Google
 

Jumat, 09 Juni 2006

Tes Paksa Mengubur Asa

Nyoman Sukma, 30 tahun, kalut. Perasaan kaget dan kecewa luar biasa terlihat jelas dari mimik wajahnya ketika mendatangi Klinik untuk tes HIV, Voluntary Counseling and Testing (VCT) Nusa Indah Rumah Sakit Sanglah. Beberapa bulir air mata menetes dari matanya ketika seorang konselor menemuinya. Dengan sedikit terbata, ia mengadukan hasil tesnya di sebuah lab di Denpasar. HIV/AIDS Reaktif, begitu isi salah satu poin di lembaran-lembaran hasil tes itu.

Poin itulah yang membuat Sukma kaget luar biasa. Apalagi belum ada pihak manapun yang menjelaskan tentang bagaimana virus yang merusak sistem kekebalan tubuh itu bisa ada di tubuhnya. Sukma tak mendapat konseling atas tes yang ia lakukan.

Tak ada pre test maupun post test seperti layaknya standar tes HIV. Ia bahkan tak tahu apa HIV/AIDS. Tes HIV itu menjadi bagian dari tes kesehatan lengkap yang dilakukannya untuk syarat mencari kerja.

Karena hasil tes kesehatan itulah membuatnya gagal berangkat ke Malaysia. Angannya mendapat penghasilan besar dari bekerja di sebuah usaha spa di negeri jiran, harus dibuangnya jauh-jauh. Hasil tes HIV adalah penyebab pembatalan itu. “Semuanya dites. Rontgen, tes kencing, tes darah. Macam-macam. Cuma tes darah yang bermasalah,” cerita Sukma.

Kaget, kecewa, dan perasaan tidak percaya bercampur aduk di benak perempuan muda itu. Tak cuma karena ia batal bekerja di Malaysia, tetapi juga karena ia sendiri merasa tak percaya virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu ada dalam tubuhnya. Tak pernah terbayang, bagaimana virus itu bisa masuk dalam tubuhnya.
Salah seorang konselor di klinik VCT RS Sanglah, Sagung Anom Suryani pun kaget mendengar cerita Sukma. Namun, ini bukan kali pertama VCT Nusa Indah menerima klien seperti Sukma. “Sering kali klien yang datang, mengaku sudah positif. Tetapi mereka tidak pernah dikonseling,” keluh Sagung. Akibatnya, pihaknya harus mengkonseling kembali klien bersangkutan, untuk dapat dilakukan tes ulang.
Ironisnya, dalam kasus Sukma, hasil tes yang dilakukan kembali melalui VCT Sanglah menunjukkan hasil negatif.

Kasus yang nyaris sama juga pernah dihadapi Novita, konselor dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga penanggulangan HIV/AIDS. Pertengahan 2005 lalu, ia mendapat seorang klien yang hendak bekerja ke luar negeri. Perempuan usia 25 tahun itu, tiba-tiba datang dengan hasil laboratorium. Ia dinyatakan positif HIV, tetapi tak pernah ada konseling dari lab bersangkutan. “Dokter yang menyerahkan hasil tes juga nggak ngasi penjelasan,” kenang Novita.

Akhirnya, atas keinginan kliennya itu, Novita melakukan konseling untuk menjalani tes ulang. Tak cuma untuk tujuan mencari kerja, ia juga sempat beberapa kali mendapat klien yang ingin tes untuk tujuan meminjam uang di bank.

Tes HIV tanpa konseling, memang tak jarang terjadi. Nengah Suardana misalnya, sempat emosi pada pihak tertentu di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jembrana. Petugas Lapangan YCUI yang bekerja di Kabupaten Jembrana, Bali, itu merasa kecewa atas kasus yang dialami seorang warga setempat.

Niat baik Sadia, sebut saja demikian, untuk mendonorkan darahnya untuk seorang teman yang sakit, berujung masalah. Dari tujuh kantong darah yang diterima PMI saat itu, dua kantong darah dinyatakan tak layak. Entah kabar dari mana, darah Sadia dikatakan sebagai salah satu darah yang tak layak itu. Ketika Sadia dan seorang rekannya datang ke PMI untuk mempertanyakan, temannya diinformasikan kalau darahnya terinfeksi hepatitis. Sementara hasil skrining darah Sadia sendiri, petugas PMI tak bersedia menjelaskan. Ia diminta bertanya langsung kepada seorang pegawai di Dinkes Jembrana.

Benar saja, pegawai bersangkutan ternyata mengetahui hasil skrining darah Sadia. Sebelum memberi hasil skrining darahnya, Sadia disajikan video testimoni orang dengan HIV/AIDS (Odha). Usai menyaksikan video itu, tak ada penjelasan lagi kepada Sadia. “Kamu positif,” begitu pegawai bersangkutan kepada Sadia.
Kaget? Tentu saja. Tak berhenti di situ, istri Sadia juga jadi kalut. Suatu hari pada pukul 4 pagi, sejumlah petugas dari Dinkes Jembrana tiba-tiba datang ke rumahnya. Tanpa memberi penjelasan, istri Sadia langsung diambil darahnya. Tak jelas apa maksud pengambilan darah itu. Namun kepada Nengah Suardana, istri Sadia mengaku diambil darahnya dua kali. Diperkirakan untuk tujuan tes HIV dan tes CD4. “Istrinya nggak tahu untuk apa, sampai dia ketakutan,” kenang Nengah.

Karena peristiwa itu, aktivitas penjangkauan Nengah yang akrab disapa Pion, terhambat. Tujuh orang dampingannya yang telah menyatakan siap tes HIV, berbalik menolak tes itu. “Mereka jadi takut orang-orang tahu status HIV mereka,” keluh Pion. Ia menyesalkan karena Dinkes sebenarnya tahu pentingnya konseling dalam tes HIV.

Ia curiga ada tujuan menarik sebuah lembaga donor untuk masuk ke Jembrana, dengan alasan adanya peningkatan kasus HIV di wilayah itu. Pasalnya, lembaga donor tersebut hanya mau masuk ke wilayah dengan kasus tinggi. “Semangatnya oke lah. Tapi mereka sayang main hantam. Mereka tidak memahami VCT, hanya utamakan kasus. Padahal pendampingan kan tidak mudah, “ Keluh Pion.

Ketua Pokja Humas dan Informasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Mangku Karmaya, juga merasa geram terhadap kasus-kasus seperti itu. Karmaya menyebut hal itu sebagai bentuk mandatory test (tes paksa) yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Mandatory test merupakan tes yang dilakukan secara paksa. Segala macam tes untuk tujuan kerja, meminjam uang di bank, atau apapun, dikatakan termasuk kategori mandatory test. Ini tak sesuai dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS.

Kecewaan juga disampaikan Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati. Apalagi prinsip kerahasiaan juga banyak sekali dilanggar oleh praktik-praktik mandatory test tersebut. Seyogyanya, hasil tes HIV hanya boleh diketahui oleh klien dan konselor saja. Tak boleh ada orang lain yang mengetahui hasil tes itu, tak terkecuali penyedia lowongan pekerjaan atau sejenisnya.

Nyoman Restu Yasa, Operation Manager CTI Bali, perusahaan penyalur tenaga kerja ke kapal pesiar di Amerika Serikat, mengakui syarat ketat terkait kesehatan calon tenaga kerja yang akan dikirimnya. Bila hasil tes kesehatan menyatakan positif HIV, dengan tegas Restu menyatakan tak bisa memberangkatkan calon tenaga kerja bersangkutan. Namun ia membantah hal itu sebagai bentuk diskriminasi terhadap Odha dalam mendapat pekerjaan. Penolakan tak hanya dilakukan terhadap orang yang positif HIV, tetapi juga terhadap orang dengan penyakit-penyakit lain. Baik itu hepatitis, jantung, bahkan infeksi menular seksual. “Kantor pusat sangat memperhatikan masalah kesehatan. Tidak cuma HIV/AIDS, masalah narkoba juga dijadikan syarat,” kilahnya.

Sejak tahun 2000, jelas Restu, CTI telah menetapkan syarat bersih penyakit kelamin dan narkoba sebagai kelengkapan tes kesehatan. Tak jelas apa motifnya. Menurut Restu karena dicurigai banyak penyebaran HIV/AIDS di Asia. Namun ia membantah hal itu sebagai paksaan. “Kalau tidak mau, jangan melamar kerja,” ujarnya.
Mangku Karmaya mengingatkan kepada semua pihak bahwa tes HIV/AIDS tidak relevan dipakai sebagai syarat kesehatan mencari pekerjaan. “Kalaupun saat ini diketahui negatif HIV, tidak jamin seumur-umur akan negatif. Tes negatif tidak menjamin seterusnya negatif. Bisa jadi masih masuk periode jendela,” katanya menjelaskan periode gejala HIV yang tak terdeteksi.

Namun dunia kerja berkata lain. Praktek syarat ketat tak hanya dilakukan perusahaan kapal pesiar. Lalu, apakah persoalan ini mendapatkan perhatian pembuat kebijakan atau menunggu diskriminasi membuncah? [Komang Erviani pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

Tidak ada komentar: