIV positif, membuatnya makin terpuruk. Banyak kendala kesehatan yang jadi batu sandungan pada pengobatannya.


Hasrat Tini ( 28 tahun) untuk untuk memiliki anak dengan pasangannya, ternyata tak mudah diwujudkan. Ternyata, obat antiretroviral (ARV) jenis Evafirenz yang dikonsumsi sejak mengetahui dirinya terinfeksi HIV, membuyarkan keinginannya memberi adik laki-laki bagi dua anak perempuannya. Perempuan yang diduga terinfeksi HIV dari penggunaan narkoba suntik itu, mengaku tak tahu kalau obat yang sebenarnya dikonsumsi untuk menekan perkembangan virus dalam tubuhnya akan membuat kandungannya kering.

Meski demikian, Tini tak putus asa. Atas pertimbangan dokter dan konselornya, Tini memutuskan untuk mengganti obat ARV-nya dengan kombinasi jenis lain. “Walaupun kita statusnya Odha (orang dengan HIV & AIDS), harapan untuk punya anak kan ada,” pikirnya saat itu. Tak lama setelah mengganti obatnya, Tini malah mengalami efek samping yang lumayan berat. Tumbuh bercak kehitaman di sekujur tubuhnya, kandidiasis (sejenis jamur) pada lidahnya dan permukaan bibirnya pecah-pecah. Tini bahkan tak bisa menyantap makan. Tini berpikir ulang. Ia akhirnya memutuskan kembali pada jenis obat lamanya, Evafirenz.

Tak cuma Tini yang mengalami masalah itu. Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati Merati, mengaku sering menemukan kasus serupa. Dokter penemu kasus HIV pertama di Indonesia pada 1987 itu mengakui, ada beberapa jenis obat ARV yang berefek pada keringnya kandungan. Hal itu disebabkan karena ada reaksi yang menyebabkan respon hormon menjadi lambat. Jenis Evafirenz misalnya, tidak boleh dikonsumsi oleh Odha perempuan yang ingin memiliki anak. Pada perempuan, obat jenis ini membuat hormon tidak normal sehingga pematangan sel telur tidak terjadi. Ini membuat pengkonsumsinya sulit hamil.

Permasalahan Odha perempuan, menurut Tuti, sangat kompleks. Tak cuma menyangkut masalah medis, tetapi juga sosial dan psikologis. Sebuah kasus sempat membuat Tuti miris. Seorang Odha perempuan, sebut saja Wayan Parni, awalnya sudah dengan tegas menyatakan bahwa ia tak ingin lagi memiliki anak. Ketegasan itu membuat Tuti yakin untuk memberikan obat jenis evafirenz kepada pasiennya yang sudah cukup berumur itu. Namun setelah lama berselang, Parni tiba-tiba datang meminta obatnya diganti dengan jenis lain. Alasannya, suaminya ingin punya anak lagi. Pertimbangan efek samping yang terlalu keras, membuat Tuti enggan memenuhi keinginan pasiennya itu. “Saya bilang, pikir dulu. Efek sampingnya nggak ringan,” kenang Tuti. Karena terus mendesak, Parni akhirnya diperbolehkan mengganti obatnya. Benar saja, tak lama setelah menggenti obatnya, Parni lantas mengalami efek samping luar biasa yang membuatnya tergolek berhari-hari di rumah sakit. “Dia cuma bilang, saya harus bagaimana lagi. Suami saya ingin punya anak lagi,” jelas Tuti.

Direktur Klinik Kesehatan Reproduksi Yayasan Rama Sesana, Luh Putu Upadisari, juga menegaskan besarnya dampak sosial dan psikologis yang membuat Odha perempuan terpuruk dalam proses pengobatannya. Tekanan sosial dan psikologis yang kuat, cenderung menghambat pengobatan dan perawatan Odha perempuan.
Sejumlah perempuan HIV positif juga kerap mengalami berbagai macam masalah saat haid. Mulai dari pendarahan yang berlangsung lebih lama daripada biasa, pendarahan waktu tidak haid, masa haid yang lebih cepat, haid yang lebih ringan dengan lebih lama antara masa haid, haid yang kadang kala tidak terjadi, bahkan haid yang tidak terjadi sama sekali. Ayu misalnya. Perempuan HIV positif yang juga mantan pengguna narkoba suntik itu, mengaku haidnya tidak teratur. Ia juga mengalami sakit perut luar biasa saat haid. Menurutnya, itu terjadi sejak ia tahu dirinya terinfeksi HIV. Marni, sebut saja begitu, juga pernah bermasalah dengan haidnya. Akibat terinfeksi HIV, perempuan asal Buleleng yang terinfeksi HIV dari suaminya, sempat tidak haid berbulan-bulan. Namun sejak mengikuti terapi ARV, Marni tak lagi mengalami masalah haid. “Sekarang lancar-lancar aja. Rutin tiap bulan,” ujar ibu satu anak itu.

Dokter Sari, sapaan akrab Upadisari, menjelaskan permasalahan haid pada Odha pada dasarnya disebabkan oleh sistem hormon yang tidak normal. Bisa karena efek obat ARV, gangguan trombosit, ditambah lagi dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun. Pada perempuan HIV positif yang mengalami gangguan trombosit (pembekuan darah), perdarahan saat haid dapat menjadi jauh lebih banyak. Gangguan trombosit juga bisa terjadi karena efek samping terapi ARV. Kalau sudah begini, anemia atau kekurangan hemoglobin (Hb) bisa terjadi. Anemia menyebabkan kelelahan, sesak napas dan pusing. “Secara alami, Odha sudah mengalami penurunan kekebalan tubuh. Jadi jumlah leukosit di dalam tubuhnya sudah rendah. Itu akan menambah keterpurukan daya tahan tubuhnya. Dia akan menjadi lemah, menjadi gampang terinfeksi, gampang kena penyakit lain,” terang sari.

Beberapa perempuan HIV positif juga tidak menstruasi dalam jangka waktu lama. Ini terjadi karena secara umum pada perempuan HIV positif, respon hormonnya cenderungb lambat. Bisa karena efek ARV, bisa juga karena daya tahan tubuh yang berkurang. Pasalnya, menstruasi sangat berhubungan dengan pembentukan hormon estrogen dan progesteron. Perempuan pada tahap AIDS, lebih mungkin mengalami perdarahan yang tidak teratur. Kehilangan berat badan, terutama kehilangan lemak, juga dapat mempengaruhi haid. Penggunaan narkoba dan stress terus menerus, juga dapat menyebabkan haid yang tidak teratur.

Jenis infeksi oportunistik lain, jelas Sari, menghantui kesehatan Odha perempuan. Kanker leher rahim misalnya. HIV memudahkan seorang perempuan HIV positif menderita kanker leher rahim. Ini karena sistem kekebalan tubuhnya yang terganggu. Dijelaskan Sari, dengan infeksi virus HIV, sifat leher rahim menjadi lebih rentan terhadap infeksi menular seksual. Salah satu infeksi yang disinyalir menyebabkan kanker leher rahim adalah ppapiloma virus, atau katrib disebut jengger ayam. Perempuan yang pernah terkena IMS, cenderung lebih mudah terkena kanker leher rahim. Karenanya, penting bagi setiap perempuan, terutama perempuan HIV positif, untuk rutin melakukan papsmear. “Karena perubahan sel yang terjadi di leher rahim bersifat periodik. Jadi kalau kita lengah di saat tertentu, siapa tahu saat itu justru terjadi perubahan sel, infeksi atau yang lain, tegas Sari mengingatkan.

Odha perempuan perokok, memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk terkena kanker leher rahim. Kandungan nikotin dalam rokok, memudahkan terjadinya perubahan sel secara umum. Rokok juga berhubungan dengan radikal bebas yang beredar di tubuh, yang juga menyebabkan perubahan sel berlebihan.
Akses informasi yang sangat minim, menjadi kendala serius dalam pengobatan dan perawatan perempuan HIV positif. Bahkan, cenderung terjadi persaingan pengobatan yang menghambat pengobatan oleh dokter. Contoh sederhana, pengobatan keputihan yang dianggap cukup dengan daun sirih. Beban sosial yang lebih berat di puindah perempuan Odha, menambah kendala. Di komunitas masyarakat Bali misalnya, masih ada kecenderungan mengutamakan pendidikan laki-laki. Meski kecenderungan itu sudah berkurang, namun menurut Sari, masih ada sebagian masyarakat yang cenderung mengutamakan pendidikan anak laki-lakinya. “Itu yang membuat, secara tidak langsung, perempuan menjadi semakin terpuruk dengan informasinya,” tandasnya.

Permasalahan yang dihadapi perempuan HIV positif, tidak sesimpel kelihatannya. Meski demikian, dukungan orang sekitar akan sangat penting untuk mewujudkan harapan mereka. Seperti Tini, yang masih berharap mendapat anak ketiga dari rahimnya. “Siapa tahu nanti, kalau kita punya rejeki, Tuhan menghendaki, umur kita masih panjang, Aku masih ingin punya anak laki-laki,” begitu Tini. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 23,Desember 2006]

Tidak ada komentar: