Google
 

Sabtu, 09 Juli 2005

Pemecatan Menghantui

Anggota polisi yang tak menjalankan tugas, tetapi justru tergoda narkoba, bisa dikenakan sanksi pemecatan.

Rabu pagi, 22 Juni 2005, para anggota kepolisian Daerah Bali yang baru saja selesai mengikuti apel pagi dikejutkan oleh kedatangan mobil tes urine bantuan Badan Narkotika Nasional (BNN). Apalagi mereka juga diminta buang air kecil.

Hari itu memang kali pertama mobil tes urine BNN tersebut dioperasikan. Awalnya, mobil yang sudah diserahkan kepada Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali tersebut rencananya akan digunakan untuk razia-razia narkoba. Kedatangan mobil berteknologi canggih itu ke Polda Bali, kontan membuat para anggota polisi setempat kaget. Mereka tampaknya tak menyangka kalau justru aparat sendiri yang jadi target razia pertama.

Tes urine yang dilakukan terhadap sekitar 200 anggota polisi, tentu saja untuk memastikan semua anggota kepolisian bersih dari narkoba. Tak terkecuali pada anggota reserse narkotika yang notabene setiap harinya harus bergaul dengan para pengguna, pengedar, dan bandar narkoba.

Menurut Direktur Direktorat Narkoba Polda Bali, AKBP Bambang Sugiarto, tes semacam itu rutin dilaksanakan. Idealnya, tes semacam itu harus dilaksanakan 3 bulan sekali. Meski demikian, permasalahan dana kerap menjadi kendala mengingat harga test kit narkoba cukup mahal. Untuk satu kali tes per orang, dibutuhkan Rp 50 ribu. Namun dengan adanya mobil tes urine BNN, diharapkan tes rutin itu bisa dilaksanakan secara rutin.

Bambang menegaskan, setiap anggota polisi harus bersih dari narkoba. Tak terkecuali para anggota narkoba yang melaksanakan tugas penyamaran. Diakuinya, ada dilema yang dialami polisi narkoba dalam menjalankan tugasnya. Di satu sisi, mereka harus masuk dalam kehidupan para junkie untuk mengetahui sumber-sumber barang haram itu. Namun di sisi lain, mereka juga tak boleh memakai barang tersebut. “Ini memang dilema. Kalau kita nggak make, ya dia (junkie) curiga. Tapi kita juga tidak menghendaki anggota kita kecanduan narkoba.” ujar pria murah senyum ini.

Lebih dari itu, menurut Bambang, seorang anggota polisi harus bersih dari segala macam perbuatan tercela. Anggota polisi tetap tak boleh melakukan pelanggaran tata tertib yang berlaku umum (KUHP) maupun khusus di lingkungan Polri (kode etik). Anggota polisi tak boleh masuk ke tempat hiburan, tak boleh bergabung dengan orang yang melakukan pelanggaran, tak boleh melakukan hobi yang cenderung menyimpang, dan lainnya.

Kalau melanggar, sanksinya dua kali lipat lebih berat dibandingkan pelanggaran hukum oleh masyarakat umum. Selain pelanggaran kode etik, proses peradilan pidana umum juga tetap harus diikuti. “Jadi sudah jatuh, tertimpa tangga pula,“paparnya. Saat ini terdapat puluhan anggota Direktorat Narkoba Polda Bali yang melakukan tugas undercover.

Mengenai intimidasi yang dialami polisi narkoba oleh oknum pejabat polisi, ia menampiknya. “Kalau petugasnya lurus-lurus saja, tidak mungkin ada tekanan,” ujarnya santai.

Bertugas di narkoba, memang pekerjaan riskan. “Harus tahan mental”, kata Kombes Pol. Tri Huboyo, Sekretaris Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali yang juga Kepala Biro Bina Mitra Polda Bali. “Memang sangat tipis rambu-rambunya. Tidak boleh pake narkoba, tapi dia harus bergaul di situ (dengan junkie),” ungkapnya.

Berdasarkan catatan Polda Bali, selama semester I 2005 ini saja sudah ada 5 anggota polisi dari berbagai kesatuan yang terbukti melakukan tindak pidana. Jumlah itu naik dari periode yang sama 2004 yang hanya 1 orang. Secara umum, jumlah pelanggaran oleh anggota Polri di wilayah Bali selama periode Januari-Juli 2005 mencapai 39 orang, naik dari tahun sebelumnya 38 orang. Jenis pelanggaran yang dilakukan beragam, mulai dari disersi (3 orang), memasuki tempat terlarang (8 orang), mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan dinas (4 orang), hingga dugaan menurunkan martabat Polri (13 orang), dan lainnya. Dari jumlah tersebut, anggota yang diberhentikan secara tidak hormat selama 2005 mencapai 5 orang. “Sebagian besar karena disersi. Tapi tidak ada data tentang asal kesatuannya,” ujar Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol. A.S. Reniban, menegaskan tak ada pengecualian bagi anggota polisi untuk menggunakan narkoba, meski melaksanakan tugas undercover. Tak hanya yang menggunakan narkoba, bila anggota tersebut terbukti masuk tempat hiburan tidak untuk melaksanakan tugasnya, tetapi justru menikmatinya, juga termasuk pelanggaran. “Itu berarti dia sudah masuk pintu jurang kehancuran. Sebelum dia jadi hancur, harus segera ada tindakan.”

Sanksi yang diberikan tergantung pada berat ringan pelanggarannya. Tahapannya bisa dimulai dari peringatan tertulis, teguran tertulis, penahanan, ditempatkan di tempat khusus, dimutasikan, tidak diberi jabatan, atau bahkan dipecat. Lanjut Reniban, kalau anggota polisi narkoba diberikan kebebasan untuk menggunakan narkoba, maka akan merusak nama lembaga. Di situlah perlunya fungsi kontrol dan pengawasan dari bagian lain di kepolisian, seperti Inspektur Pengawasan (Irwas) dan Profesi Pengamanan (Propam).

Untuk menyiasati kondisi itu, Bambang Sugiarto menegaskan bahwa semua anggota polisi undercover juga telah dibekali beragam strategi untuk menolak atau berpura-pura make narkoba. Tak hanya narkoba, dalam penyamarannya polisi narkoba juga tak diperbolehkan minum minuman keras. Kalaupun terpaksa harus minum, tidak dibenarkan minum minuman yang memabukkan.

Setiap pekerjaan pasti ada suka dukanya. Namun bagi anggota yang tak kuat iman, mungkin akan lebih banyak duka yang dihadapi. Kerja yang tak mengenal waktu, diakui Bambang, kerap membuat anggotanya bermasalah dengan keluarga. Aktivitas siang malam, keluar masuk tempat hiburan, seringkali membuat anggota meninggalkan keluarganya. Karenanya, ia selalu mengingatkan anggota agar tak melupakan keluarga, meski tugas tetap menjadi yang utama.

“Kepada semua anggota saya bilang, jangan memanfaatkan peluang untuk tidak pulang, terus ngeluyur nggak jelas, atau mungkin punya WIL (wanita idaman lain). Ke tempat hiburan sampai lupa keluarga, itu juga tidak saya perbolehkan,” tandasnya.

Pendanaan juga diakui sebagai salah satu kendala petugas di lapangan. Selain biaya operasional di lapangan, dana untuk transaksi undercover merupakan yang paling berat dan paling menghambat tugas. Pasalnya, harga narkoba sangat mahal. Satu ekstasi saja, harganya mencapai Rp 100 ribu. Dengan dana hanya Rp 1 juta, maka hanya mendapatkan 10 butir ekstasi. Itu pun kalau penangkapannya mulus. Kalau gagal, maka uang hilang. Seluruh anggota bahkan seringkali urunan untuk itu.
Selama tahun 2005 ini, Polda Bali hanya mendapat jatah dana untuk 41 kasus pidana narkoba. Per kasusnya dianggarkan sebesar Rp 2 juta. Namun kenyataannya, hingga triwulan pertama saja Polda sudah berhasil menangani 78 kasus narkoba, berat dan ringan. “Kalau kondisinya begitu, bagaimana kita dapat menangkap kasus besar. Pancingnya teri, dapatnya ya lele. Kalau pancingnya lele, harusnya bisa dapat tuna,” imbuh Bambang menganalogikan.

Beratnya bekerja di narkoba, membuat banyak anggota enggan bertugas di bagian ini. Bambang mengakui, ada anggota yang menolak bertugas di narkoba. Selain resiko kecanduan, tugas polisi undercover narkoba juga memasuki daerah berbahaya. Bergaul dengan para pencandu narkoba suntik, berisiko terkena HIV/AIDS dari jarum suntik yang mungkin diletakkan sembarangan. [Komang Erviani/ pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 6, Juli 2005]

Tidak ada komentar: