Google
 

Sabtu, 31 Desember 2005

Otot Arnawa Taklukkan Dunia

Delapan tahun berjuang sendirian. Komang Arnawa menyabet gelar juara dunia. Tak mau hanyut dalam perseteruan dua induk organisasi.

Segelas lemon squash yang diantar seorang waitres, langsung disambar Komang Arnawa. Tangan berototnya lantas meraih beberapa bungkus kecil soda bubuk yang tersedia di meja untuk dibubuhkan ke minuman favoritnya itu. Tak perlu menunggu lama buat binaragawan itu menghabiskan campuran soda dan perasan jeruk nipis itu. Lemon squash bukan sekadar pilihan pelepas dahaga buat Arnawa, di tengah mendungnya cuaca Kuta, Kamis lalu. Itu justru jadi salah satu cara “menikmati hidup” sambil tetap jaga bodi. Maklum, olahraga binaraga sudah jadi kesehariannya sejak 8 tahun silam. Ada banyak aturan asupan gizi yang harus dipatuhinya untuk tetap eksis sebagai atlet seni olah otot itu.

Nama Komang Arnawa mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi coba buka situs www.naturalbodybuilding.com. Ada nama pria 29 tahun itu di sana. Namanya tercatat sebagai pemenang pertama Natural Olympia VIII dalam kategori Profesional Men, yang digelar di Las Vegas AS, 19 November lalu. Tak mau tanggung, 11 orang lawannya yang sukses ditaklukkan ternyata berasal dari Amerika Serikat. Ia sekaligus jadi atlet binaraga asal Indonesia pertama yang menembus kejuaraan yang diselenggarakan International Natural Body Building Association (INBA). Pria asal Gianyar itu dinyatakan sah sebagai juara setelah tes doping yang dilakukan World Anti Doping Agency (WADA) menyatakan Arnawa bebas doping, sekitar 18 hari setelah kejuaraan berakhir. Bebas doping merupakan standar yang disyaratkan International Olympia Committee (IOC) dalam kejuaraan tersebut. Sebuah plakat berlapis emas, cincin emas berlogi PNBA, medali, dan uang tunai jadi miliknya. “Jumlah uangnya nggak usah lah, nggak enak. Cuma cukup buat tiket aja pulang pergi,”ujar Arnawa malu-malu. Ini bukan prestasi pertama Arnawa di tingkat dunia. Pada 2004, ia sempat menggondol juara pertama kelas professional di ajang Musclemania Pro World Championship di Los Angelas, California, AS. Kemenangan yang tak pernah diduga karena merupakan kali pertama ia bertanding di kelas professional. Itu pun tanpa modal kemenangan di kejuaraan amatir dunia. Berdasar aturan, atlet yang akan bertanding di kelas professional dunia harus sudah pernah menang kejuaraan amatir dunia. “Tapi saya diberi kesempatan karena dari Indonesia, tetapi sudah menang kejuaraan di Australia,” tandas lulusan Sastra Inggris, Universitas Warmadewa Denpasar itu.

Perjalanan Arnawa hingga jadi juara dunia, bukan cerita singkat. Setidaknya, perlu waktu 8 tahun baginya untuk memberi bukti. Awalnya, sejak kenal olahraga beban di usia 14 tahun, ia tak pernah berencana jadi atlet binaraga. Cabang karate justru lebih menarik minatnya. Namun sejak 1996, saat menyandang Dan 1 Karate Kushin Ryu, pikirannya mulai digelitik oleh banyaknya gambar atlet dengan otot-otot tubuh menonjol di sebuah majalah milik Mansyur, temannya yang atlet angkat berat. “Sejak itu saya coba. Awalnya, otot sakit,”ceritanya.

Memulai seni oleh tubuh memang bukan hal mudah. Apalagi Arnawa belum dapat informasi pasti tentang bagaimana pengaturan gizi yang tepat. Saat merasa ototnya sakit, beberapa teman mengatakan itu karena ototnya yang mulai membesar sehingga lapisan otot robek. “Kata mereka, obatnya cuma protein. Makanya saya langsung makan banyak telur, ikan laut, juga yang lainnya. Tapi kan gak tahu jumlah yang pas berapa,”tuturnya. Belum lagi ada banyak “godaan” karena beberapa temannya ternyata memakai pemacu otot. Beruntung, ia diperkenalkan dengan sejumlah atlet binaraga asal Australia yang kemudian banyak memberikan Arnawa buku panduan menjadi atlet binaraga. Rasa percaya dirinya untuk serius di olahraga yang membuat geli banyak perempuan itu, makin bertambah. Ia jadi makin jelas tentang pengaturan gizi, dan proses latihan yang benar.

Arnawa sempat kaget ketika tahu gambar pria berotot kekar yang sempat menginspirasinya jadi atlet binaraga, ternyata ditunjang oleh bahan tambahan steroid pemicu otot. Tapi Arnawa terus bertekad membentuk tubuhnya secara alami. Daging panggang, ikan laut panggang, ayam panggang, kentang, sayuran (semua tanpa minyak), jadi konsumsi kesehariannya. Tak tanggung, ia harus makan 6-7 kali sehari. Kecuali saat sibuk, ia mentolerir suplemen multivitamin, mineral dan vitamin C masuk ke tubuhnya. Tentu saja, suplemen tertentu yang sudah dipastikan aman.

Gagal dapat juara satu di ajang PON pada awal-awal latihan, tak membuat nyalinya ciut. Justru gara-gara para penonton cuek dengan keberadaannya yang hanya di peringkat 4 waktu itu, makin memotivasinya untuk bangkit. “ Penonton hanya mau salaman sama juara 1. Di sana muncul keinginan besar untuk jadi juara,” tutur Arnawa menceritakan perjalanan keatletannya. Kerja kerasnya bukan tanpa guna. Pada 1997, ia menyabet penghargaan sebagai juara spertama National Championship –Ade Rai’s Cup Bandung kelas 80 kg.
Selanjutnya, mendapat rangkin dua dalam seleksi Sea Games Jakarta, kelas 75 kg. Gara-gara harus menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa, Arnawa sempat mandek. Tapi di tahun 2002. saat kembali di panggung kejuaraan binaraga, ia langsung dapat prestasi baru, juara pertama dan overall pada kejuaraan National Pesta Raga di Jakarta.

Prestasi demi prestasinya di dalam negeri, belum membuatnya puas. Tak mau prestasinya mentok di tingkat nasional, Arnawa nekat ekspansi ke Australia. Jadilah ia juara pertama dan overall pada Western Australian State Championship di Perth Australia. Dua minggu berikutnya, ia kembali mengukir prestasi di Australia, kali ini di Sydney, dalam kejuaraan Australia terbuka an menjadi juara pertama pada kelas 80 kg. Melihat potensinya, promotor kejuaraan itu tertarik memberi kehormatan kepada Arnawa untuk mewakili Australia pada kejuaraan Mens World Cup/Mr Universe Amateur di India, 2 minggu setelahnya. Sayang, kesempatan itu terbuang sia-sia karena tidak ada dana.

Dana memang menjadi masalah besar buat Arnawa, meski ia secara tegas menyatakan tidak bermaksud mencari keuntungan materi dari kiprahnya di olahraga binaraga. Yang jelas, banyak sekali materi yang harus dikorbankannya demi meraih kemenangan di tingkat dunia. Bahkan untuk mengikuti kejuaraan Musclemania Pro World Championship di LA, AS, 2004 lalu, ia harus merelakan sebuah mobilnya untuk dijadikan modal. Padahal jauh hari sebelum kejuaraan, ia sudah gembar gembor ke media massa. Sayang, tak ada sponsor yang datang sampai hari H. Kenekatannya memang menghasilkan prestasi yang cukup membanggakan. Tapi itu tak cukup menutup modalnya yang mencapai sekitar Rp 50 juta (untuk tiket dan biaya akomodasi). Jumlah hadiah uang yang menurut Arnawa tidak seberapa dibanding modalnya, bahkan tidak pernah dibayarkan panitia hingga sekarang gara-gara kekacauan dari organizernya. “Tapi nggak masalah, saya ke kejuaraan dunia bukan karena hadiahnya. Tapi untuk melihat sampai di mana posisi kita berada,”tegasnya. Pernah Arnawa mendapat sponsor dari perusahaan produsen suplemen. Tapi perusahaan itu hanya siap mensponsori kejuaraan-kejuaraan di nasional.

