Google
 

Sabtu, 09 Juli 2005

Penyamaran Dilematis Pemberantas Narkoba

Bergaul dengan pengguna, pengedar dan bandar narkoba, menjadi bagian dari tugas penyamaran anggota reserse narkoba. Namun tak boleh ada secuil pun narkoba yang masuk ke tubuhnya.

Rasa lelah tampak jelas dari raut wajah Andi, bukan nama sebenarnya. Pakaiannya lusuh, bau deodorant menyengat dari tubuh pria gondrong itu. Maklum, sudah dua hari ini Andi tak pulang ke tempat kosnya. Jangankan mandi, ganti pakaian pun tak sempat ia lakukan.

Bukan hanya sekali ini bujang asli Bali itu tak pulang. Bekerja siang malam sudah menjadi aktivitas kesehariannya selama empat tahun belakangan. Apalagi bila sedang ada target yang ingin ditangkap. Tidur, seolah sudah menjadi barang mewah baginya.

Sehari-harinya, Andi bergelut dengan narkotika dan obat berbahaya (narkoba). “Bergaul” dengan para pengguna narkoba, pengedar, atau bahkan bandarnya, wajib dilakukan. Andi memang bukan pengguna, pengedar, atau bahkan bandar narkoba. Ia adalah aparat polisi yang khusus bertugas memberantas penyalahgunaan narkoba.

Penyamaran (undercover) menjadi bagian terpenting dari pekerjaannya. Dengan menutup identitasnya sebagai polisi, Andi harus selalu dekat para pengguna, pengedar, ataupun bandar narkoba. Tujuannya satu, mempelajari jaringan kuat mereka, mencari sisi kelemahannya, untuk kemudian menangkapnya. Berpenampilan gaul, jauh dari kesan sangar aparat polisi, menjadi langkah awal penyamarannya.

Andi mengakui, bertugas di reserse narkoba bukanlah hal mudah. Minimal, harus ada hobi begadang. Keluar masuk tempat hiburan, wajib dilakukan. Belum lagi dengan beragam godaan dari kehidupan malam. Minuman keras, narkoba, dan perempuan, diakui sangat dekat dengan aktivitas tugasnya. Tentu saja, yang namanya aparat tetap aparat. Mereka harus bersih dari segala jenis minuman keras, apalagi narkoba. Tiap tiga bulan sekali, kesatuan selalu melakukan tes urine terhadap anggotanya guna memastikan mereka bersih dari narkoba. Kalau hasil tes menunjukkan hasil positif, maka beragam sanksi bisa dikenakan. Mulai dari mutasi, penundaan kepangkatan, atau bahkan pemberhentian.

Menghindar dari narkoba di tengah pergaulan para junkie (pengguna narkoba), tak gampang baginya. Pernah suatu kali, ia ditawari narkoba jenis ekstasi di sebuah diskotek. Tanpa berpikir panjang, barang haram itu pun diterimanya. Bukan untuk dipake, tetapi untuk mencari tahu sumbernya. “Saya lihat logonya, lihat warnanya. Jadi saya tahu sumbernya, saya kembangin,” Cerita Andi.

Agar tak mengundang kecurigaan, ia pun memesan minuman dingin. Dipegangnya minuman itu cukup lama, hingga tangannya dingin. “Saya nggak bodoh. Saya pura-pura gedek-gedek, jadi yang ngasih berpikir saya sudah on. Padahal sing ada apa (tidak ada apa-apa),” ia terkekeh. Kalau memang kepepet harus make, ia mencari seribu alasan untuk pergi dari tempat itu.

Bagi Andi, menjadi petugas undercover satuan narkoba tak berarti harus make narkoba. Untuk mengatasi dilema itu, pihaknya memilih tak bekerja sendiri. Ada beberapa orang sipil yang direkrut sebagai spionase (informan).

Para SP, sebutan untuk spionase, umumnya direkrut dari para mantan junkie yang mau bekerjasama. Biasanya para SP diambil dari lepasan Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tak sedikit pula yang direkrut di lapangan, yakni dari orang dekat target yang dikondisikan untuk siap membantu.

Merekrut SP bukan hal mudah. Meski telah diingatkan untuk tidak memakai narkoba, tak sedikit SP yang diam-diam tetap nyandu. “Tapi risikonya itu. Kalau ketangkep (aparat) yang lain, kan terserah,” Andi mengangkat bahunya santai. Terkadang ada juga SP yang menipu aparat. Selain gagal menangkap target, uang yang diberikan kepada SP pun raib.

Memberantas narkoba bukan hal mudah. Apalagi narkoba termasuk bisnis mahal. Untuk menangkapnya, perlu dana yang tidak sedikit. Transaksi undercover menjadi langkah paling ampuh untuk menjebak pelaku. Sayang, lolosnya para bandar besar sering terjadi karena tidak ada dana untuk transaksi. Untuk satu paket putaw (heroin) saja, diperlukan uang Rp 200 ribu. Bila ingin menangkap target dengan 1 gram saja, harus siap duit sedikitnya Rp 800 ribu “Gimana kita bisa nangkep yang besar,” keluhnya.

Urunan antar anggota seringkali dilakukan. Namun kalau transaksinya gagal, jangan harap uang kembali. Belum lagi kalau saat penangkapan mengalami cidera, tak ada jaminan kesehatan untuk anggota.

Kalaupun sukses melakukan penangkapan, petugas narkoba juga kerap mendapat fitnah. Para tersangka umumnya berdalih kalau mereka dijebak. “Padahal kalau tidak dijebak, tidak mungkin bisa kita tangkap. Kita bisa lihat di depan mata kalau dia bandar. Tapi kalau kita tangkap langsung, geledah, nggak mungkin dia bawa barang. Nah, gimana cara kita biar bisa nangkap dia dan dia mau mengeluarkan barang haramnya, ya dengan cara menjebak,” keluhnya.

Tekanan dari para pejabat juga kerap menjadi kendala petugas narkoba di lapangan. Saat menyelesaikan kasus tertentu, Andi mengaku pernah mendapat tekanan dari para pejabat, misalnya dengan menghalang-halangi tugasnya. Ada bandar yang berlindung di belakang oknum perwira polisi, kata Andi, juga menjadi dilema tersendiri yang dihadapi petugas undercover narkoba.

Godaan saat penangkapan juga cukup banyak. Bahkan ada yang pernah ditawari rumah. “Dengan nombok ini itu. Kadang ada yang bilang, pak tolong bantu saya, ini ada uang, ada rumah. Ambillah rumah ini,” kata Andi. Untuk menghindari hal itu, Andi mengaku tak pernah bekerja tanpa pimpinan. Saat penangkapan, minimal harus ada 3 anggota polisi yang terlibat. Itu pun harus dengan surat perintah tugas. Pihaknya juga selalu mencari saksi dari masyarakat umum yang melihat kejadian.
Wanda, bukan nama sebenarnya, tak seberuntung Andi yang hingga kini masih bisa berprestasi di bagian narkoba. Pria itu kini hanya mendapat tugas jaga. Ia menduga, mutasi tugasnya dari narkoba diduga gara-gara keakrabannya dengan sejumlah bandar narkoba. “Itu kan bagian dari tugas. Tapi tetap saja, kita tidak bisa nangkap mereka kalau tidak bawa barang. Kalau pas mereka bawa, ya kita tangkap,” ungkap pria yang mengaku telah mengungkap 16 kasus narkoba.

Awal kesialannya terjadi saat tiga rekan satu timnya di narkoba tertangkap basah memeras calon target mereka. Meski ia tak tersangkut kasus itu, namun instansi tempatnya bekerja memutuskan memindahkan tempat tugasnya ke salah satu kabupaten, masih di bagian narkoba. Sedang tiga rekannya itu kena sanksi disiplin.
Pindah ke daerah, memang tak menyurutkan prestasinya. Bahkan beragam penghargaan sempat diraih atas keberaniannya menangkap bandar kelas kakap di wilayah itu. Tetapi dengan prestasinya itu, tidak lantas memuluskan keinginannya untuk pindah ke Denpasar lagi.

Jauh dari keluarga menjadi hambatan pria yang sudah sejak tahun 2000 melakukan kegiatan penyamaran narkoba itu. Selama bertugas di seputaran Denpasar-Badung ia merasa lebih nyaman dekat dengan keluarga dibandingkan di daerah lain.
Tak tahan jauh dari keluarga, pemindahan kembali ke wilayah Denpasar-Badung terus diupayakan. Menjadi petugas jaga pun akhirnya ia terima, untuk sekadar bisa dekat dengan keluarga. Meski kecewa karir kepolisiannya berakhir seperti itu, namun Wanda mengaku tetap mengambil hikmah dari kejadian itu. Paling tidak, porsi waktunya untuk keluarga kini menjadi jauh lebih besar bila dibandingkan saat ia harus keluar masuk tempat hiburan setiap malam. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL edisi 6, Juli 2005]

Tidak ada komentar: