Google
 

Kamis, 13 Oktober 2005

Trauma Itu Belum Berlalu

Tawa lepas sejumlah anak-anak, memecah kesunyian jalan Legian, Kuta, yang baru saja mengharu biru oleh peringatan 3 tahun tragedi bom Bali yang dimotori pemerintah Australia, 12 Oktober lalu. Jalanan yang hari itu bebas kendaraan, menjadi tempat bermain asyik buat mereka. Mereka berlarian dari satu gerai ke gerai lain yang sedang tak beroperasi. Maklum, hari itu jalanan ditutup polisi, terkait peringatan tiga tahun Bom Bali.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari mereka. Layaknya anak-anak, gerak dan tawa mereka lepas. Tapi saat diajak berbicara soal bom, dengan lantang mereka bercerita tentang kejadian yang hingga kini masih menjadi trauma. "Waktu itu saya tidur. Tiba-tiba dibangunin sama ibu,"Ni Nyoman Desi Damayanti, 9 tahun, bercerita. Bocah yang kini duduk di kelas 4 SD itu, awalnya mengaku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika dibangunkan, ia lantas berlari mengikuti gerak sang ibu. Satu tangannya menggenggam tangan yang dikira tangan sang adik. "Waktu saya lihat, nggak tahu tangan siapa. Nggak ada badannya,"tutur bocah yang tinggal sekitar 15 meter dari lokasi itu. .

Kepanikan makin menjadi ketika sebagian bangunan rumahnya yang menyatu dengan art shop di bagian depan, ternyata telah roboh dan dilalap api. Desi dan keluarganya lantas memutuskan melompati tembok rumah bagian belakang yang tingginya mencapai 2 meter. "Adik saya sempat ketinggalan di dalam rumah. Tapi diselamatkan sama ibu,"jelas putri ke-3 dari 4 bersaudara itu. Dalam upaya menyelamatkan diri, Desi juga sempat mengalami luka di bagian kaki karena menginjak pecahan kaca. Saking paniknya, ia juga sempat terpisah dengan keluarganya. "Untung ketemu beli (kakak) misan. Langsung digendong. Di depan Matahari (Dept Store), ketemu bapak. Terus diantar ke rumah sakit,"begitu bocah yang mengaku hingga kini masih sering teringat dengan kejadian itu. "Kalau ingat, saya takut," tegasnya diiyakan sang adik, Ketut Luis Priambada, 8 tahun, yang juga masih mengingat peristiwa dengan korban tewas 202 orang itu. Putu Suryawan, 9 tahun, tak jauh beda. Beruntung, Suryawan dan keluarganya tinggal di rumah yang agak jauh dari lokasi, sekitar 150 meter. "Langsung lari ke Gianyar (rumah saudara),"jelasnya.

Peledakan bom di Kuta Square pada 1 Oktober lalu, sempat membuka kembali trauma Desi, Luis, Suryawan, dan sejumlah anak-anak lain di sana. Meski suara ledakan di lokasi yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya itu tak terdengar, namun mereka mengaku sempat ketakutan saat beberapa orang lari sambil berteriak ada bom di Kuta Square. "Takut sekali waktu itu. Inget sama bom yang dulu,"tandas Desi. Meski masih kanak-kanak, Desi tak canggung mengecam tindakan para teroris itu. Apalagi ketika tahu kalau pelakunya, Amrozi Cs, bukannya segera dieksekusi mati, tetapi malah dipindahkan ke LP Batu Nusa Kambangan. "Harusne matiang gen (harusnya dimatikan saja),"tegas bocah
itu.

Bom di Paddys Pub dan Sari Club ketika jarum jam menunjuk ke arah angka 11 itu, juga masih terngiang jelas di benak Made Yudana, 32 tahun. Yudana yang rumahnya hanya berbatasan tembok dengan Sari Club, saat kejadian tengah asyik menonton TV yang menyiarkan acara tentang yoga. Ia kaget ketika ledakan keras terjadi dan menerbangkan genteng-genteng rumahnya. "Untung gentengnya terbang ke luar. Nggak kena tempat tidur. Soalnya anak istri sedang tidur waktu itu,"jelasnya. Yudana juga sempat melihat sejumlah organ tubuh beterbangan ke halaman rumahnya. "Ada bola mata, ada tangan, kaki, macam-macam pokoknya,"cerita
Yudana yang mengaku istrinya masih trauma hingga sekarang.

Belum habis trauma yang dialami para korban bom Legian, serangan teroris di Kuta dan Jimbaran 1 Oktober lalu kembali membangun trauma baru. Muliati, kasir Rajas Bar and Restaurant, merasa kaget luar biasa oleh ledakan dari arah kanannya, ketika ia tengah asyik menghitung tagihan pembeli. Muliati hanya ingat ketika ledakan itu membuatnya terpental dari posisi berdirinya. "Setelah itu saya udah nggak sadar. Waktu sadar saya udah di rumah sakit," tutur perempuan yang telah mengabdi di Rajas selama 6 tahun itu. Akibat peristiwa itu, fungsi organ tubuh bagian kanan Muliati sedikit terganggu. Kaki dan tangan kanannya tak merespon. Begitu juga dengan gendang telinga dan mata kanannya, tak bisa berfungsi dengan baik.

Wayan Ani, sedikit beruntung. Sebuah gotri mampir di bagian bawah telinganya. Lebih dari itu, perempuan yang menjadi waitress di Kafe Kalanganyar, tak jauh dari Kafe Nyoman, tak pernah bisa lupa dengan peristiwa kelabu itu. Ia ingat betul saat tiba-tiba terjadi ledakan, kursi-kursi beterbangan bersama pasir, gotri, dan lainnya. Posisinya waktu itu, hanya sekitar 5 meter dari lokasi kejadian. "Waktu ledakan di Menega, saya sudah dengar. Tapi karena suaranya
kecil, saya santai. Tapi pas saya mau jalan ke bar, tiba-tiba ada ledakan lagi dari arah utara
saya,"ceritanya.

Berbeda dengan Muliati dan Ani yang masih bisa menceritakan peristiwa naas itu, Putu Swadesi, 25 tahun, hingga Rabu pekan lalu belum bisa bicara apa-apa. Trauma berat dialami perempuan asal Karangasem yang datang ke Kafe Menega dengan majikannya untuk makan malam. Sejak sekitar 6 tahun lalu, Swadesi telah bekerja sebagai baby sitter di keluarga pasangan Heru dan Juliet. Ia tengah menjaga dua anak majikannya, ketika peristiwa itu terjadi. Empat buah gotri mampir di leher, punggung, kepala, dan lengan dari perempuan yang tamatan SMP itu. Kadek Seniati, kakak Desi, bercerita bahwa sang adik sempat menelpon ayah mereka ketika peristiwa terjadi. "Pak, tolong Desi pak. Desi dapat kecelakaan di Jimbaran,"begitu isi teriakan Desi via seperti diceritakan Seniati. Sayang, Desi yang hingga masih terbaring lemah di RS Kasih Ibu, hanya bisa diam dan tak banyak bercerita tentang kejadian yang dialaminya malam itu. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: