Google
 

Kamis, 20 Juli 2006

Rumput Laut Demi Karang

Para nelayan di sekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) beralih profesi menjadi petani budidaya rumput laut. Meninggalkan budaya pengeboman ikan demi menyelamatkan terumbu karang. Keuntungan ekonomis memperkuat motivasi.

Di tengah perairan Bali barat, sekitar satu kilometer dari pesisir Pantai Sumber Pao, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Latief (32 tahun) asyik duduk di atas sampan kayu mungilnya. Jari jemarinya yang terlihat kekar, sibuk memetik rumput laut dari ikatan-ikatan tali yang dijadikan media tanam. Senyumnya mengembang. Rupanya, sampan kecilnya sudah hampir penuh dengan rumput laut. Beratnya diperkirakan sudah mencapai 2 kwintal. Ratusan ribu rupiah sudah terbayang di benak Latief.

Panen perdana yang dilakukan Latief dari usaha budidaya rumput laut yang dimulainya sejak awal 2006 ini, telah memberi keuntungan melimpah baginya. Apalagi bila dibandingkan dengan hasilnya melaut yang tak seberapa. Untuk melakukan budidaya, ia hanya perlu merakit bibit-bibit rumput laut di sejumlah tali dengan panjang masing-masing 40 meter. Dengan hanya membiarkan rakitannya mengapung di perairan selama sekitar 45 hari, Latief sudah bisa mendapat hasil dalam jumlah yang cukup banyak. Nilai ekonomisnya juga dihargai cukup tinggi. Untuk hanya satu kilogram rumput laut basah, ia bisa mendapat Rp 3.600. Tetapi bila dikeringkan, harganya bisa mencapai dua kali lipat.

Rumput laut telah menjadi ladang pencaharian yang menggiurkan bagi Latief dan sejumlah nelayan di wilayah Bali Barat sejak awal 2006 ini. Maklum, keuntungan yang didapat jauh lebih tinggi daripada sekadar melaut. Bahkan, panen perdana secara besar-besaran telah dilakukan bersama-sama oleh sekitar 91 nelayan pada Juni lalu. Hasilnya tak tanggung, mencapai 50 ton rumput laut basah. Sebuah perusahaan pemasok rumput laut, CV Kembang Kidul, juga telah membuka diri untuk membeli semua hasil panen tersebut. “Ini adalah rumput laut jenis Kafaphicus Alvarezi yang punya kandungan serat karaginan paling tinggi. Jenis ini paling baik,”jelas Dewa Gede Pastika dari CV Kembang Kidul. Karaginan merupakan zat dengan kandungan serat yang penting dan sehat dalam rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang.

Sejak puluhan tahun lalu, aktivitas penangkapan ikan menggunakan bom dan potasium di TNBB telah mengancam kehidupan terumbu karang dan ekosistem laut kawasan itu. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Community Alternative Livelihood Officer WWF-Indonesia, Manu Drestha, kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potasium, telah menjadi perusak paling besar bagi ekosistem bawah laut TNBB. Ini berbahaya karena TNBB pada dasarnya merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Bom dan potasium awalnya dianggap sebagai solusi atas minimnya hasil tangkapan saat melaut. “Paling banter dapat 10 kg ikan. Itu juga jarang. Kadang nggak dapat ikan. Mancing nggak bisa. Terpaksa pake potas. Terpengaruh teman-teman, ikut,” kenang Sutrisno, nelayan lain yang kini telah beralih ke rumput laut. Kini ia mengaku tak mau lagi ngebom ataupun motas. “Bom, saya takut. Rugi ama polisi,” begitu ia kini.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Awalnya, budidaya rumput laut direspon baik oleh 30 orang nelayan. Namun banyaknya kendala, membuat para nelayan itu tumbang satu per satu. Pertumbuhan rumput laut yang tidak bagus, membuat banyak nelayan putus asa. Adalah Daeng Hayak, 70 tahun, satu-satunya nelayan yang tetap bertahan. Ayah dari 10 orang anak asal suku Bugis itu telah optimis dengan usaha budidaya rumput laut sejak awal. Karenanya, dalam berbagai kesempatan, ia selalu mencoba mencari jenis rumput laut yang sesuai dengan kondisi TNBB.

Awalnya, ia membeli bibit di Madura Jawa Timur. Namun sebanyak 2 kuintal bibit yang dibelinya dengan harga Rp 2.500 per kg itu, tak memberikan hasil memuaskan. Lantas ia membeli bibit ke petani rumput laut di kawasan Nusa Dua-Badung. Sebanyak 6 kuintal bibit dengan harga Rp 2.000 per kuintal itu pun, terbuang percuma. “Waktu nanam, dimakan penyakit,” cerita Daeng Hayak.
.
Baru pada pertengahan 2005, ketika mengikuti studi banding ke petani rumput laut di Pulau Besar, Maumere NTT, Daeng Hayak menyempatkan membeli 10 kg bibit rumput laut. Harganya tak terlalu mahal, cuma Rp 1.500 per kg. ”Saya lihat hasil rumput laut di sana, kok bagus. Lantas saya bawa pulang 10 kg,” kenangnya. Satu cerita yang tak bisa dilupakan Daeng Hayak, sepasang sepatunya harus dibuang di bandara demi membawa lebih banyak bibit.

Tak percuma nelayan yang dulunya juga sering menangkap ikan dengan bom dan potasium itu membuang sepasang sepatunya. Hanya dalam hitungan 20 hari sejak ditanam, 10 kg bibit rumput lautnya telah tumbuh menjadi 1 kuintal. Menyadari kalau budidayanya kali ini berhasil, Daeng Hayak lantas fokus pada upaya memperbanyak bibit. Hasil budidayanya ditebar dan ditebar lagi. Sampai-sampai, banyak nelayan lain yang kembali tertarik membudidayakan rumput laut. ”Nelayan lain nempil bibit sama saya. Waktu sudah banyak, saya kasi harga Rp 5.000 per kg,” jelasnya.

Sejak Maret 2006, Daeng Hayak baru menikmati hasil budidayanya. Ia mulai mampu menjual rumput laut basah. Hasilnya pun cukup besar. Ia mengaku telah mendapat keuntungan total Rp 6 juta sejak menggarap bibit rumput laut jenis Kafaphicus Alvarezi asal Maumere.

Kini, pria yang mendapat gelar “Pahlawan Rumput Laut Bali Barat” dari FKMPP dan WWF-Indonesia pada Juni 2006 lalu itu, telah memperluas budidayanya di lahan 2,5 hektar. Meski mengaku menghadapi berbagai kendala, masalah permodalan dan hama penyakit, namun Daeng Hayak mengaku sudah cukup senang. ”Sekarang sudah enak dah. Cukup untuk bayar-bayar. Waktu masih mancing, dulu ikan nggak laku. Sekarang sudah ada tabungan. Agak tenang,” jelas pria yang masih menanggung biaya sekolah tiga anaknya. Setidaknya, kini Daeng Hayak bisa panen dua kali seminggu.

Tak cuma kehidupan Daeng Hayak yang ”disulap” oleh rumput laut Maumere. Sebanyak 91 nelayan dari 6 kelompok nelayan di Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan Gerokgak, kini menggantungkan hidup dari budidaya rumput laut berukuran besar itu.Tak terbatas pada usaha budidaya dan penjualan, tetapi juga pada usaha pengolahan rumput laut. Oleh para istri nelayan yang tergabung dalam kelompok Sumber Laut Putri, rumput laut diolah menjadi berbagai makanan seperti krupuk, dodol, manisan kering dan basah, selai, kue donat, kue bolu, kue lumpur, asinan, agar-agar, sirup, hingga es rumput laut.

Lahan seluas 15 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Namun potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu masih terbuka lebar, mengingat masih banyak potensi lahan yang belum tergarap. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 250 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, I B Wisnawa Manuaba, juga mengakui potensi pasar rumput laut masih cukup luas. Hal itu terutama karena banyak permintaan rumput laut dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, Hongkong, dan lainnya. ”Karena manfaat rumput laut banyak sekali,” jelas Wisnawa sembari menyebut wilayah Buleleng sebagai salah satu kabupaten penghasil rumput laut potensial.

Meningkatnya ekonomi masyarakat berkat budidaya rumput laut, membuat pengeboman ikan telah ditinggalkan nelayan Bali barat. Akibatnya, pertumbuhan terumbu karang di wilayah Bali Barat pun makin membaik. Pada Agustus 2005 misalnya, berdasar catatan WWF-Indonesia, tutupan karang hidup sudah mencapai 58 persen. Jumlah itu meningkat pada Februari 2006 menjadi sebesar 62 persen.

Meski kesadaran masyarakat akan kelestarian alam telah meningkat, antisipasi atas pelanggaran-pelanggaran tetap dilakukan. Untuk itu, bekerjasama dengan Polisi Hutan TNBB, Polair, Pecalang, dan nelayan setempat, FKMPP melakukan patroli rutin dua kali sebulan di perairan Bagi nelayan yang kepergok menangkap ikan dengan bom atau potasium, akan dikenakan sanksi administrasi atau denda.

Kepala Balai TNBB, Hendrik Siubelen, juga menyambut positif kegiatan budidaya rumput laut oleh nelayan sekitar. ”Salah satu solusi yang harus dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang, masyarakat perlu mencari alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan,” ujarnya. Hendrik cuma mengingatkan bahwa budidaya hanya boleh dilakukan di luar kawasan TNBB. TNBB dengan ekosistem yang sangat beragam, merupakan penunjang bagi kawasan Bali barat khususnya dan Bali pada umumnya. Kerusakan kawasan TNBB sama artinya dengan merusak kawasan penunjang kelestarian alam Bali. [Komang Erviani]

1 komentar:

fadli mengatakan...

terima kasih atas informasi ni komang ervianai...
dan bisakah saya mendapatkan cara pembautan kerupuk rumput laut seperti yang diusahakan masyarakat pesisir bali barat..atas perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih.