Google
 

Kamis, 09 Februari 2006

Lokalisasi Ada di Seluruh Bali

Tempat transaksi seks tersebar di seluruh kabupaten di Bali. Sasarannya desa-desa. Operasi penertiban malah membuat masalah.

Wayan S, 25 tahun, tak punya firasat jelek malam itu. Seperti malam minggu sebelumnya, ia datang ke lokasi favoritnya di pinggiran Kota Tabanan. Jejeran warung remang-remang di terminal di kota itu. Kerinduannya pada Rini, sebut saja demikian, salah satu penghuni warung, membuat langkah kakinya makin bersemangat menuju salah satu warung di sisi barat. Setengah jam berhubungan seks dengan Siti, cukup memuaskan lajang yang sejak SMP hobi ”berpetualang” itu. Masih seperti biasa, tanpa kondom.

Tak disangka, malam yang menyenangkan itu sekaligus menjadi malam naas baginya. Keesokan hari (?), ia merasakan panas pada kelamin, disertai nanah saat kencing. Beruntung, infeksi pada kelaminnya bisa disembuhkan.

Tapi Wayan S tak kapok datang ke tempat itu. ”Sementara begini dulu. Nanti kalau udah punya cewek, nggak lagi,” elaknya. Wayan S tak sendiri. Survei [apa data darimana?] mencatat, setiap tahun ada setidaknya 100.000 pelanggan seks di Bali. Ironisnya, 10 persen diantaranya diperkirakan telah terinfeksi HIV/AIDS.

Tak jelas, kapan pertama kali industri seks terbangun di Bali. Yang pasti, Pemerintah Provinsi Bali telah merespon keberadaannya dengan membentuk Peraturan Daerah tentang pemberantasan pelacuran itu, secara tegas menyatakan pelarangan terhadap kegiatan prostitusi. Sejumlah kabupaten/kota di Bali juga merespon dengan membuat Perda serupa. Pemerintah Kabupaten Klungkung misalnya melahirkan Perda No 7 Tahun 1995. Denpasar melahirkan Perda No. 2 Tahun 2000. Pemerintah Gianyar tak mau kalah dengan Perda No. 2 Tahun 2002. Kabupaten Badung dengan Perda Nomor 6 Tahun 2001. Sementara Jembrana menegaskan pemberantasan kegiatan prostitusi melalui Perda No. 3 Tahun 2003.

Operasi penertiban jadi andalan pelaksanaan perda-perda itu. Alhasil, penggerebekan, sidak, razia, atau apapun istilahnya, kerap dilakukan. Tak hanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja, tetapi juga oleh aparat kepolisian. Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar misalnya, telah melakukan operasi penertiban selama 2005. Hasilnya, 84 penjaja seks komersial (PSK) terjaring dalam operasi. Pada 2004, jumlahnya lebih banyak, 131 orang. Sebagian besar mereka yang tertangkap dikenakan sanksi administrasi, berupa pembinaan di panti rehab selama sekitar 3-6 bulan dan pemulangan ke daerah asal.

Kepala Dinas Tramtib dan Satpol PP Kota Denpasar, Anak Agung Ngurah Gde Astawa menjelaskan, Perda No. 2 Tahun 2000 sebenarnya juga mengatur pemberian sanksi pidana ringan berupa kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 5 juta. “Biasanya denda yang dikenakan minimal Rp 250.000. Tapi itu jarang. Kebanyakan kami bina dan pulangkan. Dengan begitu, kami harap ada efek jera,” ujarnya.
Tak hanya Denpasar, kabupaten lain juga gencar melakukan penertiban. Bupati Buleleng, Putu Bagiada menjelaskan, pihaknya menurunkan tim yustisi untuk menertibkan dengan dalih mengadakan pembinaan. Klungkung tak mau kalah. “Biasanya upaya kami berawal dari penertiban penduduk,” jelas Bupati Klungkung, Wayan Candra.

Toh, praktik prostitusi tetap ada. Penyebarannya bahkan makin merata di seluruh wilayah Bali. Yayasan Kerti Praja (YKP), lembaga yang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, mencatat ada delapan lokasi prostitusi yang kini dijangkaunya di Denpasar. Mulai dari di wilayah Blanjong dan Semawang, Jl Danau Tempe, Carik (Ubung), Gatot Subroto, serta tiga lokasi di Padanggalak. Itu belum termasuk bungalow, losmen, panti pijat, kafe, serta karaoke yang kadang menyediakan layanan seks itu.

Di wilayah Blanjong dan Semawang saja, selama Desember 2005 YKP menjangkau 101 PSK di 13 cluster (sebutan untuk masing-masing tempat. Satu tempat dipimpin sat germo.). Jumlah itu naik dibandingkan Januari 2005 yang hanya 93 PSK. Jumlah itu tak seberapa dibandingkan data di Jl Danau Tempe. Setidaknya, terdapat 28 cluster dengan 245 PSK di lokasi yang paling tinggi transaksi seksnya di Bali itu.

Tiga lokasi di Padanggalak (biasa diistilahkan padanggalak bawah, padanggalak atas, dan padanggalak pasir), ada 192 orang bekerja melayani birahi laki-laki. Berbeda dengan Sanur, aktivitas jual beli seks di Padanggalak tak terkonsentrasi di malam hari. Separuh lebih PSK di sana juga menerima job di siang hari. Di Carik (kawasan Lumintang), lebih unik lagi. Lokasi dengan 142 PSK yang bekerja di 29 cluster ini, hanya buka di siang hari. Sementara di kawasan Gatot Subroto, ada 31 PSK di tiga cluster. Ada juga dua lokasi bertameng losmen di Denpasar yang ternyata menyediakan sedikitnya 50 PSK.

Selain lokasi-lokasi prostitusi, kalau tidak mau disebut lokalisasi, itu ada 1001 cara lain untuk melakukan transaksi yang rentan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS ini. Bisa lewat bungalow, losmen, panti pijat, kafe, maupun karaoke. YKP mencatat ada 14 cluster siap menyediakan 260 PSK kepada tamu-tamu di sejumlah bungalow di Denpasar. Karena tarif yang ditetapkan cenderung lebih tinggi dibandingkan lokasi-lokasi prostitusi, maka transaksi seks di bungalow cenderung dilakukan tamu kelas menengah ke atas. Masih di wilayah Denpasar, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) juga mencatat satu lokasi prostitusi di wilayah Denpasar Timur, serta sejumlah tempat aktivitas seksual di Kecamatan Denpasar Barat.

Selain Kota Denpasar, aktivitas seksual berisiko itu juga menyebar ke seluruh pelosok Bali. YCUI yang rutin menjangkau pelanggan seks di sebagian wilayah Denpasar, Buleleng, Karangasem, Jembrana, Tabanan, dan Badung, juga menjangkau desa-desa yang sarat aktivitas seks komersial. Di Buleleng misalnya, YCUI menjangkau 12 desa di Kecamatan Gerokgak. Selain itu lokasi prostitusi itu juga tersebar di seluruh kecamatan yakni Seririt, Banjar, Sukasada, Sawan, Buleleng, Kubutambahan, dan Tejakula.

Lokasi bisnis seks di Kabupaten Jembrana tak kalah banyak. Jangkauan YCUI ada di Kecamatan Melaya, Negara, Mendoyo, dan Pekutatan. Sementara di Karangasem, satu kelurahan dan dua desa di Kecamatan Karangasem, tiga desa di Manggis, serta satu lokasi di Bebandem. Tiga desa Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, juga jadi target.
Masih menurut catatan YCUI, tempat-tempat untuk melakukan aktivitas seksual tak hanya di lokasi-lokasi prostitusi. Tapi juga menyebar ke hotel, panti pijat, hingga kafe-kafe. Sementara tempat mangkal para pelanggan seks juga beragam, mulai dari terminal, pos ojek, biliar, pasar, tempat parkir, wartel, warung kopi, bengkel, hingga wantilan.

Direktur YCUI, Efo Suarmiarta menegaskan, sebagian besar laki-laki pelanggan seks berasal dari desa. Selain faktor pekerjaan yang membuat mobilitas mereka tinggi, juga karena hiburan di desa masing-masing cenderung menggiring ke aktivitas seksual. “Seperti metuakan,” ujar Efo menyebut kebiasaan minum minuman keras di Bali. Kondisi itu banyak dilihat sebagai peluang oleh para pemodal bisnis seks dengan mendekatkan diri ke desa-desa melalui bentuk kafe. Tentu saja, jumlah itu belum seluruhnya. Masih banyak wilayah di pelosok Bali yang belum mampu dijangkau YCUI.
Pemberantasan atau penertiban membuat kening pejabat daerah setempat berkerut. “Prostitusi, saya rasa, di manapun ada di dunia ini. Masalahnya kan tempat-tempat begitu tersembunyi dan sulit dipantau. Sekalipun kadang ada yang dianggap lokasi, saat diadakan operasi, juga kadang-kadang nggak ada hasilnya. Mereka kadang-kadang lebih pintar,” aku Bagiada.

Demikian juga di Klungkung. Bupati Wayan Candra mengaku tak cukup mampu memberantas prostitusi di Klungkung. “Memang masih ada. Itu manusiawi. Sejak dulu kan memang sudah ada. Hanya masalahnya menonjol atau tidak,” kilahnya.

Sulitnya memberantas praktik prostitusi, menurut Astawa, tak lepas dari peranan banyak pihak yang membekingi. “Beratnya, banyak pihak di balik mereka. Paling tidak ada 15 pihak membekingi mereka. Mulai dari preman kelas berdasi sampai sandal jepit,” ungkapnya. Menurut Astawa, sudah jadi hal biasa setelah penangkapan, banyak pihak ingin menjamin, juga pejabat.

Sering kali, operasi penertiban bocor di lapangan. “Bisa saja dari anggota yang bocorkan itu. Saya tak menutup mata,” cerita Astawa blak-blakan. Namun ia mengancam memecatan bila ada anggotanya terlibat. “Sulit memberantas ini. Karena ini masalah klasik,” jelas Astawa yang punya 161 personil aktif. Dengan jumlah personil terbatas, sementara ada 1001 masalah di Denpasar, Astawa mengaku kesulitan memberantas praktik prostitusi. Apalagi Tramtib tak hanya bertugas mengamankan Perda Pemberantasan Pelacuran.

Masih ada 47 perda lainnya harus diamankannya. “Mulai dari PSK, izin usaha, sampai tunggakan pajak. Semua diserahkan ke kita,” keluhnya. Lebih dari itu, Astawa mengakui bahwa sebagai daerah pariwisata, Bali tak bisa dilepaskan dari 3S, yaitu sea, sun, dan sex. Tak bisa dipungkiri, keuntungannya lumayan. “Jadi, ini sudah jadi bisnis,” tambahnya.
Sekretaris Kota Denpasar, Made Westra, berdalih penertiban-penertiban saja tidak cukup. “Kita harapkan masyarakat mendukung,” harap Westra. Tentu saja, tak mudah mengharap dukungan penuh masyarakat. Apalagi, masih ada banyak Wayan lain yang tersebar di Bali. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]

Tidak ada komentar: