Google
 

Minggu, 11 Desember 2005

Akhir Kisah Air Paradise, Mati di Pasar Bebas

Empat unit pesawat Airbus, masing-masing dua unit jenis A 300-600 dan dua unit jenis A310 300, milik Air Paradise Internasional terparkir rapi di apron Bandara Ngurah Rai, Bali. Sejak 23 November lalu, Keempat pesawat yang hingga kini masih nunggak angsuran dari leasing di Perancis, itu sudah tak lagi beroperasi. Istilah sederhananya, nganggur. Semua rutenya, Denpasar-Adelaide, Denpasar-Brisbane, Denpasar-Incheon, Denpasar-Melbourne, Denpasar Perth, dan Denpasar-Sydney, tak lagi diterbangi. Sebanyak 2.000 calon penumpang yang masih mengantongi tiket, dialihkan ke penerbangan Qantas Airlines.

Nihilnya aktivitas awak pesawat di Bandara Ngurah Rai, juga terlihat di markas maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu di Jalan Gunung Tangkuban Perahu no. 66 Kerobokan, Kuta, Bali. Pintu masuknya yang berpagar coklat, Kamis kemarin tertutup rapat dan dijaga empat petugas. Dua aparat kepolisian dari Poltabes Denpasar dan dua orang satpam setempat. Sejumlah kertas tertempel acak. “Closed“, begitu isi salah salah satu kertas. Kertas lain menyebutkan beberapa nomor telepon yang bisa dihubungi bila ingin meminta informasi.“Kami belum boleh terima tamu. Sebab masih ada audit,“jelas Simon Hasibuan, staf di bagian sales saat dihubungi per telepon. Namun dengan sedikit mengecoh petugas, GATRA sempat masuk ke dalam kantor areal kantor yang berjarak hanya sekitar 300 meter dari Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan itu.

Sepuluh unit mobil jenis Kijang, 1 minibus, dan sebuah mobil boks berlogo Air Paradise, terparkir rapi di areal parkir, di antara beberapa mobil pribadi milik pegawai. Beberapa diantaranya ditempeli kertas putih bertuliskan “Dijual, Hubungi 0361-730088“. Sejumlah pegawai terlihat sibuk dengan mobil Kijang biru yang terparkir persis di depan lobi kantor. Masing-masing memegang cutter. Stiker Air Paradise yang melekat erat di mobil itu jadi sasaran.“Disuruh bersihin, biar nggak ada logonya,“jelas salah seorang diantaranya. Keputusan direksi PT. Air Paradise International untuk menutup usahanya, diumumkan kepada pers pada Rabu sore, 23 November 2005. Pengumuman disampaikan langsung oleh Kadek Wiranatha selaku owner, didampingi Deputy Manager Berry Hass, serta General Manager Affair, I Putu Oka. “Pada prinsipnya saya mohon maaf sebesar-besarnya karena untuk sementara kami merasa tidak bisa menjalankan Air Paradise ini. Semua akibat kejadian bom Bali 1 Oktober lalu'', tutur Kadek Wiranatha lesu.

Keputusan yang mengejutkan itu, diambil setelah perusahaan menerima banyak sekali pembatalan penumpang paska bom Bali II. Sedikitnya, 12.800 penumpangnya mengajukan pembatalan dengan alasan khawatir dengan serangan teroris susulan.

Paska peledakan bom di Kuta dan Jimbaran, 1 Oktober lalu, okupansi penumpang dalam penerbangan Air Paradise sangat rendah. Kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen. Tentu saja, kondisi itu memberi kontribusi kerugian yang sangat besar bagi Air Paradise. Jika dihitung kasar, untuk satu penerbangan pulang pergi (PP) dengan okupansi 10 persen, Air Paradise harus menangguk rugi 150 ribu dolar AS. Kerugiannya membengkak karena Air Paradise harus merefund seluruh tiket yang sudah terjual, sesuai isi perjanjiannya dengan travel agent.

Kondisi itu tentu saja “mengagetkan” sistem keuangan perusahaan. Padahal sebelum kejadian bom, load factor penumpang pesawat AP rata-rata mencapai 75 persen dari jumlah tempat duduk setiap pesawat yang mencapai 277 seat. ''Setelah bom, kursi yang terisi hanya mencapai 10-30 persen penumpang saja sehingga memaksa kami menutup sementara penerbangan sampai kondisi memungkinkan'', paparnya. Wiranatha meyakinkan, Manajemen Air Paradise telah melakukan segala upaya demi tetap bisa operasional, termasuk melakukan penciutan jadwal penerbangan. “Namun usaha itu mentok,”keluhnya.

Keputusan tersebut tentu saja mengundang tanda Tanya besar. Apalagi, maskapai penerbangan milik pengusaha lokal Bali itu sudah mereguk banyak prestasi, meski belum genap dua tahun beroperasi. Air Paradise Internasional yang mulai beroperasi 16 Februari 2003, sudah dianugerahi PATA (Pacific Asia Travel Association) Award kategori “Excellent“ dari PATA Bali, 23 Oktober 2003. Sebulan kemudian, November 2003, penghargaan internasional juga datang dari Travel Trade Gazette (TTG) atas keberanian dan kesuksesan Kadek Wiranatha meluncurkan maskapai penerbangan. Atas alasan yang sama, Dinas Pariwisata Bali juga menganugerahi Kadek Wiranatha sebuah penghargaan Karyakarana Pariwisata atas jasa kepeloporannya bagi pariwisata Bali. Sejumlah pengusaha bahkan sempat berencana menanamkan saham di Air Paradise, guna mewujudkan cita-cita agar Bali memiliki maskapai penerbangan sendiri. Tujuannya, agar rute-rute potensial yang tak dipedulikan Garuda Indonesia, dapat diterbangi.

Langkah berani Kadek Wiranatha memang patut diacungi jempol. Pengusaha kelahiran Singaraja yang sukses membesarkan Bounty Hotel, Barong Hotel, Restoran Gado-Gado dan Restoran Kudeta itu,“menyelamatkan“ pariwisata Bali dengan kehadiran maskapai penerbangannya di tengah banyaknya maskapai yang mengurangi frekuensi penerbangan ke Bali. Puncaknya, saat terjadi serangan terhadap World Trade Center tahun 2001. Maskapai penerbangan Ansett Australia Airlines yang memiliki lebih dari 15 penerbangan di jalur Bali-Australia dalam seminggu, memutuskan berhenti terbang karena pailit. Tentu saja, kondisi itu membuat para calon wisatawan asal Australia yang terkenal “bandel“, tak peduli dengan travel warning yang dikeluarkan negaranya, kesulitan mencari cara berangkat ke Bali. Maklum, bagi sebagian besar warga Australia, Bali sudah dianggap sebagai rumah kedua. Kehadiran Air Paradise yang dijadwalkan Oktober 2002, sempat tertunda oleh peledakan bom di Kuta pada 12 Oktober 2002. Aksi Amrozi dan kawan-kawannya itu membuat Air Paradise makin mantap melangkah hingga diputuskan mulai beroperasi Februari 2003. Sekali lagi, karena wisatawan Australia yang “bandel“ makin kesulitan mencari sarana transportasi ke Bali. Perusahaan yang bermarkas di Kerobokan, Kuta, Bali itu, sejak awal memang mengkhususkan diri menggarap pasar Australia. Awal terbang, Air Paradise Internasional melayani rute Denpasar-Perth empat kali seminggu dan Denpasar-Melbourne dua kali seminggu. Meski sempat menerbangi wilayah Taipei, Jepang, dan Korea, namun Air Paradise kelihatannya hanya berjodoh dengan Australia. API mengklaim telah menerbangkan sedikitnya 20.000 penumpang Australia per bulannya.

Wisatawan Australia selama ini memang tergolong cuek. Kedekatan mereka secara emosional dengan masyarakat Bali, membuat banyak warga Australia ogah mendengar peringatan dari pemerintahnya untuk bepergian ke Indonesia. Padahal, sebagian besar korban bom Bali I adalah warga Australia. Sebanyak 88 orang wisatawan asal negeri kangguru itu, tewas dalam aksi teroris di Paddy Pub dan Sari Club. Namun kenyataanya, Australia tetap menjadi pasar terbesar kedua yang datang ke Bali, setelah Jepang. Itu tak lepas dari sikap pemerintahnya yang tak seketat negara lain seperti Amerika atau negara Eropa lainnya. Buktinya, masih banyak perusahaan asuransi yang siap mengasuransikan warga Australia yang hendak bepergian ke Indonesia.

Namun kondisinya tak sama, paska tragedi bom Bali II. Isu ancaman bom akhir tahun, ditambah pemutaran video rekaman yang berisi pernyataan para pelaku bom bunuh diri dan menyebut nama Australia sebagai sasaran, membalik kenyataan. Negara tersebut memperketat kebijakan travel warningnuya sehingga tak banyak perusahaan asuransi yang siap menjamin warga Australia yang hendak bepergian ke Bali. Hasilnya jelas. Data Dinas Pariwisata Bali menunjukkan, jumlah kunjungan wisatawan Australia ke Bali selama Oktober 2005 hanya sebanyak 12.801 orang, turun drastic dari bulan sebelumnya yang mencapai 32.388 orang. Hitungan total kunjungan wisatawan asing ke Bali juga sangat rendah. Jika selama September angkanya mencapai 162.102 orang, pada Oktober dan November angkanya anjlok menjadi hanya 81.109 orang dan 74.164 orang. “VCD yang sudah banyak beredar di televisi, sangat memojokkan, terutama untuk citra pariwisata Bali,”tegas Wiranatha sembari mengatakan banyak travel agen dan calon penumpang di negeri Kanguru itu merasa khawatir.

Keputusan penghentian operasional Air Paradise, tentu saja mengagetkan karyawannya. Panca, 27 tahun, salah satunya. Sopir yang sudah bekerja setahun di Air Paradise itu, kaget ketika membaca pengumuman penghentian operasional perusahaan tempatnya bekerja di sejumlah surat kabar lokal.“Waktu jemput kru pesawat tanggal 22 November, udah dengar dari kru. Isunya sih, jalur Melbourne aja yang tutup. Eh, nggak tahunya tutup semua semua“ceritanya. Pria yang baru menikah empat bulan lalu itu, mengaku belum tahu apa yang akan dilakukan setelah ini. Setidaknya, ia merasa cukup beruntung karena masih bekerja. Paska penutupan, nasib 350 karyawan belum jelas. Sebagian diantaranya sudah dirumahkan, tanpa status pasti.“Mereka sementara ini tetap digaji,“jelas Simon. Panca mengaku belum berani mencari pekerjaan lain.“Saya masih nunggu aja, sambil jaga-jaga warung sama istri,“jelas pria yang biasanya bisa membawa uang Rp 800 ribu per bulan itu. Lain lagi yang dilakukan Ida Heriyanti, 36 tahun. Lajang yang telah menjadi pramugari Air Paradise sejak awal pembentukannya itu, kini memutuskan kembali ke rumah asalnya di Jakarta. Perempuan yang sudah belasan tahun menggeluti profesi pramugari itu, belum berencana mencari pekerjaan lain, sampai ada kejelasan dari pihak manajemen. Ia dan 135 pramugari dan pramugara lainnya sangat berharap Air Paradise bisa beroperasi lagi. Apalagi kondisi perusahaan sebelum bom menurutnya sedang bagus-bagusnya. Itu bisa dilihat dari gaji Ida yang mencapai Rp 8 juta per bulan. Kalau terbang, ia bisa dapat Rp 10-12 juta per bulan. “Standar kita memang sedang paling tinggi. Bahkan pilot aja sudah ada 30 orang, karena perusahaan sedang ekspansi,“jelasnya. Beruntung, Ida mengaku belum punya banyak tanggungan hidup.“Saya cuma nanggung ibu,“jelas perempuan yang sempat bekerja di Sempati Air, Jatayu, dan Air Mark itu.

Hingga kini, langkah pihak direksi Air Paradise tak juga jelas. Terhadap aset-aset yang dimilikinya, belakangan Wiranatha tak mau menjelaskan. “Nanti dulu ya mbak. Saya masih pusing, belum bisa bicara,”jelas Wiranatha bernada berat di telepon. Sebelumnya, ia hanya mengatakan bahwa urusan karyawan akan diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. ''Kami mungkin akan bangkit kembali sambil menunggu investor yang bisadiajak kerjasama'', janjinya. [Komang Erviani /pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi 04 Tahun XII, 10 Desember 2005 ]

Tidak ada komentar: