Google
 

Senin, 12 Juni 2006

Menjaga Rahasia Agar Berdaya

Pemberitaan media lokal tentang kematian Herman, sebut saja begitu, memberi suasana berbeda pada prosesi pemandian dan penguburan jenazahnya hari itu. Hanya satu orang anggota yayasan keagamaan setempat yang datang untuk mengantar kepergian Herman menghadap-Nya. Hal dampak dari pemberitaan media yang secara gamblang menyebut kematian Herman karena HIV/AIDS.

Kasus Herman dibuka gamblang pimpinan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Denpasar, tempat Herman menjalani masa tahanan sejak setahun lalu karena kasus narkoba. Pernyataan kepala LP terbesar di Bali itu kemudian menjadi berita utama di sejumlah media lokal di Bali.

Penderitaan Herman selama beberapa bulan akibat virus yang makin ganas menggerogoti tubuhnya, ternyata tak berhenti ketika jantungnya tak lagi berdetak. Stigma dan diskriminasi bahkan terjadi ketika ia harus menghadap Yang Kuasa.
Christian, konselor pendamping Herman kecewa karena kerahasiaan kliennya telah dibocorkan tanpa konfirmasi. Ia mengaku hal ini kerap terjadi.

Keluhan senada juga diungkap Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati. Penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali pada seorang turis Belanda ini menyesalkan kasus yang selalu terulang itu. Padahal kerahasiaan menjadi satu hal yang wajib dijaga, guna menghindari stigma dan diskriminasi di masyarakat.

Stigma dan diskriminasi menjadi hal yang sulit dilepaskan dari keberadaan orang dengan HIV/AIDS (Odha). Bahkan sampai meninggal pun, stigma masih terjadi. “Orang-orang dekat Odha juga tak luput dari stigma, meski itu dokter sekalipun,” jelas Tuti yang merasakan stigma tersebut. Beberapa pasiennya perlahan menjauh ketika tahu ia kerap menerima pasien HIV. Salah satu pasiennya yang telah bertahun-tahun berobat dengannya, bahkan sempat terang-terangan mempertanyakan kebiasaannya mengobati orang HIV. Pasien tersebut mengaku takut, dan sejak saat itu tak pernah lagi datang ke tempat praktiknya.
Tuti melihat hal ini karena ketidakpahaman. “Sebagian besar sebenarnya karena ketidaktahuan,” terang Tuti. Masih ada pihak yang tidak tahu, atau justru pura-pura tidak tahu. Karena itu menurutnya sosialisasi atas kerahasiaan, penting untuk terus dilaksanakan secara berkesinambungan,

Dalam sebuah forum, Anggota DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDIP, Yos Indra Wardana, menyinggung soal kerahasiaan ini. Anggota komisi B itu mendukung program penanggulangan HIV/AIDS. Tapi dengan catatan, materi sosialisasi didukung validitas data. “Gimana kita bisa mencegah penyebaran kalau data valid dirahasiakan? Kalau alasannya privasi, hak asasi manusia, sementara dia (Odha) juga melanggar hak asasi orang lain, gimana? Saya setuju diumumkan saja siapa yang kena HIV. Hanya saja, nanti pemantauan dipertegas. Masyarakat yang mendiskriminasi yang perlu kita tindak,” tandasnya.

Inilah tantangan yang dihadapi penanggulangan HIV/AIDS. Ketua Pokja Humas dan Informasi KPA Provinsi Bali, Mangku Karmaya mengatakan pada kasus yang sulit ditemukan, ahli epidemologi menghitung dengan perkiraan.“Karena kerahasiaan masalah HAM. Kita masih ada stigma, diskriminasi, cap buruk. Di luar negeri sudah terbuka, karena tidak ada stigma. Kita masih anggap ini sebagai penyakit kutukan tuhan. Berdosa. Padahal anak-anak tidak berdosa juga sudah kena,” paparnya.
Kerahasiaan menurutnya adalah privasi yang harus selalu dijaga pada setiap orang. Bahkan dokter pun tidak boleh memberitahu riwayat kesehatan pasiennya, apapun penyakitnya. “Orang sakit batu pun, seharusnya oleh dokter tidak boleh dijelaskan ke orang lain. Kecuali anak yang masih di bawah asuhan orang tuanya. Semua harus dirahasiakan semua. Apalagi untuk HIV/AIDS yang ada stigma,” jelasnya.

Kode etik kedokteran bahkan sudah secara gamblang menegaskan hal itu. “Setiap dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasiennya. Bahkan sesudah pasien itu meninggal sekalipun. Tetapi bisa dibuka atas persetujuan yang bersangkutan, atau karena paksaan dari negara (hukum), “ begitu Mangku menyebut salah satu poin di dalam kode etik kedokteran Indonesia.

Mangku Karmaya menambahkan, banyak ketidaktahuan mendukung stigma terhadap Odha. Dalam sejarahnya, HIV/AIDS pertama kali ditemukan pada kelompok homoseksual yang notabene secara sosial dan agama masih ditolak karena dianggap tak lazim. Hingga kini, masih ada kesan bahwa HIV hanya menular melalui hubungan seksual berisiko.

Itu masih membekas di beberapa kalangan, termasuk dokter. Banyak dokter yang hingga saat ini masih takut menangani Odha. Akibatnya, terjadi stigma dan diskriminasi yang cenderung merendahkan orang HIV positif. “Karenatulah orang-orang HIV minta dijaga kerahasiaannya. Lagipula, privasi setiap orang memang harus dijaga. Bahkan dokter, tidak boleh memberitahu,” terangnya.

Stigma dan diskriminasi menjadi makin kuat, karena virus HIV tidak bisa disembuhkan. “Mereka mengira, orang yang sudah HIV, pasti akan menjadi AIDS. Padahal tidak,” keluh Mangku. Pemahaman masyarakat tentang karakter virus HIV, belum tuntas. Termasuk tentang cara penularannya.

Masih banyak masyarakat yang belum paham bahwa HIV merupakan virus yang berada dalam tubuh dalam waktu lama tanpa menunjukkan gejala, dan tidak bisa disembuhkan. “Ini yang masyarakat belum paham. Dia bisa menular dengan berbagai cara. Tapi pengetahuan tentang penularannya belum dipahami benar,” tambah Mangku. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

Tidak ada komentar: