Google
 

Minggu, 20 Maret 2005

Pesona Kintamani Ternoda Bangunan Jurang

Siapa tak mengenal Kintamani, sebuah obyek wisata yang menawarkan view menawan dengan keelokan pesona Gunung Batur beserta danaunya. Sayangnya, seiring dengan perkembangan sektor usaha di obyek yang terletak di Kabupaten Bangli ini, pembangunan fisik pun makin tak terkendali. Keindahan alam yang menjadi investasi terkuat dari pariwisata Kintamani, seolah hendak 'dibumi-hanguskan' oleh generasi kini. Benarkah?

SEJAK beberapa tahun lalu, status kawasan wisata yang dimiliki Kintamani sempat diubah oleh Pemerintah Propinsi Bali menjadi hanya 'stop over' atau persinggahan. Targetnya, tentu tak lain agar tidak ada pembangunan sarana akomodasi, khususnya penginapan, di tempat tersebut. Mengingat kondisi alam yang didominasi jurang, pembangunan sarana fisik secara berlebihan tentu akan merusak alam sekitar. Tak hanya berarti ancaman kerusakan lingkungan bagi masyarakat sekitar, kerusakan juga secara otomatis akan menurunkan daya tarik wisata.
Ironisnya, perubahan status tersebut bukannya menyetop pembangunan sarana fisik di Kintamani. Sebaliknya, pembangunan sarana fisik bahkan makin tak terkendali paska perubahan status itu. Berbagai jenis bangunan fisik, dibangun tepat di bibir jurang. Pembangunan restoran, artshop dan lainnya, seolah berlomba untuk mendapat view terbaik dari Gunung dan Danau Batur.
Pengusaha asal Kintamani yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bangli, I Wayan Gunawan, mengaku heran dengan kondisi tersebut. Pasalnya, dicoretnya status Kintamani menjadi salah satu kawasan wisata Bali, seharusnya mampu mengendalikan pembangunan sarana fisik di Kintamani. "Anehnya, setelah diubah statusnya, pembangunannya malah tidak terkendali," keluhnya. Kondisi Kintamani kini, menurutnya sudah sangat berbeda dengan 30 tahun lalu sejak usaha restorannya baru dibangun di Kintamani.
Dikatakan, pemerintah dan masyarakat saat ini cenderung membicarakan investasi sebagai sebuah kapital (modal dana). Tak banyak orang yang menyadari bahwa sumber daya alam yang ada merupakan investasi yang paling mahal dan berharga. Akibatnya, tak banyak pihak yang kini berusaha menjaga alam tersebut, sebagai sebuah warisan berharga dari generasi lalu. Gunawan menegaskan perlunya langkah-langkah preventif agar jangan warisan yang harusnya akan diwariskan kembali kepada generasi mendatang itu, 'dibumi-hanguskan' oleh generasi sekarang. "Jangan sampai warisan yang nantinya akan kita berikan untuk generasi mendatang ini, 'dibumi-hanguskan' hanya untuk kepentingan sesaat generasi sekarang," tandasnya.
Kondisi tersebut menurutnya perlu segera ditangani. Pemerintah sebagai pihak berwenang, harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah kehancuran Kintamani. Pasalnya, pembangunan di Kintamani terus berkembang setiap detik. Lampu hijau dari pemerintah untuk membangun berbagai saran fisik tersebut, jelasnya, membuat para pengusaha pariwisata berlomba menggunakan peluang bisnis tersebut. Hal itu wajar, karena pertimbangan utama pengusaha adalah kapitalisasi modal. Jangan salahkan pengusahanya. Kalau memang diberi peluang, setiap pengusaha pasti akan menggunakan peluang bisnis itu. Jadi kuncinya ada di pemerintah," tegas pria yang juga anggota DPRD Bali ini.
Namun Gunawan menyesalkan lemahnya 'political will' pemerintah, khususnya Pemkab Bangli, untuk menangani masalah itu. Dikatakan, selama ini Pemkab Bangli seringkali berdalih tak ada Perda yang bisa menjadi dasar untuk menindak pembangunan fisik di kawasan tepi jurang Kintamani itu. Dalih itu dinilai tak wajar, karena banyak aturan umum yang seharusnya menjadi 'senjata' pemerintah untuk menindak pembangunan yang merusak itu. "Kan bisa pakai aturan sempadan jalan dan sempadan jurang. Itu seharusnya bisa jadi daya tangkal," tegasnya. [Ni Komang Erviani / dimuat di Harian Warta Bali]

Tidak ada komentar: