Google
 

Minggu, 20 Maret 2005

Pesona Kintamani Ternoda Bangunan Jurang

Siapa tak mengenal Kintamani, sebuah obyek wisata yang menawarkan view menawan dengan keelokan pesona Gunung Batur beserta danaunya. Sayangnya, seiring dengan perkembangan sektor usaha di obyek yang terletak di Kabupaten Bangli ini, pembangunan fisik pun makin tak terkendali. Keindahan alam yang menjadi investasi terkuat dari pariwisata Kintamani, seolah hendak 'dibumi-hanguskan' oleh generasi kini. Benarkah?

SEJAK beberapa tahun lalu, status kawasan wisata yang dimiliki Kintamani sempat diubah oleh Pemerintah Propinsi Bali menjadi hanya 'stop over' atau persinggahan. Targetnya, tentu tak lain agar tidak ada pembangunan sarana akomodasi, khususnya penginapan, di tempat tersebut. Mengingat kondisi alam yang didominasi jurang, pembangunan sarana fisik secara berlebihan tentu akan merusak alam sekitar. Tak hanya berarti ancaman kerusakan lingkungan bagi masyarakat sekitar, kerusakan juga secara otomatis akan menurunkan daya tarik wisata.
Ironisnya, perubahan status tersebut bukannya menyetop pembangunan sarana fisik di Kintamani. Sebaliknya, pembangunan sarana fisik bahkan makin tak terkendali paska perubahan status itu. Berbagai jenis bangunan fisik, dibangun tepat di bibir jurang. Pembangunan restoran, artshop dan lainnya, seolah berlomba untuk mendapat view terbaik dari Gunung dan Danau Batur.
Pengusaha asal Kintamani yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bangli, I Wayan Gunawan, mengaku heran dengan kondisi tersebut. Pasalnya, dicoretnya status Kintamani menjadi salah satu kawasan wisata Bali, seharusnya mampu mengendalikan pembangunan sarana fisik di Kintamani. "Anehnya, setelah diubah statusnya, pembangunannya malah tidak terkendali," keluhnya. Kondisi Kintamani kini, menurutnya sudah sangat berbeda dengan 30 tahun lalu sejak usaha restorannya baru dibangun di Kintamani.
Dikatakan, pemerintah dan masyarakat saat ini cenderung membicarakan investasi sebagai sebuah kapital (modal dana). Tak banyak orang yang menyadari bahwa sumber daya alam yang ada merupakan investasi yang paling mahal dan berharga. Akibatnya, tak banyak pihak yang kini berusaha menjaga alam tersebut, sebagai sebuah warisan berharga dari generasi lalu. Gunawan menegaskan perlunya langkah-langkah preventif agar jangan warisan yang harusnya akan diwariskan kembali kepada generasi mendatang itu, 'dibumi-hanguskan' oleh generasi sekarang. "Jangan sampai warisan yang nantinya akan kita berikan untuk generasi mendatang ini, 'dibumi-hanguskan' hanya untuk kepentingan sesaat generasi sekarang," tandasnya.
Kondisi tersebut menurutnya perlu segera ditangani. Pemerintah sebagai pihak berwenang, harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk mencegah kehancuran Kintamani. Pasalnya, pembangunan di Kintamani terus berkembang setiap detik. Lampu hijau dari pemerintah untuk membangun berbagai saran fisik tersebut, jelasnya, membuat para pengusaha pariwisata berlomba menggunakan peluang bisnis tersebut. Hal itu wajar, karena pertimbangan utama pengusaha adalah kapitalisasi modal. Jangan salahkan pengusahanya. Kalau memang diberi peluang, setiap pengusaha pasti akan menggunakan peluang bisnis itu. Jadi kuncinya ada di pemerintah," tegas pria yang juga anggota DPRD Bali ini.
Namun Gunawan menyesalkan lemahnya 'political will' pemerintah, khususnya Pemkab Bangli, untuk menangani masalah itu. Dikatakan, selama ini Pemkab Bangli seringkali berdalih tak ada Perda yang bisa menjadi dasar untuk menindak pembangunan fisik di kawasan tepi jurang Kintamani itu. Dalih itu dinilai tak wajar, karena banyak aturan umum yang seharusnya menjadi 'senjata' pemerintah untuk menindak pembangunan yang merusak itu. "Kan bisa pakai aturan sempadan jalan dan sempadan jurang. Itu seharusnya bisa jadi daya tangkal," tegasnya. [Ni Komang Erviani / dimuat di Harian Warta Bali]

Kamis, 17 Maret 2005

Ini Daerah Wajib Kondom!

Provinsi Bali menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Mewajibkan penggunaan kondom dalam setiap aktivitas seksual berisiko. Pelanggarnya didenda kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Tapi, kok jadi perda mandul?

Satu bendel kertas berisi rancangan peraturan daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS yang diterima Tuti, 36 tahun, membuatnya berseri. “Sekarang, saya nggak perlu lagi maksa pelanggan pake kondom,”pikirnya. Ranperda yang telah diajukan ke DPRD Bali pada 17 Januari 2006 lalu itu, memang mewajibkan penggunaan kondom bagi setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko. Tak tanggung, pelanggarnya diancam hukuman kurungan paling lama 6 bulan, atau denda paling banyak Rp 50 juta.

Bagi Tuti, ranperda itu memberi titik terang buatnya dan sejumlah temannya yang biasa “mangkal” di jalanan kawasan Renon dan Ubung, Denpasar. Maklum, tak sedikit pelanggan seksnya yang ogah memakai kondom. Padahal ia selalu siap dengan kondom, setiap kali ada pelanggan yang ingin membeli jasanya. Ia bahkan terkadang harus memasangkan kondom kepada tamunya secara sembunyi-sembunyi. “Kadang-kadang saya nggak bilang, saya pasang aja. Saya usahain biar dia nggak sadar kalau dipasangin kondom,”begitu Tuti yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV (Human Immunodeciancy Virus) sejak 10 tahun lalu itu. Untuk pelanggan yang benar-benar bandel, Tuti tidak bisa berbuat apa-apa.

Kondom punya beribu manfaat bagi Tuti. Ia ingat betapa dulu ia selalu melayani tamunya tanpa kondom. Hasilnya, ia dinyatakan positif terinfeksi HIV saat hendak melakukan operasi payudara di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Tak jelas, darimana ia mendapat virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiancy Syndrome), sindrom menurunnya kekebalan tubuh pada manusia itu. Yang pasti, ia mendapat virus itu dari pelanggannya. Sejak itu, ia tak pernah lupa membawa kondom di tasnya. Selain tak mau menularkan HIV ke pelanggannya, Tuti juga tak mau ia tertular penyakit dari pelanggannya. Ia sadar, HIV yang ada dalam tubuhnya harus “dijaga”, agar tak makin berkembang biak. Apalagi sejak tahun 2003 lalu, Tuti rutin mengkonsumsi antiretroviral (ARV), obat penekan virus HIV.

Belakangan, Tuti mengaku senang karena banyak pelanggannya yang sudah mengerti tentang pentingnya kondom. “Sekarang pelanggan juga udah banyak yang ngerti. Kadang dia sendiri yang nawari. Tapi kalau sekarang diwajibkan pake kondom, ada aturannya, kan lebih enak. Jadi pelanggan juga harus bawa kondom,”jelasnya.

Aturan penggunaan kondom, hanya merupakan salah satu bagian dari ranperda HIV/AIDS yang diharapkan rampung di dewan pada pertengahan tahun ini. Ada juga larangan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) untuk mendonorkan darah dan organ tubuh lainnya kepada orang lain. Guna menyikapi makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS di kalangan pecandu narkoba suntik, juga dicantumkan pasal yang mewajibkan penggunaan jarum suntik steril pada tubuh manusia. Ada juga pasal-pasal yang menegaskan komitmen Pemprov Bali untuk memberikan pelayanan HIV/AIDS, berupa fasilitas promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela rahasia, pengobatan, serta perawatan dan dukungan terhadap Odha.

Tuti kaget ketika pandangannya tertuju pada pasal 7 Ranperda itu. Ada kalimat, setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV, wajib untuk memberi tahu pasangan seksualnya sebelum melakukan hubungan seksual. “Kalau aku sih nggak masalah, karena aku sudah punya penghasilan dari gaji di LSM. Tapi teman-teman yang nggak punya gaji, kan nggak mungkin. Nanti pelanggannya kabur semua. Padahal kan mereka hidup dari itu,”keluh Tuti yang kini bekerja di sebuah yayasan kelompok dukungan Odha di Bali itu.

Ketua Pokja Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Program Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali, Prof. Dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPh, menegaskan ranperda penanggulangan HIV/AIDS sangat mendesak dibuat di Bali. Pasalnya, syndrome yang pertama kali ditemukan di Bali, untuk wilayah Indonesia, pada tahun 1987 itu, sudah menyentuh masyarakat dari berbagai kalangan. Banyak ibu rumah tangga yang baik-baik sekalipun, terinfeksi HIV. Akibatnya, banyak anak-anak yang harus menanggung beban tanpa orang tua gara-gara HIV.

Masayu, sebut saja demikian, 17 tahun, salah satunya. Perempuan yang duduk di bangku kelas 2 SMA di Buleleng itu, harus menghabiskan masa remajanya untuk mengelola penginapan milik keluarga, sambil merawat sang ibu yang kini hidup dengan HIV. Ayahnya, meninggal di usia 35 tahun karena AIDS. Beruntung, ia masih bisa menikmati bangku sekolah dengan modal dari keuntungan usaha keluarganya. Masayu tak sendiri. Di beberapa wilayah Bali, terutama di Bali bagian Utara, ada belasan anak-anak yang harus hidup tanpa orang tua. HIV/AIDS merenggut hidup orang tua mereka. Beruntung, anak-anak itu mendapat perhatian dari Yayasan Citra Usaha Indonesia (YCUI), LSM bidang HIV/AIDS.

Data Dinas Kesehatan Propinsi Bali hingga November 2005 mencatat, ada sebanyak 828 kasus HIV/AIDS di seluruh kabupaten/kota di Bali. Kawasan Denpasar dan Badung mendominasi dengan total kasus 451 kasus dan 230 kasus. Kasus tertinggi ditemukan pada golongan umur 20-29 tahun, yakni sebanyak 454 orang (55 persen). Namun Wirawan mengakui, data Dinkes tak menggambarkan kondisi sebenarnya. Itu karena fenomena gunung es, di mana banyak kasus yang tidak dilaporkan, selain banyak orang yang tidak menyadari dirinya terinfeksi HIV. Pasalnya, masa inkubasi HIV dalam tubuh cukup lama, mencapai 5-10 tahun. Dari hasil survei, jumlah kasus HIV/AIDS di Bali diperkirakan mencapai 3.000 kasus. Sebanyak 1.900 diantaranya tertular dari hubungan seksual, dan 1.100 orang dari kebiasaan berbagi jarum suntik di kalangan pengguna narkoba suntik.

Ditegaskan Wirawan, perda mendesak diterapkan di Bali karena besarnya laju epidemi HIV/AIDS di Bali, terutama dari hubungan seks dan jarum suntik. Survei yang dilakukan Yayasa Kerthi Praja mencatat, ada sebanyak 300 pekerja seks komersial yang ada di Bali. Jumlah pelanggannya diperkirakan mencapai 100.000 orang per tahun. Jumlah pengguna narkoba suntik juga tak kalah banyak, mencapai sekitar 1.500 – 2.500 orang. Aturan penggunaan kondom melalui perda, menjadi penting karena ada gap yang lebar antara pengetahuan dan perilaku. Survei Biro Pusat Statistik menunjukkan, 80 persen laki-laki berisiko tinggi mengaku tahu bahaya HIV/AIDS. Tetapi hanya 20 persen diantaranya yang mau pakai kondom. ”Alasannya klasik, karena menurut mereka tidak enak pakai kondom,”jelas Wirawan.

Sayangnya, Ranperda HIV/AIDS yang akan digodok dewan, tidak menjelaskan secara rinci tentang sasarannya, terkait siapa dan di mana sasaran tersebut. Di pasal 10 misalnya, disebutkan bahwa pemilik dan/atau pengelola tempat yang berisiko penularan HIV, wajib memeriksakan pekerjanya pada tempat pelayanan infeksi menular seksual (IMS). Namun tak dijelaskan, siapa pemilik/ pengelola tempat yang dimaksud. ”Memang sejak awal kami menyadari pembuatan Perda ini rawan sekali. Misalnya, awalnya ada penyediaan kondom bagi PSK (pekerja seks komersial). Kan jadinya seolah pelacuran itu legal. Kalau daerah lain yang membolehkan lokaliasi, mungkin bisa,”jelas Dr. Ketut Wirawan, salah satu pakar hukum yang ikut dalam pembahasan ranperda tersebut.

Lalu, bagaimana sistem pengawasannya? Nyoman Wirawan mengakui, sistem pengawasan terkait perda tersebut, terutama terkait penggunaan kondom, sulit dilakukan. Tentu tak mudah mengetahui apakah orang yang melakukan hubungan seksual berisiko telah menggunakan kondom atau tidak. Menurut Nyoman Wirawan, Bali tak mungkin menerapkan sistem pengawasan seperti di Thailand, di mana tim penyidik dari pegawai negeri sipil dan polisi kerap melakukan penyamaran-penyamaran ke tempat lokalisasi. Sistem pemeriksaan kesehatan secara rutin, di mana orang yang terkena infeksi menulas seksual bisa disimpulkan sebagai pelanggar karena tak menggunakan kondom, juga tak bisa dilakukan. Pasalnya, di Bali tak ada lokalisasi yang diakui secara legal. Bahkan ada peraturan daerah yang menegaskan pelarangan kegiatan prostitusi. ”Kami nggak mau perda yang kami buat bertentangan dengan perda yang sudah ada sebelumnya,”tegas Nyoman Wirawan. Karena khawatir berbenturan dengan faktor sosial budaya, Wirawan mengakui belum berani melakukan penegasan yang lebih kuat terhadap perda itu. ”Kita berharap perda ini hanya sebagai semangat dulu untuk memerangi HIV/AIDS. Saya rasa memang belum bisa kita mengarah pada penindakan,”jawabnya.

Nyoman Wirawan bahkan secara gamblang mengakui kalau perda HIV/AIDS yang dibuat Bali itu termasuk perda yang mandul. Pihaknya berharap semangat yang terkandung dalam perda tersebut bisa lebih mengingatkan kepada khalayak ramai tentang bahaya HIV/AIDS. Perda itu diharapkan bisa diikuti oleh berbagai kebijakan dari pemerintah kabupaten/kota sebagai pemegang otoritas dalam rangka mempersempit laju epidemi HIV/AIDS, sekaligus memberi dukungan bagi peningkatan kualitas hidup Odha. Harapan ini sepertinya telah mendapat respon positif dari Wakil Bupati Buleleng, Wardana. Kepada GATRA, ia secara tegas menyatakan sangat mendukung rencana perda itu.

Berbeda dengan Nyoman Wirawan, budayawan Dharma Putra malah optimis perda itu tidak akan tersangkut masalah sosial budaya. Ia justru melihat masalah terbesarnya hanya ada pada aspek hukum. Ia tak yakin penegakan hukum dari perda itu bisa dilaksanakan.
Menurut Dharma Putra, masyarakat Bali sudah cukup adaptif terhadap setiap perubahan untuk mengarah pada kebaikan. ”Setiap insan kan punya akal budi. Hal-hal yang mengarah pada kebaikan pasti akan dilakukan,”demikian Dharma. Asalkan, ada upaya untuk mensosialisasikan masalah perda itu secara meluas lewat berbagai media, baik visual maupun non visual. Selama ini, banyak proses pembuatan aturan yang terkendala pada proses sosilisasi. Sosialisasi yang diberikan juga diharapkan lebih gamblang sehingga lebih mudah dimengerti masyarakat. ”Selama ini banyak iklan layanan masyarakat soal kondom yang dibuat terlalu simbolis,”jelasnya. Bila proses sosialisasinya dibuat dengan baik sehingga mudah dimengerti masyarakat, ia optimis perda HIV/AIDS yang dibuat setelah Jawa Timur dan Papua itu bisa dilaksanakan di Bali. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA, 2006]

Rabu, 09 Maret 2005

Tak Lelah Lapas Mengajak Pulih

Beragam program rehab dilaksanakan di blok khusus narkoba. Tapi penghuni blok tersebut hanya 45 orang, sementara jumlah warga binaan yang tersandung kasus narkoba mencapai 327 orang.

Seperti hari-hari sebelumnya, Rudi, 26 tahun, bangun pagi pada Jumat, akhir Februari 2005 lalu. Pria ceking berambut gondrong dan kriting ini bergegas ke kamar mandi di sebelah selnya. Sekadar cuci muka dan gosok gigi. Pagi itu, Rudi dan 44 orang penghuni blok H lainnya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II A Kerobokan, harus mengikuti kegiatan yoga, salah satu bagian dari program rehab narkoba oleh Kelompok Kerja (Pokja Lapas).

Tak lama berselang, instruktur yoga dari perkumpulan Ananda Marga Yoga datang bersama Pokja Lapas, AA Gd. Hartawan. Beragam reaksi tersirat dari wajah Rudi dan teman-temannya. Ada yang terlihat senang, ada pula yang memandang sinis. Tanpa diberi aba, beberapa penghuni bergegas membentangkan selimut mereka di lantai, lalu duduk manis di atasnya. Namun tak sedikit pula yang ogah-ogahan.
“Ayo-ayo cepat,” teriak Hartawan. “Kalau yang nggak ingin ikut, diam aja di kamar, daripada mengganggu,” tambah I Putu Hardianto, sang instruktur. Setelah sekitar lima menit menunggu, Hartawan lantas mengabsen mereka. Jumlahnya ternyata hanya 41 orang. Empat orang penghuni lainnya, tampaknya enggan mengikuti olah raga penguatan konsentrasi itu.

Tapi itu bukanlah masalah. Sang instruktur memutuskan untuk memulai kegiatan. Dimulai dengan sikap asana (duduk bersila dengan badan tegak), konsentrasi peserta coba dikuatkan. Tapi ada saja yang usil. Entah sengaja atau tidak, beberapa peserta justru menguap dengan keras saat yoga sudah dimulai. “Kalau yang nggak mau ikut, masuk kamar aja,” teriak Hardianto, menyindir. Namun lambat laun, para warga binaan itu pun larut dalam keasyikan yoga.
Yoga bukan hal baru baru Rudi dan rekan-rekannya. Yoga sudah menjadi kegiatan rutin Jumat pagi bagi penghuni blok khusus narkoba itu sejak Oktober tahun lalu, dan menjadi bagian dari program rehab narkoba di sana. Hardianto mengakui, yoga tak serta merta membuat napi lepas dari jerat narkoba. Yoga lebih berfungsi sebagai upaya penguatan pikiran, sehingga mereka diharapkan bisa membedakan mana hal yang baik dan tidak untuk mereka.

Rudi sendiri mengakui manfaat yang dirasakannya dari mengikuti yoga dan beragam kegiatan rehab narkoba lainnya. “Setelah yoga, jadi lebih segar aja,”jelas Rudi. Sebelum mengenal Yoga, Rudi hanyalah napi narkoba yang menyerah dengan kecanduannnya, pun di Lapas. Ia tertangkap dan dijebloskan ke hotel prodeo itu pada 2003 lalu gara-gara vonis 1 tahun 9 bulan oleh pengadilan.

Rudi menjelaskan, kehidupan di lapas pada awalnya sangat berat. Namun beberapa bulan setelahnya, ia mulai mengikuti kegiatan rehab di blok H. Kegiatan pertama yang diikutinya adalah Just For Today (JFT), ajang curhat para pecandu di lapas tentang apa yang dirasakan dan telah dilakukannya hari itu. “Pertama-tama ya saya bingung, kok orang –orang mau ngomong kejelekannya sendiri. Tapi lama-lama saya menikmati, lama-lama saya juga ikut aktif,”tuturnya.

Menurut Hartawan yang juga dokter di klinik setempat, kegiatan rehab narkoba di lapas bermula dari banyaknya warga binaan yang terinfeksi HIV pada tahun 2000, yakni 35 orang. Data yang diumumkan pada 2001 itu kontan membuat heboh, sehingga sejumlah program pencegahan penularan HIV dibuat. Program narcotics anonymus (sharing antar pecandu) masuk ke lapas, mengisi beberapa jam kosong warga binaan setiap Selasa. Program yang awalnya dikoordinir Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu, hingga kini tetap berjalan di bawah koordinasi Yayasan Hati Kita (Yakita) Bali.

Sayangnya, program tersebut tak langsung direspon positif penghuni lapas. Karena saat itu belum ada blok khusus narkoba, Hartawan mengaku harus menjemput sejumlah pecandu di lapas untuk diajak mengikuti program itu. “Waktu itu banyak yang lari, sembunyi. Jadi nggak efektif,” tandasnya. Dari sana pula muncul ide pembentukan blok khusus narkoba.

Ide itu mulanya ditolak. Namun setelah pergantian pimpinan lapas, pada Maret 2002, pembentukan blok khusus narkoba akhirnya terealisasi, atas dasar kekhawatiran terhadap penyebaran virus HIV/AIDS. Tak hanya di Kerobokan, kasus HIV/AIDS juga merebak di beberapa LP atau rumah tahanan (rutan) lainnya di Bali. Penularannya semakin cepat karena napi yang terinfeksi tidak mengetahui status penyakitnya dan belum ada program khusus menangani HIV/AIDS dari Departemen Kehakiman dan HAM.

Dibentuklah Pokja Lapas/Rutan Bali yang bergerak dalam bidang pencegahan HIV/AIDS, narkoba, dan dukungan Orang dengan HIV/AIDS (Odha). Pokja ini beranggotakan Ketua LP di lokasi kegiatan yakni LP Klas IIA Denpasar, jamak dikenal dengan LP Kerobokan, LP Klas IIB Singaraja, Rutan Bangli, dan Negara serta sejumlah LSM seperti Yakeba, Yakita, Yayasan Hatihati, dan Bali+.
Dikatakan Hartawan, ada tiga komponen pendekatan yang diterapkan secara bersama-sama, yaitu supply reduction (pengurangan pemasukan), demand reduction (pengurangan permintaan), dan harm reduction (pengurangan dampak buruk). Supply reduction lebih mengutamakan penegakan hukum untuk mengurangi pemasukan, sementara demand reduction meliputi pendidikan mengenai bahaya penggunaan narkoba.

Strategi pendekatan harm reduction sendiri, diwujudkan dalam program penanggulangan HIV/AIDS seperti penyuluhan HIV/AIDS, infeksi menular seksual (IMS), dan narkoba. Ada juga pemberian materi tentang pendistribusian kondom, pemutih, dan bahan substitusi berupa methadone. Namun pendistribusian kondom sempat macet karena banyak warga binaan enggan meminta kondom ke klinik. Pendistribusian kondom belakangan dibantu melalui Peer Educator (penyuluh sebaya) dan ketua blok sehingga memudahkan warga binaan untuk memperolehnya tanpa ada rasa kurang nyaman.

Sementara pemberian methadone di lapas dilakukan atas kerjasama dengan Program Rumatan Methadone (PRM) RS Sanglah. Harm reduction merupakan bentuk program pengurangan dampak buruk yang sudah diakui di Indonesia. Program tersebut pada dasarnya dilakukan untuk mencegah makin merebaknya virus HIV/AIDS, baik di kalangan pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU), maupun dari prilaku seks bebas. Saat ini, hampir separuh IDU diperkirakan sudah terinfeksi HIV/AIDS. Di Bali sendiri, saat ini diperkirakan telah ada 3000 orang terinfeksi HIV AIDS, 2.500 orang dari kalangan IDU sementara sisanya dari tertular karena hubungan seks (seks bebas, heteroseksual maupun homoseksual), dan sejumlah lainnya tidak diketahui pasti.

Dalam melaksanakan programnya, Pokja Lapas juga bekerjasama dengan sejumlah LSM peduli AIDS dan bahaya narkoba, seperti dengan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) dalam program Narcotics Anonymus (NA), Just For Today (JFT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), serta program AIDS 101. Semuanya terfokus pada upaya memberi penyadaran kepada warga binaan tentang bahaya narkoba, termasuk resiko penularan HIV/AIDS sebagai akibatnya. NA merupakan sebuah program sharing antar pecandu, tentang kesulitan maupun kesenangan yang dihadapinya. JFT merupakan satu ajang curhat harian. CBT merupakan program terapi yang difokuskan pada upaya memperbaiki perilaku pecandu. Sementara AIDS 101 merupakan program penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS.

Yayasan Bali Plus yang bergerak di bidang dukungan dan layanan terhadap ODHA (orang dengan HIV AIDS), juga masuk dengan program pendampingan intensif dan pemberian pengetahuan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS, konseling dan tes HIV (VCT). Tanggal 10 Maret 2004, menjadi kali pertama dua orang warga binaan pengguna narkoba suntik (injection drugs user/IDU) menerima hasil tes HIV secara sukarela. Keduanya lalu dinyatakan positif HIV/AIDS. Hingga Februari, sudah ada 35 orang warga binaan yang mengikuti tes sukarela. Dua orang diantaranya masih menunggu hasil tes. Sementara dari 33 orang yang diketahui hasil tesnya, sebanyak 21 orang dinyatakan positif terinfeksi HIV/AIDS, semuanya berasal dari perilaku sharing jarum suntik.

Yayasan Hatihati ikut memberikan kegiatan pembinaan melalui program pembentukan Peer Educator (PE=Penyuluh sebaya/sesama) yang dibantu oleh Yayasan Kerti Praja. Anggota PE diambil dari dua hingga tiga warga binaan pada masing-masing blok. Hingga saat ini sudah ada sebanyak 80 warga binaan yang berhasil menjadi seorang PE, sebagian diantaranya sudah bebas. Untuk tahun 2005 ini, pembentukan PE akan dilakukan sebanyak dua periode dengan masing-masing periode diikuti oleh 30 orang warga binaan.

Yayasan Mata Hati juga mengambil peran, terutama dalam program after care, berupa program pre release yaitu suatu program pemberian bekal materi informasi yang lengkap tentang beberapa akses layanan yang ada di luar Lapas bila seorang warga binaan selesai menjalani masa pidana, sekaligus pemberian materi harm reduction. Ada pula program meditasi yang dibimbing seorang relawan, Rio Helmi, untuk menyeimbangkan pikiran para warga binaan.

Keberadaan blok khusus napi narkoba, diakui Hartawan, telah mempermudah pelaksanaan program rehab. Itu karena pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan. Namun pelaksanaannya kurang optimal, karena hanya mampu mewadahi sebanyak 45 napi narkoba. Padahal jumlah warga binaan narkoba di LP Kerobokan jauh lebih tinggi dari jumlah tersebut. Hartawan menilai perlunya pembangunan lapas khusus untuk narkoba. Dengan lapas khusus narkoba, ia optimis langkah pembinaan tentang bahaya narkoba dan risiko penularan HIV/AIDS bisa lebih maksimal. Atau minimal memberi kesempatan pecandu mempersiapkan diri setelah keluar dari penjara nantinya.

Seperti yang dikatakan Rudi, “Saya pikir, saya lebih pede ketemu orang-orang setelah keluar dari sini nantinya,” ujarnya yang akan keluar dari Hotel Prodeo, 19 Maret ini. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS da Narkoba KULKUL edisi 2, Maret 2005]

Mengabdi Setelah Keluar Masuk Jeruji

Tak sedikit jebolan Lapas Kerobokan yang kini justru jadi aktivis. Bukti bahwa ketergantungan pada narkoba bisa dipulihkan

Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah bebas dari jeruji LP Klas II A Kerobokan, Dhayan Dirgantara, 31 tahun, kembali lagi pada akhir 2001. Penampilan yang berubah 180 derajat, kontan membuat rekan-rekan satu selnya dulu merasa kaget. Mereka seakan tak percaya, Dhayan yang dulu seorang residivis pengedar narkoba, khas dengan rambut gondrong dan celana belel, berubah menjadi seorang yang rapi. Tubuhnya pun tak lagi ceking seperti dulu.

Kedatangan Dhayan ke LP untuk kesekian kalinya itu, bukan lagi untuk “menginap” di sana, atau bahkan membawa narkoba untuk teman-temannya. Sebaliknya, Dhayan justru datang membawa misi membantu mereka agar lepas dari jeratan narkoba. Ia ingin memperlihatkan perubahan dalam dirinya, setelah menjauhi barang-barang haram tersebut.

Dhayan memang satu diantara beberapa jebolan Lapas Kerobokan yang bisa dibilang sukses. Tak hanya sukses melepaskan diri dari jeratan narkoba, ia kini bahkan menjadi aktivis bidang penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan HIV/AIDS. Seminggu sekali, hingga pertengahan tahun 2002, ia rutin datang ke lapas. Terakhir, ia dipercaya menjadi Koordinator Jaringan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) se-Bali dan menjadi salah seorang perwakilan Indonesia untuk Jaringan ODHA se-Asia Pasifik.

Dhayan menyadari, kedatangannya ke lapas untuk misi yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya, menimbulkan opini berbeda di antara warga binaan setempat. Bahkan ada anggapan bahwa kedatangannya karena dibayar mahal. “Jelas, dalam 100 orang ada 100 opini berbeda. Tapi itu tidak perlu kita pusingkan,” tegasnya. Sebagai sesama pecandu, Dhayan mengaku paham betul dengan apa yang dirasakan rekan-rekannya. Ia menyadari betul kalau seorang pecandu tidak bisa dipaksa untuk meninggalkan narkoba. Karena itu, gerakannya lebih pada upaya memperlihatkan perubahan nyata dalam dirinya sendiri, sehingga timbul keinginan sendiri dari rekan-rekannya untuk melepaskan diri dari narkoba.

Disadari, upaya lepas dari narkoba bukanlah langkah mudah. Diperlukan dorongan yang alamiah dari dalam diri sendiri. Dhayan memang tak perlu membaca buku atau mencari data di internet untuk tahu beratnya narkoba. Sejak remaja, Dhayan sudah “terbius” oleh kenikmatan sesaat yang ditimbulkan narkoba. Setelah Jakarta, ia merambah Bali untuk mengedarkan barang-barang haramnya. Ruang tahanan Poltabes (dulu Polres Badung) dan LP Kerobokan, bolak-balik dikunjunginya. Namun penahanannya tak lama. Dengan uang tebusan yang dibayarkan oleh rekannya sesama pengedar, ia bisa dengan cepat kembali ke lingkungannya. “Itu juga karena dulu hukumannya memang masih ringan. Cuma dijerat UU Kesehatan,” jelasnya.

Puncaknya, pada tahun 2000, ia tertangkap membawa 1 gram putaw. Kali ini dia jerat peraturan yang serius, UU Narkotika, dan dijerat hukuman 12 bulan. Dhayan mengaku sempat sakaw saat berada di tahanan Polres Badung. Namun dengan modal Rp 20 ribu yang didapat dari memalak tahanan baru, ia berhasil menyogok petugas untuk secepatnya dikirim ke Lapas Kerobokan. Menurut pengakuan Dhayan, narkoba berbagai jenis biasanya menjadi suguhan “welcome drink” bagi tahanan baru di lapas. “Itu sudah biasa, kalau ada junkie yang ketangkap, cepat menyebar. Nanti di lapas pasti nyiapin untuk welcome drink. Makanya kita justru biasanya ingin cepat-cepat ke lapas,” akunya.

Hingga menghuni lapas, Dhayan mengaku tak pernah terpikir untuk meninggalkan narkoba. Ada 1001 cara yang ditempuh, sekadar untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Pengamanan di lapas tak cukup menakutkan bagi Dhayan. Kadang beberapa teman mengiriminya lewat rokok, kadang juga lewat bola tenis yang dilemparkan dari luar lapas. “Biasanya kita janjian. Olahraga di lapangan ini jam segini. Pas olahraga, langsung deh ada bola tenis terbang dari luar.”

Menurut Dhayan kesadarannya justru muncul dari seorang teman bulenya.Sang teman yang dulunya juga pemakai, menunjukkan betapa dirinya mampu lepas dari jerat narkoba dan menikmati hidup yang lebih baik. Sang teman itulah yang kemudian mengajaknya ke tempat rehabilitasi, dan kemudian mengajaknya bergabung dengan narcotics anonymus (istilah untuk forum sharing antar pecandu).

Keluar dari jerat narkoba, memang bukan hal yang mudah. Hal itu diakui juga dokter langganan pecandu, dr. Denny Thong. Menurut Denny, narkotika pada dasarnya merupakan suatu zat yang dihasilkan pohon candu (papaver somniferum). Tanaman ajaib tersebut mengeluarkan banyak sekali zat berguna yang hingga kini kerap digunakan oleh dokter. Namun zat tersebut belakangan banyak digabungkan dengan obat-obatan buatan manusia agar memberi kemampuan lebih. Akibatnya, nama narkotika belakangan meluas menjadi narkoba dan napza.

Pada dasarnya, jelas Denny, narkoba berefek pada otak, yakni membuka “mulut-mulut kecil” (reseptor) yang selalu minta dipenuhi. “Ini yang menyebabkan kecanduan,” jelasnya. Namun kecanduan yang ditimbulkan bisa dalam dua hal, yakni kecanduan fisik dan kecanduan psikis. Kecanduan psikis hanya berupa perasaan tidak enak secara perasaan, bila tak menggunakannya. Namun kecanduan fisik bisa menimbulkan sakit secara fisik. Terlebih bila pengguna mengalami sindroma putus obat (with drawal syndrome), atau umum disebut sakaw.

Dijelaskan, semua narkoba pada umumnya dapat menimbulkan rasa enak, sehingga semua narkoba bisa menyebabkan kecanduan psikis. Hanya beberapa jenis narkoba yang bisa menimbulkan efek kecanduan fisik seperti heroin atau putaw. Berbeda dengan ekstasi yang bisa menimbulkan efek kecanduan psikis, seperti halnya merokok. Namun belakangan, putaw sudah banyak berkembang hingga mempunyai zat adiktif 30 kali lebih cepat dibandingkan candu. Efeknya candunya yang sangat cepat, juga membuatnya cepat hilang. Oleh karena itu, seseorang yang kecanduan putaw, bila ingin berhenti harus mampu menghilangkan rasa sakaw.

Dalam kondisi menguntungkan, seorang pencandu pada dasarnya bisa melepaskan diri dari kecanduan fisik hanya dalam satu minggu. Tetapi yang sulit adalah melepaskan diri dari kecanduan psikis. Sugesti selalu muncul dalam diri pecandu, hingga harus waspada setiap saat. Kecanduan psikis tak pernah bisa dilepaskan, dan akan selalu dibawa seumur hidup.
Sugesti yang selalu muncul, membuat pecandu narkoba seringkali mengalami sindroma pintu berputar (revolving door syndrome). Rasa ketagihan umumnya muncul berpuluh-puluh kali. Namun yang paling memegang peranan dalam upaya melepaskan diri dari narkoba umumnya adalah keluarga, relasi dekat, dan agama. Tak jarang pula yang justru melepaskan diri dari narkoba karena menyadari usia yang sudah tua, atau karena bosan.

Denny memperingatkan kepada siapapun untuk tidak pernah mencoba narkoba. Pasalnya, pemakaian narkoba juga berakibat pada hubungan sosial, ekonomi, dan kriminal. “Memang sangat dianjurkan, jangan sekali-kali mencoba bila tidak ingin dalam terowongan yang sangat panjang,” jelas staf ahli Badan Narkotika Propinsi (BNP) Bali ini. Dicontohkan, narkoba jenis heroin dapat menyebabkan penekanan pusat bernafas (over dosis/OD). Sementara ekstasi dapat menyebabkan penghentian detak jantung. Karena cara pemakaian, narkoba juga dapat menimbulkan luka-luka pada selaput lendir hidung akibat menghisap, infeksi pada paru-paru, serta timbulnya luka-luka pada kulit dan pembuluh darah karena suntik.

Kini lebih dari 50 persen kasus HIV/AIDS di Bali terjadi pada pengguna narkoba suntikan. Beberapa dari mereka berada di Lapas. Pokja Lapas bekerja sama dengan “alumni” Lapas itu kini bekerja keras agar tak menyebar luas. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 02, Maret 2005]

Kamis, 03 Maret 2005

Bali Menanti 'Booming' Wisata Spiritual

Bali Menanti 'Booming' Wisata Spiritual

Sejak awal pengembangannya, sektor pariwisata Bali selalu melekat dengan budaya serta adat istiadat masyarakat Bali. Hal itu pula yang membuat Bali sangat dikenal dengan pariwisata budayanya. Sejalan dengan itu, ide pengembangan wisata spiritual belakangan mulai banyak diwacanakan. Bahkan ada yang memprediksikan wisata spiritual akan segera 'booming' dalam beberapa tahun ke depan. Benarkah?

ENTAH kenapa, wacana pengembangan wisata spiritual tampaknya makin menguat sejak beberapa tahun belakangan. Setidaknya, rencana pengembangan wisata spiritual sempat merebak di banyak kawasan, baik itu Kabupaten Karangasem, Bangli, Buleleng, atau yang lainnya. Semua wilayah menyatakan diri sebagai kawasan yang paling potensial.
Wajar memang, karena semua wilayah memang menyimpan potensi yang sama besar. Karangasem menilai pengembangan wisata spiritual di wilayahnya akan sangat potensial, mengingat keberadaan Pura Besakih sebagai pura terbesar di Indonesia. Sementara Bangli menilai wilayahnya pas untuk pengembangan wisata spiritual karena keberadaan Pura Batur serta kondisi geografis yang sejuk dan berbukit. Alasan senada juga pernah diungkapkan Bupati Buleleng, Bagiada, yang menyatakan konsep 'nyegara gunung' di wilayahnya sebagai pendukung kuat bagi pengembangan wisata itu.
Kentalnya nuansa magis di sebagian besar obyek wisata di Bali, tentu saja menjadi faktor pendukung yang cukup kuat dalam pengembangan wisata spiritual. Hal itu pula yang diakui Ketua BPD Putri Bali, Ketut Nuryasa. Ketua perhimpunan pengelola obyek wisata itu menjelaskan, Bali memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan wisata spiritual. Hal itu disebabkan karena banyaknya faktor pendukung, terutama akibat daya magis yang sangat tinggi di hampir semua obyek wisata di Bali.
Sebutan 'Pulau Seribu Pura' yang diberikan kepada Bali, menjadi kekuatan tersendiri bagi pengembangan wisata spiritual di wilayah ini. Setidaknya, sebutan itu diberikan bukan tanpa alasan. Nuryasa menyebutkan, lebih dari separuh daya tarik wisata yang ada di pulau ini, berupa Pura. Itu berarti Bali telah memiliki basik yang sangat kuat bagi pengembangan wisata spiritual.
Diakui, pengembangan wisata spiritual sejauh ini belum terlihat konkrit. Hal itu karena pengembangannya belum optimal. Dikatakan, ada beberapa pengusaha yang sudah menekuni wisata spiritual tersebut, meski jumlahnya sangat minim. Jumlahnya yang minim itulah yang membuatnya seolah tenggelam. Dengan basik spiritual yang sangat kuat, ditambah pengelolaan yang baik, pihaknya yakin wisata spiritual akan segera 'booming' di tahun-tahun mendatang. "Sekarang mungkin belum kelihatan. Tapi sudah ada beberapa pengusaha yang terjun ke sana (wisata spiritual). Nanti pelan-pelan baru akan kelihatan dan pasti 'booming'. Sama lah dengan wisata Spa yang sekarang semakin banyak dan 'booming'. Wisata spiritual pasti akan segera booming," tegasnya.
Meski wisata spiritual sangat erat kaitannya dengan adat istiadat serta agama Hindu di Bali, Nuryasa memastikan booming wisata tersebut tidak akan merusak sendi-sendi budaya di Bali. Menurut Nuryasa, pelaku usaha wisata spiritual dengan sendirinya akan memperhatikan adat istiadat sekitarnya. Hal itu karena wisata spiritual sangat erat kaitannya dengan keutuhan adat, istiadat dan norma yang dipegang masyarakat etempat. Lebih dari itu, komunikasi yang baik antara pengusaha dan adat, merupakan kunci untuk menjawab kekhawatiran itu. "Yang penting ada koordinasi yang baik dengan desa adat. Saya yakin tidak akan ada masalah. Malah akan ada hubungan saling menguntungkan antara keduanya," tegas Nuryasa.
Tingginya potensi pengembangan wisata spiritual yang dimiliki Bali, juga diakui Ketua Asita Bali, Gusti Agung Prana. Dikatakan, target wisatawan asing saat berwisata, kini mulai bergeser ke arah wisata yang tenang dan rileks. Selain mencari kawasan-kawasan tenang tanpa suara gaduh seperti persawahan atau pantai yang belum banyak dijamah, wisatawan asing kini juga cenderung mencari jenis wisata spiritual. Bila dikembangkan dengan serius, wisata spiritual di Bali dipastikan akan segera berkembang pesat.

Meditasi Dalam Kemasan Wisata
MESKI ada banyak alternatif bentuk wisata spiritual, namun pengembangan wisata meditasi dipastikan akan sangat sesuai bagi Bali. Hingga saat ini, wisata meditasi telah digarap dengan sukses oleh beberapa pengusaha di Bali.
Menurut Gusti Agung Prana yang telah menggarap wisata meditasi itu, respon dari para wisata asing sangat bagus. Agung Prana yang menyebut wisatanya sebagai terapi 'ajur vedic', mengaku sangat gembira dengan hasil yang diperoleh. Pasar wisatawan asal Amerika, menurutnya menjadi pasar yang cukup potensial bagi pengembangan wisata meditasi. Dikatakan, pasar Amerika sekarang mulai mengarah ke wisata spiritual dan petualangan (adventure). "Akhir-akhir ini, pasar Amerika cenderung mencari wisata spiritual dan adventure," tegasnya.
Sementara itu, Ketua BPD Putri Bali, Ketut Nuryasa menjelaskan, wisata meditasi sangat cocok untuk dikembangkan di Bali. Kondisi geografis Bali, sangat memungkinkan bagi pengembangan wisata meditasi. Tentang kemampuan masyarakat Bali sendiri untuk menjadi instruktur pengembangan wisata meditasi itu, Nuryasa mengaku yakin.
Pasar yang bisa digarap untuk pengembangan wisata meditasi, menurutnya sangat luas. Dikatakan, sejauh ini wisatawan yang cenderung penggemar wisata spiritual berasal dari India dan Inggris. Namun dalam perkembangannya, dipastikan akan banyak segmen pasar yang bergeser ke wisata spiritual.
Berbeda dengan Prana dan Nuryasa yang sangat yakin dengan pengembangan wisata meditasi, pelaku pariwisata Bagus Sudibya justru mengaku sedikit was-was dengan hal itu. Di satu sisi, Sudibya mengaku sangat yakin dengan potensi wisata spiritual yang ada. Namun di sisi lain, ia khawatir dengan pengelolaannya. Pihaknya khawatir bila pengembangan wisata meditasi itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kompeten di bidang tersebut. "Permasalahannya, apakah kita benar-benar bisa mengajarkan meditasi yang baik ke mereka (wisatawan asing). Jangan-jangan mereka sudah jauh lebih tahu tentang meditasi. Jadi SDM yang diterjunkan harus benar-benar mampu dan serius. Kesalahan sedikit saja, bisa merusak citra," tegas Sudibya. [Ni Komang Erviani / pernah dimuat di Harian Warta Bali]