Untuk mengikuti kejuaraan di Las Vegas, ia juga harus merogoh kocek sendiri. Kali ini, ia dibantu tunangannya yang orang Australia. “Kejuaraan kemarin ada hadiahnya sih, tapi seharga tiket PP saja,”jelasnya. Arnawa mengakui, tak ada upaya khuus untuk menarik sponsor, seperti yang pernah dilakukannya tahun 2004. Itu karena ia belajar dari pengalaman gagal di tahun tersebut. Dari sana bisa dilihat, belum ada interest orang ke bidang binaraga. Menariknya, Arnawa sempat dapat janji-janji dari beberapa orang yang menyatakan siap mensponsorinya. Sayang, itu hanya janji-janji kosong yang tak pernah terbukti.

Dualisme induk organisasi binaraga di Indonesia, Federasi Binaraga Indonesia (FBI) dan Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI), cukup menganggu Arnawa. Ketidakcocokan antar kedua organisasi, sempat membuatnya terhambat. Ia yang awalnya memilih bertahan di PABBSI, terhalang ikut kejuaraan di luar negeri karena penyelenggaranya bukan organisasi yang berafiliasi dengan PABBSI. “Kejuaraan di Asia cenderung dibawah International Federation Body Building (IFBB) yang jadi afiliasi IFB. Jadi kita nggak bisa ikut kejuaraan di Asia,”keluhnya. Meski sempat terhambat, Arnawa mengaku selalu berupaya berpikir positif. Kini ia memilih berjalan secara independen, tidak di bawah organisasi manapun. “Bukannya merasa mampu atau tidak mau bergabung, tetapi saya ingin berkiprah lebih luas, meraih peluang yang lebih jauh,”tandasnya. Keputusannya itu mengandung konsekuensi, tak ada bantuan dana apapun dari organisasi untuk mengikuti kejuaraan. Tapi lagi-lagi, Arnawa mengaku itu bukan masalah besar. Padahal untuk makan sehari-hari saja, sesuai aturan gizi atlet binaraga, ia menghabiskan sedikitnya Rp 6 juta per bulan. “Binaraga memang belum bisa menghasilkan uang. Sekarang saya masih dalam tahap promosi. Saya berharap tahun depan saya mau tanding lagi ke Amerika, jadi tahapan pengembalian dana saya,”tandas Arnawa yang sejak awal tak pernah punya pelatih khusus. Sejak beberapa tahun lalu, ia hanya didampingi oleh 2 orang partner latihannya, Peter Tolsten dan Wolfgang Nemack, keduanya asal Jerman. Peter adalah mantan juara binaraga Eropa tahun 1980-an yang sekarang memilih menggeluti bisnis perak di Bali.

Meski masih harus berkorban sendiri, padahal untuk mengharumkan nama bangsa, Arnawa tetap mengambil hikmah dari olahraga yang digelutinya. “Paling tidak, saya menyadari kalau binaraga tak sekadar bodi gede, tapi nutrisi harus juga diperhatikan. Semakin pelajari nutrisi baik, usia lanjut bisa tahu makanan yang baik untuk kita. Paling tidak, itu keuntungannya,”jawabnya santai. Ia menyadari, binaraga masih merupakan hal baru di Indonesia, kalah dengan bulutangkis yang sudah berpuluh tahun ada di negara ini sehingga para atletnya yang telah menyabet juara bisa menerima bonus dari negara. “saya harus lebih buktikan lagi. Mudah-mudahan bidang binaraga bisa lebih dapat perhatian”, tandas atlet dengan berat 82 kg itu.

Arnawa berjanji untuk terus membuktikan eksistensi di bidang binaraga. Pembentukan otot tetap rutin dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, di sebuahgym di Legian Kuta. Untuk membiayai aktivitasnya, ia aktif sebagai personal trainer dan konsultan gizi bagi para calon binaragawan, berbicara di seminar-seminar, dan menjadi model inspirasi untuk foto artistik beberapa seniman foto Bali. “Hasilnya, cukup lah,”jawabnya. Bagi Arnawa, tak ada konsentrasi yang rusak dari bekerja sambil tetap meraih prestasi. Ia bahkan bertekad sagar lebih banyak masyarakat Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di bidang binaraga. Arnawa bahkan telah sukses mengirim 2 atlet binaraga Bali tanding ke Australia, pada acara Bodiku yang digelarnya di ajang Kuta Karnival 2005 lalu. Kegiatan itu diharapkan bisa jadi ajang tahunan yang terus mengirim atlet-atlet binaraga baru di Bali. Satu obsesinya, ingin mempunyai studio sendiri untuk kliennya yang serius ingin berlatih memperbesar otot. [Komang Erviani / dimuat di Majalah GATRA edisi 07 Tahun XII, 31 Desember 2005]

Tidak ada komentar: