Google
 

Kamis, 09 Februari 2006

Komitmen Jangan Terbentur Kemunafikan

“Memangnya ada lokalisasi di Bali?” tanya salah seorang anggota DPRD Bali bernada hipokrit saat dengar pendapat fraksi soal Rancangan Perda Penanggulangan HIV/AIDS, akhir Januari lalu. Kalimat itu memang bukan pertama kita dengar. Di banyak pembicaraan soal praktik prostitusi, kata lokalisasi selalu mengundang pro kontra. Ada yang sepakat bahwa lokalisasi memanga ada di Bali, namun lebih banyak yang tak mengakui keberadaan lokalisasi itu. Maka banyak orang kemudian mengganti istilah itu dengan lokasi. Maklum, penggunaan kata lokalisasi mengesankan adanya pelegalan terhadap aktivitas jual beli seks itu.

Tapi, apa bedanya? Keduanya memiliki fungsi sama, tempat aktivitas seksual. Diakui atau tidak, kegiatan prostitusi ada di mana-mana, tak terkecuali di Bali. “Itu sudah lazim. Sulit kita berantas,” kata Bupati Buleleng, Putu Bagiada. Menyadari sulitnya memberantas kegiatan prostitusi, Bagiada bahkan mengaku terkadang membuka layanan kesehatan di tempat-tempat itu. “Bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, kita layani kesehatannya. Jadi walaupun sudah ditangkap, tetap kita cover dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Karena itu sulit diberantas,” akunya.

Kegiatan prostitusi sangat rentan mengakibatkan penyebaran infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. Diperkirakan sekitar 100 ribu pelanggan seks di Bali telah terinfeksi HIV/AIDS. Jika dibiarkan, mereka sangat berisiko menularkan kepada istri dan bayinya, atau pun perempuan lain pasangan seksnya.

Kegiatan penjangkauan bagi pekerja dan pelanggan seks, juga telah rutin dilakukan dua yayasan, Yayasan Kerti Praja (YKP) dan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), sejak puluhan tahun lalu.

Selama tahun 2005 YCUI lebih cenderung mengembangkan penjangkauannya ke pedesaan. “Sekarang kami juga jangkau perempuan sebagai secondary outreach. Kami yakin peran lingkungan akan sangat membantu,” ujar Direktur YCUI, Efo Suarmiartha.

Penjangkauan dilakukan dengan kampanye safe sex untuk peningkatan kesadaran para pelanggan. Dengan begitu, mereka diharapkan memahami bahwa perilaku berisiko yang mereka lakukan sangat berbahaya. “Salah satunya dengan meningkatkan penggunaan kondom,” tambah Efo.

Hasil penjangkauannya tak sia-sia. Setidaknya, kini banyak germo telah membuka outlet kondom yang didistribusikan YCUI. Dari 82 outlet kondom YCUI, 55 diantaranya digawangi oleh para germo. Hasilnya lumayan. Selama 2005, total kondom yang terdistribusi sebanyak 39.484 buah. Sebanyak 15.462 kondom berhasil dijual, sementara 24.022 kondom dibagikan gratis.

YCUI juga membangun jaringan rujukan IMS untuk melayani para pelanggan seks itu. Sejak dibangun pada tahun 2000, jaringan rujukan IMS YCUI telah mencapai 62 unit, tersebar di Buleleng, Jembrana, Karangasem, Badung, dan Tabanan. Jaringan rujukan IMS itu terdiri dari puskesmas, rumah sakit, dokter praktik swasta, bidan, dan mantri. Selama Januari – Desember 2005, jaringan rujukan itu telah dimanfaatkan oleh sedikitnya 723 orang pelanggan. Sebanyak 655 orang diantaranya datang sendiri, sementara 68 orang diajak oleh petugas lapangan YCUI.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Denpasar juga melakukan upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS dan IMS. Salah satunya dengan menyasar sejumlah panti pijat. Setiap tahun, Dinkes Denpasar melakukan pelatihan pada para karyawan panti pijat, termasuk melakukan tes kesehatan. Tujuannya, tentu saja untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit dalam kegiatan prostitusi yang bertameng panti pijat itu.

Meski dilarang, sejumlah langkah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS telah membuktikan adanya kegiatan prostitusi di Bali. Tanpa lokasi khusus pun, prostitusi tetap bisa dilakukan. Selama ada permintaan, akan selalu ada penawaran. Hukum ekonomi itu tampaknya juga berlaku dalam bisnis seks.

Kita boleh saja menutup mata atas keberadaan bisnis ilegal itu. Nyatanya, saat ini diperkirakan ada 3000 orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Bali. Dari jumlah itu, 1900 orang diantaranya terinfeksi akibat hubungan seks tak aman. Sementara 1100 orang telah terinfeksi akibat kebiasaan berbagi jarum suntik di kalangan pengguna narkoba suntik (injecting drug user/IDU).

Pembuatan ranperda tentang penanggulangan HIV/AIDS oleh Pemerintah Provinsi, merupakan salah satu upaya mencegah makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS. “Karena HIV/AIDS termasuk sindrom penurunan kekebalan tubuh yang perjalanannya amat panjang, yaitu sekitar 5-15 tahun selama hidupnya. Bila tidak diambil langkah-langkah cepat dan tepat, maka 3000 penduduk yang saat ini telah tertular HIV bisa menularkan virusnya kepada puluhan atau bahkan ratusan ribu penduduk lainnya,” ungkap Wirawan yang juga Ketua Pokja Perencanaan Program dan Monitoring Evaluasi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPAD) Bali.

Salah satu poin dalam ranperda yang kini tengah digodok DPRD Bali itu, yakni mewajibkan penggunaan kondom dalam setiap aktivitas seksual berisiko. Pasalnya, HIV sebenarnya tak mudah menular bila masyarakat tak melakukan kegiatan berisiko seperti aktivitas seksual dengan banyak pasangan, atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Ada juga poin yang mengatur upaya pencegahan, serta pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). “Ranperda HIV/AIDS ini amat mendesak dibuat,” sambut Nengah Sudirta, salah seorang anggota Fraksi Kertha Mandala DPRD Bali mewakili fraksinya.

Fraksi Golkar menegaskan hal senada. “Saat ini sekitar tiga ribu penduduk Bali hidup dengan HIV/AIDS. Keadaan ini tak hanya menimbulkan masalah kesehatan, tetapi juga menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah Bali,” tandasnya.

Sementara Fraksi PDI Perjuangan (PDI P) melalui juru bicaranya mengatakan Penanggulangan HIV/AIDS di Bali belum perlu digariskan dalam Perda karena kasusnya masih kecil. PDI P menganggap beberapa penyakit menular lainnya seperti flu burung dan TBC juga membutuhkan perhatian. Fraksi dengan anggota terbanyak di DPRD Bali ini menyarankan penanggulangan HIV/AIDS diatur dengan aturan setingkat keputusan atau Instruksi Gubernur.

Namun secara garis besar fraksi PDI P dan Kertha Mandala bimbang dengan program yang terkait dengan prostitusi itu. Takut terkesan melegalkan bisnis seks. Padahal justru makin tumbuh subur ketika perda pemberantasan pelacuran dilaksanakan.

Pun demikian, komitmen datang beberapa kepala daerah. “Klungkung siap mengimplementasikan,” tegas Bupati Klungkung, Wayan Candra jika Perda itu berhasil lolos. Namun Candra menambahkan, Perda HIV/AIDS hanya akan menjadi alat. “Yang terpenting di hatinya,” tandas Candra. “Sesuai aturan, kami sangat dukung upaya perda,” tambah Sekkot Denpasar. Made Westra. Semikian pula Bupati Buleleng, Putu Bagiada. Apapun bentuk payung hukumnya, semoga komitmen tak hanya di atas kertas. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]

Tidak ada komentar: