Google
 

Rabu, 14 Juni 2006

Stigma Membayangi Janji

Komitmen untuk penanggulangan HIV/AIDS muncul dari pimpinan daerah. Upaya memenuhi janji, memutus epidemi. Sayang, masih banyak stigma. “Perda seharusnya dibuat untuk mengatur masyarakat yang mayoritas. Untuk apa kita membuat regulasi untuk mengatur orang-orang HIV/AIDS yang notabene masyarakat minoritas? HIV/AIDS kan akibat dari dunia hitam. Kenapa tidak Departemen Kesehatan saja yang mengaturnya?” begitu Yuni Siswati, anggota DPRD Kabupaten Bogor, merespon tawaran untuk membuat Perda Penanggulangan HIV/AIDS.

Tak jauh beda dengan Yuni, rekannya yang juga dari Bogor, Muliyana, juga mempertanyakan perlunya Perda HIV/AIDS. “Kenapa mesti dibikin perda? Kan kasusnya berkaitan dengan prostitusi, perjudian, dan pornografi. Semua itu kan sudah ada aturannya,” tambah Muliyana.

M. Nasser, Kepala Deputi Pengembangan Kebijakan Program dan Hubungan antar Lembaga Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional buru-buru menjawab. “Perda HIV/AIDS jangan ditafsirkan hanya mengatur Odha (orang dengan HIV/AIDS). Perda HIV/AIDS justru mengatur dan melindungi masyarakat umum. Perda dimaksud mengakomodir hak-hak masyarakat,” ujarnya. Menurutnya, harus dilakukan upaya yang terintegrasi untuk penanggulangan HIV/AIDS dengan pendekatan peraturan perundangan.

Komitmen internasional dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, menjadi dasar pertimbangan kuat perlunya perda. Selain itu, Perda HIV/AIDS telah terbukti memberi dampak baik di banyak negara.

Namun Nasser menilai hingga kini belum ada peraturan perundangan di area HIV/AIDS yang secara tajam dan tegas mengatur permasalahan yang ada. Bahkan ia menyebut masih ada Perda yang diskriminatif dan tidak mengakomodir kebutuhan penanggulangan epidemi HIV di lapangan.

Provincial Technical Officer Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) Nusa Tenggara Timur, Simplexius Asa, juga merespon tanda tanya besar tentang perlu tidaknya Perda. “Pengaturan harus lebih ditekankan pada pencegahan, bukan pengaturan untuk minoritas atau kelompok Odha saja. Melindungi masyarakat umum jauh lebih penting,” ungkap pria humoris itu.

Dalam pembuatan Perda, menurut Nasser, perlu pembahasan bersama pihak eksekutif dan legislatif. Perda juga harus disosialisasikan secara penuh untuk mengundang partisipasi masyarakat. Materi pokok dalam perda harus mengatur hak dan kewajiban daerah dan warga daerah, mengatur hukum kesehatan masyarakat, mengatur perdata, mengatur peraturan administratif, mengakomodasi masalah pidana dan HAM, dan organisasi penaggulangan.

Selain itu, penting diatur masalah krusial seperti kerahasiaan status Odha, testing dengan sukarela yang didahului konseling, universal precaution bagi tenaga medis, pengurangan dampak buruk, penyiapan obat antiretroviral (ARV) dan anti infeksi oportunistik, penanganan kehamilan, hingga pengaturan penanganan darah oleh Palang Merah Indonesia (PMI).

Upaya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengadvokasi sejumlah kabupaten/kota untuk membuat Perda HIV/AIDS, mendapat respon beragam. Hal itu terlihat dari banyaknya perdebatan-perdebatan yang muncul dalam Lokakarya Pengembangan Perda Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten/Kota di Indonesia, pertengahan Mei lalu di Kuta.

Lokakarya empat hari yang diikuti pejabat eksekutif dan legislatif dari 10 kabupaten/kota yakni Bitung, Sukabumi, Samarinda, Madiun, Makasar, Balikpapan, Bogor, Yogyakarta, Pontianak, dan Bandar Lampung tersebut, akhirnya menghasilkan sebuah rekomendasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Masih perlu kerja keras mengikis stigma.[Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 17, Juni 2006]

REKOMENDASI KUTA DALAM RANGKA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
HIV/AIDS DI INDONESIA

Memperhatikan data terakhir perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yang telah menyebar ke seluruh kabupaten/kota secara eksponensial ditandai dengan semakin banyaknya kasus epidemi lanjut pada wanita dan anak maka dirasakan perlu untuk mengambil langkah-langkah konkrit dalam upaya pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV/AIDS tersebut.

Pada tanggal 14-16 Mei 2006 di Kuta, Bali telah dilakukan pertemuan antara DPRD dan Bagian Hukum dari sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia. Dalam pertemuan ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendesak DPR RI dan Pemerintah Pusat memasukkan pasal-pasal tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dalam amandemen Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992.
2. Mengusulkan kepada Mendagri agar mendorong Pemda untuk melaksanakan upaya komprehensif dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS.
3. Mendesak KPA Nasional agar melaksanakan koordinasi upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memperhatikan karakter epidemik yang berbeda-beda di masing-masing daerah.
4. Untuk kepentingan tindak lanjut maka pertemuan selanjutnya disepakati dilaksanakan kembali pada bulan November 2006 di Surabaya.
5. Upaya-upaya untuk mengawal Pemda dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS diharapkan dilakukan secara intensif, sistematis dan terencana oleh DPRD setempat.
6. Direkomendasikan agar PERDA yang akan dibuat, mengacu kepada Strategi Nasional.
7. Untuk meningkatkan akselerasi penanggulangan di daerah, diharapkan melibatkan unsur legislatif secara aktif dalam struktur organisasi KPAD.

Kuta, 16 Mei 2006
Kami yang mewakili : John Dumais,BA (Bitung), Drs.Munandi Saleh,Msi (Sukabumi), H.Chairil Anwar,SH.,Msi (Samarinda), Shodiq Ba’abduh (Madiun), H.Andi Iskandar Tompo (Makasar),Drh. Joko Suseno (Balikpapan), H.Iwan Suryawan,S.Sos (Bogor), Drs.Najib M Saleh (Yogyakarta), Sebastian SE,MM (Pontianak), Darwin Djapri,SH (Bandar Lampung)

Tidak ada komentar: