Google
 

Minggu, 09 Oktober 2005

Rehab Narkoba Bangli, Makin Dilupa

Rehab narkoba di Rumah Sakit Jiwa Bangli makin tak digemari setelah muncul program methadone. Hanya 10 persen pasien lulus tahap awal. Program lanjutan belum bisa digelar.

Gerbang sederhana di kawasan Jalan Kusumayudha Kabupaten Bangli, menjadi pertanda bahwa kita sudah memasuki areal Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang dipenuhi oleh ratusan orang dengan gangguan kejiwaaan. Tapi jangan salah, para pecandu narkoba juga bisa dirawat tempat itu. Salah satu gedung di areal 77.850 m2 itu, Paviliun Sri Kresna, memang khusus disediakan bagi pecandu narkoba. Sejak tahun 1995 lalu, pusat rehabilitasi medik ketergantungan narkoba itu khusus dibangun Pemerintah Provinsi Bali di RSJ Bangli untuk menyikapi makin tingginya tingkat penyalahgunaan narkoba di Bali.

Pembangunan rehab narkoba di areal rumah sakit jiwa, mengundang banyak pertanyaan. Apakah pecandu narkoba sama dengan pasien jiwa? “Pada dasarnya pecandu narkoba itu kan mengalami gangguan dalam jiwanya. Biasanya mereka paranoid, depresi, dan lain-lain,” ujar Direktur RSJ Bangli, I Gusti Rai Tirta.
Meski telah hampir 10 tahun beroperasi, namun dokter spesialis kejiwaan ini mengakui program rehab belum berhasil dilakukan. Program yang sudah terlaksana hanyalah program 1 bulan yang intinya hanya pada terapi medik dan diagnostik. Upaya dengan detoksifikasi, penggunaan obat-obatan terlarang diputus sama sekali.

Saat timbul gangguan-gangguan penyertanya, pasien hanya diberikan obat-obatan biasa di luar golongan yang sama dengan yang biasa dipakai oleh pasien, atau umum disebut terapi simptomatik. “Kalau dia merasa nyeri, ya kita beri obat nyeri. Tidak bisa tidur, beri obat tidur. Kalau depresi, kita beri obat anti depresi,” jelasnya.
Dalam jangka pendek, menurut Rai, program terapi medik dan diagnostik itu sangat efektif menghentikan pemakaian narkoba oleh pasien. Namun setelah keluar rehab, sebagian besar pasien umumnya kembali menggunakan obat terlarang itu. “Kalau keluar dari sini, 100 persen sudah tidak make. Tapi setelah itu, setelah keluar, make lagi,” tegas Rai. Banyaknya pasien yang relapse (kambuh) setelah keluar, menurutnya umum terjadi. Pasalnya, kebanyakan pecandu kesulitan menghilangkan sugestinya untuk terus memakai narkoba. Apalagi karena kebanyakan datang atas desakan keluarga.

Yang paling menjadi kendala menurutnya karena program lanjutannya belum bisa dilakukan. Selain program 1 bulan, Paviliun Sri Kresna sebenarnya juga mempunyai program lanjutan di bulan kedua dan ketiga. Meliputi program terapi seni, terapi kelompok, konseling keluarga, interaksi sosial, pendidikan mental, pengenalan diri, pengenalan lingkungan, belajar tanggung jawab, hingga monitoring dan kunjungan rumah. Ada juga program 6 bulan dan 1 tahun yang dilakukan lewat rawat jalan. Sayang, jangankan program lanjutan, progran 1 bulan pun hingga kini belum berjalan optimal. Menurut Rai, tingkat kelulusan pasien dari program 1 bulan hanya 10 persen. Selebihnya sudah keluar dari rehab sebelum menyelesaikan program.
Salah seorang mantan pecandu yang pernah bolak-balik mengikuti rehab di RSJ Bangli, Yogi Handoko, mengaku program yang diterapkan terlalu membosankan. Pasien menurutnya hanya makan dan tidur di tempat tersebut, dan hanya diberikan obat-obatan yang tak banyak membantu. Akibatnya, beberapa kali Yogi hanya mampu mengikuti program selama rata-rata 2 minggu. “Saya cuma dikasi obat. Di sana cuma makan, tidur aja,” ujar Yogi yang mengaku sudah menghabiskan jutaan rupiah untuk mengikuti program ini. Untuk keluar rehab juga tidak sulit. “Tinggal kita bayar, sudah bisa keluar. Pokoknya kita bilang aja sudah enakan,” tuturnya.

Biaya untuk mengikuti rehab di RSJ Bangli memang tidak murah. Secara umum, pasien rata-rata harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah hanya dalam seminggu. Tentu saja, harganya sesuai dengan ruang perawatan yang dipilih dan jenis pengobatannya. Untuk kelas utama misalnya, pada minggu pertama pasien diperkirakan menghabiskan Rp 1.750.000. Pada minggu kedua sampai keempat, bebannya lebih ringan, yakni Rp 1 juta per minggu. Sebagai gambaran, harga sewa kamar perawatan saja untuk kelas utama senilai Rp 137.500 per hari, kelas I Rp 75.000 per hari, kelas II Rp 50.000 per hari, dan kelas III Rp 15.000 per hari.
Guna menngoptimalkan kualitas pelayanan, rehab narkoba RSJ Bangli memiliki 12 perawat, 2 psikolog, 1 tenaga administrasi, 1 dokter konsultan, dan 2 dokter umum. Tenaga perawat yang ditugaskan, sama dengan tenaga perawat untuk pasien jiwa. Bedanya, mereka sempat dilatih khusus untuk masalah narkoba.

Rai mengakui, masih banyak kelemahan dari program-program yang dilaksanakan.
Tetapi ia membantah bila tidak ada program dalam rehab. “Kita berikan terapi musik, sembahyang, macam-macam. Tapi karena mereka yang malas, kadang nggak jalan karena pasien sendiri tidak disiplin, jadi mereka bosan,” jelasnya. Terhadap pasien yang ingin keluar rehab sebelum waktunya, pihak rumah sakit menurutnya tidak bisa menolak. Rumah sakit tak bisa memaksa pasien melanjutkan program bila tak diinginkan. “Hak pasien memilih dan melepas. Tapi tetap kita berikan arahan sehingga dia bisa tetap mau lanjutkan program itu,” ungkapnya.
Pada awal didirikan, perkembangan rehab narkoba RSJ Bangli diakui Rai cukup baik. Terbukti, saat pertama didirikan, rehab medik narkoba hanya memiliki 1 unit gedung dengan 8 tempat tidur. Baru kemudian pada 2001, ruang perawatan diperluas jadi 25 tempat tidur. Namun belakangan, tepatnya sejak sekitar tahun 2003, jumlah pasien narkoba terus menurun. Pada 1999 misalnya, jumlah pasien yang dirawat mencapai 68 orang setahun. Namun terus berkurang menjadi 67 orang pada 2000, 55 orang pada 2001, 46 orang pada 2002, 39 orang pada 2003, 22 orang pada 2004, dan hanya 18 orang pada 2005 (hingga Agustus). Bahkan sejak September lalu, rehab narkoba RSJ Bangli tak mempunyai 1 pasien pun. Akibatnya, ruang Paviliun Sri Kresna dimanfaatkan pula untuk merawat pasien jiwa. “Karena kebetulan ada gedung yang direhab. Jadi beberapa pasien kita rawat di Paviliun Kresna,” kata Rai. Menurunnya peminat rehab narkoba RSJ Bangli diperkirakannya karena banyak pasien yang beralih menggunakan methadone.

Menariknya, ternyata RSJ Bangli sudah digunakan untuk merawat pecandu narkoba sejak tahun 1970-an. Hal itu diakui mantan Direktur RSJ Bangli pada tahun 1967-1986, dr. Denny Thong. Namun saat itu, tak ada program khusus bagi mereka yang menjadi pasiennya. Penggunaan RSJ sebatas tempat, mengingat keterbatasan sarana pada waktu itu.

Pemilihan tempat rehab narkoba di RSJ menurutnya justru tak efektif, karena penanganannya harus berbeda. Diakui, masalah kejiwaan menjadi salah satu persoalan dari pecandu narkoba. Namun masalah kejiwaan bukan yang pokok yang harus diatasi. “Sakaw-nya dulu yang jadi pokok. Bukan kejiwaannya,” jelas Staf Ahli Badan Narkotika Propinsi Bali yang kini menjadi dokter langganan pecandu narkoba untuk memutus ketergantungan itu. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 9, Oktober 2005]

Tidak ada komentar: