Google
 

Minggu, 04 Desember 2005

Tiket Bali Cuma Lima Ribu

Mengantisipasi terorisme, pintu masuk Bali diperketat dengan sistem pemeriksaan KTP. Biayanya Rp 640 juta. Jadi “lahan bisnis” petugas. Tetap jalan meski bom Bali II sudah meledak. Sudah mendarah daging, empat PNS diturunkan pangkat.

Dengan menggandeng kakak perempuannya, Sulamto (29 tahun), berjalan pelan menjauhi pos pemeriksaan KTP, kembali ke pintu masuk penumpang di Pelabuhan Gilimanuk. Di sana, dua orang petugas Pol PP terlihat sibuk memulangkah sejumlah orang tanpa KTP yang hendak masuk Bali. Sulamto tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk lolos. Setengah berlari, langkah kakinya berbelok menjauhi pintu masuk pelabuhan menuju Terminal Gilimanuk. Pedagang es di depan terminal kemudian menghentikan langkah mereka.Dua gelas es dipesan, sebungkus nasi pecel di dalam tas langsung jadi sasaran. “Makan dulu lah, capek,”ungkap sang kakak, Isnaiya.

Hari itu, Sulamto dan Isnaiya berencana mengunjungi saudara mereka yang sudah lama tinggal di Karangasem, Bali. Namun keduanya datang tanpa identitas jelas. Modalnya hanya surat keterangan bepergian, itu pun tanpa tanda tangan dan stempel aparat kelurahan.“Saya sudah lama di Bali. Ayolah pak, sebentar aja, saya mau jenguk adik,” begitu Isnaiya, saat mencoba membujuk petugas di pos pemeriksaan KTP. Debat usir tak berlangsung lama, hingga keduanya diminta kembali ke pintu masuk pelabuhan. “Tadi mau dianter sama petugas, tapi saya nggak mau,”tutur Isnaiya, membagi resep suksesnya lolos dari petugas. Perempuan yang sehari-harinya bertani itu, mengaku hanya bawa uang pas-pasan untuk sampai di Bali. “Saya naik kapal aja nggak bayar. Ada saudara kerja di Ketapang,”tandasnya.

Najian, tak seberuntung Sulamto dan Isnaiya. Gara-gara Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) yang diperolehnya dari Banjar Batur, Kelurahan Ubung, Denpasar sudah mati sejak September lalu, seorang petugas Pol PP mengawalnya kembali ke pintu masuk. “Sekarang ibu pulang dulu, urus dulu KTPnya, baru kembali ke sini,”bentak petugas tersebut. Padahal uang yang tersisa di kantong Najian hanya Rp 10.000. “Terserah ibu. Masa ibu sudah datang nggak bawa identitas, sekarang saya disuruh bayarin ongkos pulang,” Juliarto, remaja asal Jember yang datang bersama temannya No, sama sialnya. Meski Juliarto masih memiliki KIPS yang berlaku hingga Desember, namun rekannya No ternyata tidak. KIPS milik No sudah kedaluarsa September lalu. “Saya masih tunggu saudara. Mau balik, udah nggak bawa uang,”jelasnya sambil duduk di bangku kayu, persis di depan loket pembelian karcis kapal.

Petugas tak mau kecolongan. Mereka sadar tengah disorot paska terungkapnya praktik korupsi kecil-kecilan di tempat kerja mereka. Korupsi yang menyeret empat rekan mereka pada sanksi penurunan pangkat. Selama setengah hari, mereka telah memulangkan 80 orang tanpa identitas lengkap yang ingin masuk Bali. Umumnya, para penumpang itu berasal dari Jawa Timur. Sebagai gambaran, selama arus balik 7 -14 Nov lalu, sudah dipulangkan sebanyak 1.566 orang tanpa identitas.

Pos pemeriksaan KTP di Pelabuhan Gilimanuk, sebenarnya dibangun sebagai reaksi atas terjadinya peledakan bom di Legian Kuta, 12 Oktober 2002 silam. Pemeriksaan KTP yang mulai dilancarkan 12 Oktober 2002 itu, diharapkan dapat meminimalisir aksi terorisme di Bali. Setidaknya, pos tersebut bisa memastikan bahwa orang-orang yang masuk Bali adalah orang orang dengan identitas jelas. Selain pemeriksaan KTP, pemeriksaan kendaraan dan surat-suratnya juga dilakukan terhadap kendaraan yang hendak keluar atau masuk Bali. Namun pemeriksaan hanya dilakukan oleh kepolisian. Sebanyak 7 orang personil dari Polsek KP3 Pelabuhan Gilimanuk, dikerahkan di pintu keluar pelabuhan. Jumlah yang sama juga disiagakan di pintu masuk pelabuhan. Khusus untuk truk pengangkut barang, pemeriksaan dilakukan di sebuah tempat penimbangan di Desa Cekik, sekitar 3 km dari pelabuhan.

Menurut Kepala Badan Kependudukan Propinsi Bali,Tjok Gde Putra, pemeriksaan KTP itu merupakan inisiatif Bupati Jembrana, Gde Winasa. Program serupa kemudian dilakukan di Pelabuhan Padangbai, pintu masuk sebelah timur Bali. Untuk memperlancar program, pemerintah provinsi memberikan dana yang tidak sedikit. Rp 440 juta untuk Gilimanuk dan Rp 200 juta untuk Padangbai. Sayang, maksud itu tak ditangkap oleh para petugas di pos itu. Pos tersebut belakangan justru dijadikan “lahan bisnis” untuk meraup untung lebih. Bahkan hingga Bali dibobol lagi oleh bom di Kuta dan Jimbaran,1 Oktober 2005, para petugas tetap tak mau kehilangan “lahannya” itu.

Banyaknya indikasi petugasnya menerima suap dari penumpang kapal tanpa identitas, memaksa Bupati Jembrana, Gde Winasa mlakukan penyelidikan kecil-kecilan. 1 November 2005, dua orang kepercayaannya dikirim dari Banyuwangi, sengaja tanpa KTP. Benar saja, keduanya bisa lolos dengan modal Rp 10.000. “Begitu keluar pos pemeriksaan, mereka nelpon saya. Langsung saya gerebek di situ,”jelasnya. Sembilan orang yang bertugas pada shift tersebut, langsung ditarik. Terdiri dari 3 petugas Pol PP, 2 staf sekretariat, 1 pecalang, 1 anggota TNI, 1 anggota Polri, dan 1 anggota anggota lembaga swadaya msyarakat.

Empat orang diantaranya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) bahkan dikenakan sanksi penurunan pangkat, yakni 2 petugas Pol PP berinisial MSS (pangkat III B) dan SGT (pangkat IIIA), serta staf sekretariat berinisial KW (pangkat II D) dan KS. Seorang petugal Pol PP lainnya, berinisial KP, tak dapat sanksi serupa karena hanya berstatus pegawai harian. Sehari-hari, semuanya bertugas di Kantor Camat Melaya. KW bertugas sebagai petugas pungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara KS merupakan penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB) dari Pemkab Jembranas, yang diperbantukan di Kecamatan Melaya. Selain kelima orang itu, ada sedikitnya 37 orang staf lain di kantor camat yang membawahi Kelurahan Gilimanuk itu yang mendapat bagian shift jaga di Pos Pemeriksaan KTP Gilimanuk.

Toh, aksi penjebakan 1 November lalu itu tak membuat jera. Winasa yang setelah itu menyamar sebagai petugas pemeriksa KTP, masih menemukan praktik itu. Suami Bupati Banyuwangi yang ngetop karena kebijakan pendidikan bebas SPP di Jembrana itu sempat menemukan seorang ibu tua asal Jawa yang datang tanpa membawa KTP. Perempuan itu pun mengakui masa berlaku KTPnya sudah mati, tapi kemudian ia menunjukkan sepucuk surat domisili. “Saya bilang, wah, nggak bisa bu,”begitu Winasa menceritakan kembali kejadian itu kepada GATRA. Tak lama, perempuan itu lantas merogoh dompet, dan menyerahkan selembar uang uang Rp 5 ribu kepada Winasa yang saat itu berpakaian dinas PNS, lengkap dengan tanda bintang besar di dada sebagai lambang kepala daerah. “Kurang bu, saya bilang gitu,”katanya. Tanpa diduga, ibu tersebut menjawab, “Tapi, biasanya Rp 5 ribu lho pak.” Bagi Winasa, itu jelas membuktikan bahwa aksi suap itu sudah mendarah daging di Pelabuhan Gilimanuk.

Korupsi kecil-kecilan yang menurut Winasa berdampak besar pada keamanan Bali itu, diperkirakan telah memberi keuntungan besar kepada para pelakunya. Setiap hari, diperkirakan tak kurang dari 10 orang bisa didapat. “Itu kalau sepi. Kalau ramai, bisa dapat 50 orang,”tegasnya. Dengan ketetapan harga Rp 5 ribu untuk KTP mati dan Rp 10 ribu untuk orang tanpa KTP tentu bukan uang kecil bagi mereka. “Orang di bus itu kenek ngomong kok, yang nggak bawa KTP supaya siapkan uang Rp 10 ribu,”keluhnya.

Rapuhnya pengamanan di salah satu pintu masuk ke Bali itu, makin diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat setempat. Bagaimana tidak, para pecalang (pengamanan swakarsa dari desa adat,red) dan Linmas yang ditugaskan menjaga pos, juga menyalahgunakannya untuk mencari untung serupa. Mereka yang diminta mengantar penumpang tanpa identitas kembali ke pintu masuk pelabuhan untuk dipulangkan, justru mengantarnya ke tukang ojek. Akibatnya, anggota pecalang dan Linmas yang ditugaskan di pos, juga ditarik. Diganti dengan petugas Pemkab Jembrana dengan sistem bergantian.

Tukang ojek memang menjadi masalah tersendiri di Pelabuhan Gilimanuk. Bagaimana tidak, tukang ojek bisa dengan sangat leluasa mencari penumpang di dalam pelabuhan. Artinya, dengan hubungan pertemanan tukang ojek dengan petugas pos pemeriksaan, penumpang ojek tak perlu lagi diperiksa indentitasnya. Tak ada yang tahu, siapa orang-orang yang menumpang ojek itu. Tentu, trik yang mudah dan murah untuk lepas dari pemeriksaan petugas. Hanya perlu Rp 5.000 per orang untuk mengantar mereka ke terminal bus di seberang pelabuhan.

Gelagat adanya suap dalam operasional pos pemeriksaan itu sebenarnya telah tercium sejak lama, sejak tahun pertama, 2002. Kecurigaan itu membuat Winasa memutuskan mengganti semua personil yang saat itu adalah staf Pemkab Jembrana. Petugas diganti dengan kombinasi Pol PP, staf sekretariat, pecalang, Linmas, dan anggota LSM. Sehari dibagi dalam 2 shift di mana satu shiftnya terdiri 9 orang. Namun aksi suap itu rupanya sudah jadi penyakit turunan sehingga 8 Juli 2005 lalu, semua aparat yang bertugas diminta menandatangani surat pernyataan. Isinya, berjanji untuk melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan, tidak menerima suap, dan tidak meloloskan penduduk pendatang yang tidak berKTP atau KTPnya mati. Bila janji diingkari, mereka menyatakan siap diberhentikan sebagai petugas pada pos penertiban KTP di Gilimanuk tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun. Ternyata, surat itu hanya formalitas, meski ikut mengetahui Camat Melaya dan Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana.

Langkah penindakan kepada petugas, menurut Winasa merupakan bentuk punishment yang sesuai buat mereka. Apalagi pemeriksaan itu dilakukan untuk kepentingan bersama, mengantisipasi terorisme. Pengamanan di Gilimanuk menurutnya memberi pengaruh yang sangat besar. “Kita kan tidak bisa menahan bom, tapi setidak-tidaknya kita tahu siapa yang masuk Bali. Nggak mungkin kan orang mau ngebom naik pesawat. Pasti masuk dari sini,”jelasnya. Kalaupun ada pelabuhan kecil di Jembrana, seperti Pengambengan, menurut Winasa justru akan berisiko besar buat para teroris tersebut. Artinya, Pelabuhan Gilimanuk yang berjarak sekitar 130 km dari Kota Denpasar merupakan pintu masuk utama yang paling mungkin dilewati para teroris. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga Berencana Kabupaten Jembrana , Nyoman Candrama, mencatat rata-rata jumlah kendaraan yang melewati Pelabuhan Gilimanuk mencapai 2.200 kendaraan per hari. Jumlah penumpangnya sekitar 8.000 orang. Itu belum termasuk angka pada hari-hari libur panjang, seperti saat arus mudik dan balik Lebaran lalu.

Karenanya, Winasa sangat menyayangkan sikap petugas yang menurutnya telah mendapat penghasilan cukup. “Mereka mencari keuntungan sesaat. Kalau kita lihat, kan mereka sudah dapat lebih. Tunjangannya 25 ribu per hari. Ditambah gaji mereka, kan sudah cukup. Kalau segitu masih kurang, mau berapa lagi?”keluhnya. Toh, Camat Melaya, Wayan Sadnya, yang mengaku belum menerima surat resmi tentang hukuman kepada stafnya, meminta agar sanksi yang diberikan tak sampai pada penurunan pangkat. “Harapan kami tentu pengenaan sanksi daripada staf kami bisa diperingan. Dengan tugas-tugas kami yang cukup kompleks sekali. Memang langkah-langkah ini sangat baik untuk memperingatkan petugas di sana agar bisa melakukan tugas sesuai dengan aturan yang benar,”kilahnya.

Kasi Pemerintakan Kecamatan Melaya, Warga, juga mengeluhkan kebijakan Pemkab yang menurutnya tak sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani Juli lalu. “Di perjanjian kan tercantum, siap diberhentikan dari tugas di Gilimanuk. Tidak menyinggung PP 30 tahun 80 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,”keluhnya. Berdasarkan PP 30/80, sanksi penurunan pangkat diberikan kepada PNS yang melakukan pelanggaran berat. Apapun komentar orang, yang jelas Winasa berjanji akan menelusuri kembali orang-orang yang terlibat dalam penyuapan itu. “Kita akan ditelusuri lagi. Kalau kita temukan bukti lagi, kita ambil tindakan lagi. Kalau masih nggak kapok-kapok, ya susah kita,” jelas profesor yang juga dokter gigi ini.

Sistem yang dibuat untuk pemeriksaan, bagi Winasa sudah baik. Sayang, tidak ada kontrol atas sistem itu. Pihaknya juga mengakui, pengawasan oleh Dinas Kependudukan belum berjalan optimal. Petugas Pol PP misalnya, seharusnya tak boleh melakukan pemeriksaan. Tugasnya hanya mengarahkan penumpang ke pos pemeriksaan. Pemeriksa KTP, dari staf sekretariat, seharusnya juga tak boleh keluar dari loket yang tersedia. Kenyataannya, Pol PP,staf sekretariat, dan lainnya, ikut memeriksa, di luar loket yang tersedia. “Kalau sudah begitu, pasti terjadi kolusi itu sudah. Kondisi itu juga tak lepas dari situasional di gilimanuk. “Kita tertib, ojek tidak tertib, polisi tidak tertib, ASDP tidak tertib, sudahlah. Saya sudah berkali-kali minta koordinasi tentang semua pihak, demi kepentingan kita bersama. Bukan kepentingan orang per orang,”tambahnya.

Meski sulit, upaya ke arah perbaikan tetap akan dilakukan. Sebuah pintu kontrol yang lebih canggih akan dibuat. Hanya satu pintu, yang diharapkan tidak bisa meloloskan orang-orang tanpa identitas. Nantinya juga diharapkan ada sistem scan KTP, sehingga ada data jelas tentang siapa saja yang masuk Bali. “Saya sedang pikirkan gimana biar pihak ketiga bisa dilibatkan. Semacam relawan relawan,”jelasnya. Upaya perbaikan terus dilakukan, meski diakui tak semudah membalik telapak tangan. Dengan begitu, anak buah DR. Azahari yang masih tersisa tidak punya kesempatan untuk meledakkan bom ketiganya di Bali. Semoga. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah Gatra Edisi 03 Tahun XII, 3 Desember 2005, dengan judul artikel “Pungutan di Filter Pertama”]

Tidak ada komentar: