Google
 

Rabu, 09 Maret 2005

Tak Lelah Lapas Mengajak Pulih

Beragam program rehab dilaksanakan di blok khusus narkoba. Tapi penghuni blok tersebut hanya 45 orang, sementara jumlah warga binaan yang tersandung kasus narkoba mencapai 327 orang.

Seperti hari-hari sebelumnya, Rudi, 26 tahun, bangun pagi pada Jumat, akhir Februari 2005 lalu. Pria ceking berambut gondrong dan kriting ini bergegas ke kamar mandi di sebelah selnya. Sekadar cuci muka dan gosok gigi. Pagi itu, Rudi dan 44 orang penghuni blok H lainnya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II A Kerobokan, harus mengikuti kegiatan yoga, salah satu bagian dari program rehab narkoba oleh Kelompok Kerja (Pokja Lapas).

Tak lama berselang, instruktur yoga dari perkumpulan Ananda Marga Yoga datang bersama Pokja Lapas, AA Gd. Hartawan. Beragam reaksi tersirat dari wajah Rudi dan teman-temannya. Ada yang terlihat senang, ada pula yang memandang sinis. Tanpa diberi aba, beberapa penghuni bergegas membentangkan selimut mereka di lantai, lalu duduk manis di atasnya. Namun tak sedikit pula yang ogah-ogahan.
“Ayo-ayo cepat,” teriak Hartawan. “Kalau yang nggak ingin ikut, diam aja di kamar, daripada mengganggu,” tambah I Putu Hardianto, sang instruktur. Setelah sekitar lima menit menunggu, Hartawan lantas mengabsen mereka. Jumlahnya ternyata hanya 41 orang. Empat orang penghuni lainnya, tampaknya enggan mengikuti olah raga penguatan konsentrasi itu.

Tapi itu bukanlah masalah. Sang instruktur memutuskan untuk memulai kegiatan. Dimulai dengan sikap asana (duduk bersila dengan badan tegak), konsentrasi peserta coba dikuatkan. Tapi ada saja yang usil. Entah sengaja atau tidak, beberapa peserta justru menguap dengan keras saat yoga sudah dimulai. “Kalau yang nggak mau ikut, masuk kamar aja,” teriak Hardianto, menyindir. Namun lambat laun, para warga binaan itu pun larut dalam keasyikan yoga.
Yoga bukan hal baru baru Rudi dan rekan-rekannya. Yoga sudah menjadi kegiatan rutin Jumat pagi bagi penghuni blok khusus narkoba itu sejak Oktober tahun lalu, dan menjadi bagian dari program rehab narkoba di sana. Hardianto mengakui, yoga tak serta merta membuat napi lepas dari jerat narkoba. Yoga lebih berfungsi sebagai upaya penguatan pikiran, sehingga mereka diharapkan bisa membedakan mana hal yang baik dan tidak untuk mereka.

Rudi sendiri mengakui manfaat yang dirasakannya dari mengikuti yoga dan beragam kegiatan rehab narkoba lainnya. “Setelah yoga, jadi lebih segar aja,”jelas Rudi. Sebelum mengenal Yoga, Rudi hanyalah napi narkoba yang menyerah dengan kecanduannnya, pun di Lapas. Ia tertangkap dan dijebloskan ke hotel prodeo itu pada 2003 lalu gara-gara vonis 1 tahun 9 bulan oleh pengadilan.

Rudi menjelaskan, kehidupan di lapas pada awalnya sangat berat. Namun beberapa bulan setelahnya, ia mulai mengikuti kegiatan rehab di blok H. Kegiatan pertama yang diikutinya adalah Just For Today (JFT), ajang curhat para pecandu di lapas tentang apa yang dirasakan dan telah dilakukannya hari itu. “Pertama-tama ya saya bingung, kok orang –orang mau ngomong kejelekannya sendiri. Tapi lama-lama saya menikmati, lama-lama saya juga ikut aktif,”tuturnya.

Menurut Hartawan yang juga dokter di klinik setempat, kegiatan rehab narkoba di lapas bermula dari banyaknya warga binaan yang terinfeksi HIV pada tahun 2000, yakni 35 orang. Data yang diumumkan pada 2001 itu kontan membuat heboh, sehingga sejumlah program pencegahan penularan HIV dibuat. Program narcotics anonymus (sharing antar pecandu) masuk ke lapas, mengisi beberapa jam kosong warga binaan setiap Selasa. Program yang awalnya dikoordinir Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu, hingga kini tetap berjalan di bawah koordinasi Yayasan Hati Kita (Yakita) Bali.

Sayangnya, program tersebut tak langsung direspon positif penghuni lapas. Karena saat itu belum ada blok khusus narkoba, Hartawan mengaku harus menjemput sejumlah pecandu di lapas untuk diajak mengikuti program itu. “Waktu itu banyak yang lari, sembunyi. Jadi nggak efektif,” tandasnya. Dari sana pula muncul ide pembentukan blok khusus narkoba.

Ide itu mulanya ditolak. Namun setelah pergantian pimpinan lapas, pada Maret 2002, pembentukan blok khusus narkoba akhirnya terealisasi, atas dasar kekhawatiran terhadap penyebaran virus HIV/AIDS. Tak hanya di Kerobokan, kasus HIV/AIDS juga merebak di beberapa LP atau rumah tahanan (rutan) lainnya di Bali. Penularannya semakin cepat karena napi yang terinfeksi tidak mengetahui status penyakitnya dan belum ada program khusus menangani HIV/AIDS dari Departemen Kehakiman dan HAM.

Dibentuklah Pokja Lapas/Rutan Bali yang bergerak dalam bidang pencegahan HIV/AIDS, narkoba, dan dukungan Orang dengan HIV/AIDS (Odha). Pokja ini beranggotakan Ketua LP di lokasi kegiatan yakni LP Klas IIA Denpasar, jamak dikenal dengan LP Kerobokan, LP Klas IIB Singaraja, Rutan Bangli, dan Negara serta sejumlah LSM seperti Yakeba, Yakita, Yayasan Hatihati, dan Bali+.
Dikatakan Hartawan, ada tiga komponen pendekatan yang diterapkan secara bersama-sama, yaitu supply reduction (pengurangan pemasukan), demand reduction (pengurangan permintaan), dan harm reduction (pengurangan dampak buruk). Supply reduction lebih mengutamakan penegakan hukum untuk mengurangi pemasukan, sementara demand reduction meliputi pendidikan mengenai bahaya penggunaan narkoba.

Strategi pendekatan harm reduction sendiri, diwujudkan dalam program penanggulangan HIV/AIDS seperti penyuluhan HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), dan narkoba. Ada juga pemberian materi tentang pendistribusian kondom, pemutih, dan bahan substitusi berupa methadone. Namun pendistribusian kondom sempat macet karena banyak warga binaan enggan meminta kondom ke klinik. Pendistribusian kondom belakangan dibantu melalui Peer Educator (penyuluh sebaya) dan ketua blok sehingga memudahkan warga binaan untuk memperolehnya tanpa ada rasa kurang nyaman.

Sementara pemberian methadone di lapas dilakukan atas kerjasama dengan Program Rumatan Methadone (PRM) RS Sanglah. Harm reduction merupakan bentuk program pengurangan dampak buruk yang sudah diakui di Indonesia. Program tersebut pada dasarnya dilakukan untuk mencegah makin merebaknya virus HIV/AIDS, baik di kalangan pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU), maupun dari prilaku seks bebas. Saat ini, hampir separuh IDU diperkirakan sudah terinfeksi HIV/AIDS. Di Bali sendiri, saat ini diperkirakan telah ada 3000 orang terinfeksi HIV AIDS, 2.500 orang dari kalangan IDU sementara sisanya dari tertular karena hubungan seks (seks bebas, heteroseksual maupun homoseksual), dan sejumlah lainnya tidak diketahui pasti.

Dalam melaksanakan programnya, Pokja Lapas juga bekerjasama dengan sejumlah LSM peduli AIDS dan bahaya narkoba, seperti dengan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) dalam program Narcotics Anonymus (NA), Just For Today (JFT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), serta program AIDS 101. Semuanya terfokus pada upaya memberi penyadaran kepada warga binaan tentang bahaya narkoba, termasuk resiko penularan HIV/AIDS sebagai akibatnya. NA merupakan sebuah program sharing antar pecandu, tentang kesulitan maupun kesenangan yang dihadapinya. JFT merupakan satu ajang curhat harian. CBT merupakan program terapi yang difokuskan pada upaya memperbaiki perilaku pecandu. Sementara AIDS 101 merupakan program penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS.

Yayasan Bali Plus yang bergerak di bidang dukungan dan layanan terhadap ODHA (orang dengan HIV AIDS), juga masuk dengan program pendampingan intensif dan pemberian pengetahuan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS, konseling dan tes HIV (VCT). Tanggal 10 Maret 2004, menjadi kali pertama dua orang warga binaan pengguna narkoba suntik (injection drugs user/IDU) menerima hasil tes HIV secara sukarela. Keduanya lalu dinyatakan positif HIV/AIDS. Hingga Februari, sudah ada 35 orang warga binaan yang mengikuti tes sukarela. Dua orang diantaranya masih menunggu hasil tes. Sementara dari 33 orang yang diketahui hasil tesnya, sebanyak 21 orang dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS, semuanya berasal dari perilaku sharing jarum suntik.

Yayasan Hatihati ikut memberikan kegiatan pembinaan melalui program pembentukan Peer Educator (PE=Penyuluh sebaya/sesama) yang dibantu oleh Yayasan Kerti Praja. Anggota PE diambil dari dua hingga tiga warga binaan pada masing-masing blok. Hingga saat ini sudah ada sebanyak 80 warga binaan yang berhasil menjadi seorang PE, sebagian diantaranya sudah bebas. Untuk tahun 2005 ini, pembentukan PE akan dilakukan sebanyak dua periode dengan masing-masing periode diikuti oleh 30 orang warga binaan.

Yayasan Mata Hati juga mengambil peran, terutama dalam program after care, berupa program pre release yaitu suatu program pemberian bekal materi informasi yang lengkap tentang beberapa akses layanan yang ada di luar Lapas bila seorang warga binaan selesai menjalani masa pidana, sekaligus pemberian materi harm reduction. Ada pula program meditasi yang dibimbing seorang relawan, Rio Helmi, untuk menyeimbangkan pikiran para warga binaan.

Keberadaan blok khusus napi narkoba, diakui Hartawan, telah mempermudah pelaksanaan program rehab. Itu karena pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan. Namun pelaksanaannya kurang optimal, karena hanya mampu mewadahi sebanyak 45 napi narkoba. Padahal jumlah warga binaan narkoba di LP Kerobokan jauh lebih tinggi dari jumlah tersebut. Hartawan menilai perlunya pembangunan lapas khusus untuk narkoba. Dengan lapas khusus narkoba, ia optimis langkah pembinaan tentang bahaya narkoba dan risiko penularan HIV/AIDS bisa lebih maksimal. Atau minimal memberi kesempatan pecandu mempersiapkan diri setelah keluar dari penjara nantinya.

Seperti yang dikatakan Rudi, “Saya pikir, saya lebih pede ketemu orang-orang setelah keluar dari sini nantinya,” ujarnya yang akan keluar dari Hotel Prodeo, 19 Maret ini. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS da Narkoba KULKUL edisi 2, Maret 2005]

Tidak ada komentar: