Google
 

Senin, 10 Juli 2006

Tak Perlu Lagi Berbisik untuk Beli Kondom

Si lentur penangkal virus, kondom, kini makin naik daun. Cobalah datang ke beberapa warung, toko, atau bahkan pedagang jamu. Pasti ada beberapa diantaranya yang menjual kondom. Benda yang dulu dianggap tabu itu, kini sudah mulai memasyarakat. Bagaimana tidak, beberapa toko dan warung kini telah melengkapi barang dagangannya dengan kondom segala merek. Percaya atau tidak, kini ada pedagang bakso yang juga nyambi berjualan kondom.

Anggapan bahwa kondom hanya diperlukan oleh orang-orang yang tidak setia dengan satu pasangan, agaknya sudah tidak berlaku lagi. Terbukti, banyak pelanggan kondom yang ternyata menggunakannya dengan istri. Tujuannya, tak lain untuk mencegah kehamilan. Dengan kata lain, keampuhan kondom untuk mencegah penularan penyakit lewat hubungan seksual, tidak berhenti di situ. Kondom juga punya kemampuan lebih sebagai alat kontrasepsi KB (Keluarga Berencana).

Tidak percaya? Coba simak cerita dari dua pria seumuran ini. Abdul Murad, seorang pelanggan kondom yang kini rutin menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi KB. Simak juga cerita Mohamad Syehoni, seorang pedagang jamu di bilangan Jl. WR Supratman yang juga penjual kondom.


Mohamad Syehoni (Penjual Kondom)
“Saya jualan kondom sudah sejak lama, sejak jaman nggak enak. Sejak mulai jualan jamu di wilayah Jalan Raya Sesetan, tahun 1993, sebenarnya sudah mulai banyak orang yang tanya kondom. Awalnya saya cuekin. Lama-lama, kok makin banyak yang minta. Akhirnya sejak tahun 1996, baru saya mulai jual. Karena permintaannya makin banyak.

Dulu cuma jual KB 25, buatan BKKBN. Waktu itu, memang kebanyakan orang beli untuk kontrasepsi KB, biar nggak hamil. Tapi kondisi dulu beda sekali dengan sekarang. Dulu, riskan sekali jualan kondom. Biasanya saya taruh di dalam. Orang yang beli juga masih malu-malu. Biasanya mereka bisik-bisik, “Beli sarung”.
Sekarang, orang beli kondom sudah biasa. Kebanyakan langsung sebut merek. Saya juga sudah biasa memajang kondom-kondom jualan saya. Nggak lagi sembunyi-sembunyi kayak dulu. Dalam sebulan, biasanya terjual sampai 74 bungkus isi tiga. Untungnya lumayan. Dapat lah ratusan ribu sebulan. Pembeli umumnya memang lebih senang kondom yang biasa-biasa saja. Harganya sekitar Rp 3.500 sampai Rp 5.000, isi tiga pula. Murah meriah lah. Saya pernah coba jual kondom yang agak “berkelas”, tapi ternyata nggak laku. Katanya sih mereka malas beli yang mahal-mahal.

Terus terang, sekarang saya lihat ada perbedaan mencolok dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar pembeli saya adalah pria dewasa. Katanya untuk alat kontrasepsi KB dengan istrinya.


Abdul Murad (Pelanggan Kondom)
Saya sudah hampir satu setengah tahun pakai kondom. Gara-garanya, istri saya ikut KB, tapi kebobolan juga sampai lahir anak ketiga. Dulu, setelah lahir anak pertama, istri saya pakai suntik KB. Tapi gara-gara pake suntik, istri saya tambah gemuk. Nggak cuma itu. Setelah dua tahun pakai suntik, dilepas, ternyata nggak juga mau hamil anak kedua. Sampai satu tahun setelah dilepas suntiknya, baru mau hamil. Itu juga setelah istri saya minum obat penyubur.

Karena pengalaman yang jelek itu, istri saya nggak mau lagi pakai suntik. Setelah anak kedua lahir, istri saya pindah pakai pil KB. Tapi karena sempat lupa minum, kebobolan juga. Sebab dulu pernah juga ada orang yang kasih tahu, minum pil setelah berhubungan, jangan sebelumnya.

Setelah lahir anak ketiga, akhirnya saya memutuskan make kondom saja. Biar nggak lagi kebobolan. Apalagi saya sekarang punya tiga anak. Yang pertama umur 11 tahun, anak kedua umur 4,5 tahun, dan anak ketiga umur 2,5 tahun. Syukur lah, istri saya sampai sekarang belum pernah kebobolan lagi.

Sebenarnya saya sudah dari dulu kenal kondom. Tapi nggak pernah make. Saya pikir juga nggak penting. Kalau dibilang nggak enak pake kondom, sebenarnya nggak juga. Namanya enak nggak enak, sebenarnya masalah kebiasaan. Yang penting sudah keluar, sudah enak. Kalau sudah biasa, nggak ada masalah kok.


Membumi Melalui Outlet Kondom
Kondom memang benda ajaib. Benda mini yang sederhana itu, punya keampuhan luar biasa. Kemampuannya mencegah kehamilan dalam hubungan seksual, tidak perlu diragukan lagi. Tentu saja, bila cara penggunaannya benar. Tak cuma itu, kondom juga ampuh melakukan pencegahan penularan penyakit dari hubungan seksual. Mulai dari penularan infeksi menular seksual (IMS) hingga penularan virus HIV, virus penyebab AIDS.

Program condom use 100 persen di Thailand, terbukti mampu mengurangi tingkat penyebaran HIV/AIDS. Program ini kerja sama pemerintah dengan pelaku prostitusi setempat untuk meningkatkan penggunaan kondom. Tak heran, program serupa juga tengah diupayakan di Bali. Salah satu langkahnya, yakni dengan peningkatan akses kondom.

Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), lembaga pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, merupakan salah satu lembaga yang serius melakukan program ini. Caranya, YCUI merekrut orang-orang yang peduli dengan masalah ini. Mulai dari para pemilik toko, warung, pedagang, hotel, kafe, bidan, mantri desa, hingga penampung pekerja seks (baca: germo). Mereka diajak secara sukarela untuk menjadi outlet kondom.

Hasilnya? Lumayan. Sejak program outlet kondom itu dilaksanakan di tahun 2000, YCUI kini telah memiliki 74 outlet kondom yang tersebar di wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, dan Jembrana.

Selama 2006 ini, hingga Mei, jumlah kondom yang tersebar melalui outlet, cukup banyak. Melalui outlet, kondom yang tersebar mencapai 7.587 buah. Ada juga program peningkatan akses kondom melalui relawan-relawan perorangan. Dari cara ini, kondom yang tersebar sudah mencapai 6228 buah. Sementara total penyebaran kondom dari seluruh program, termasuk melalui outlet, relawan, instansi, penyuluhan, diskusi, dan sebagainya, telah mencapai 34.673 buah. Tak heran bila hasil mini behaviour surveilance survey (Mini BSS) atau survei perilaku yang dilaksanakan Indonesia HIV/AIDS Prevention Care Project (IHPCP) dengan sejumlah LSM mitranya selama Februari-Maret 2006, menunjukkan grafik peningkatan. Hasil survei pada pelanggan seks jangkauan YCUI menunjukkan, akses kondom mencapai 92 persen. Angka yang cukup tinggi di tengah besarnya batu sandungan dalam program peningkatan penggunaan kondom di masyarakat. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 18, Juli 2006]

Tidak ada komentar: