Google
 

Rabu, 15 Februari 2006

Musik Bali Naik Gengsi

Musik Bali yang dulu terkesan kampungan, kini disukai anak muda Bali. Tak kalah tenar dengan musik pop Indonesia. Sayang, produk bajakan membanjiri pasar.

Ruang Praja Madya Kantor Walikota Denpasar penuh sesak, awal Februari 2006 lalu. Sejumlah siswa berseragam SMA mendominasi ruangan. Saking ramainya, beberapa dari mereka meluber sampai ke luar ruangan. Beberapa kali, riuh suara tepukan terdengar dari kejauhan. Ada apa? Ternyata, di dalam ruangan tengah terjadi adu bakat nyanyi. Bukan lomba lagu Peterpan, atau bahkan Kerispatih. “Lomba Nyanyi Lagu Wedhasmara dan Gung Cakra,”begitu tertulis di panggung.

Hari itu, Pemkot Denpasar memang tengah berupaya meningkatkan kecintaan anak muda Bali terhadap hasil karya kedua musisi Bali itu. Lagu-lagu Wedhasmara yang belakangan kembali dipopulerkan Yuni Shara dan Rani dengan hits Kau Selalu di Hatiku, jadi favorit sejumlah ibu dan bapak setengah baya. Sementara lagu Gung Cakra yang lebih kental nuansa Bali , tanpa disangka, ternyata banyak diserbu ABG (anak baru gede). Sedikitnya, 41 siswa SMA mengikuti lomba lagu berbahasa Bali milik Gung Cakra. Gung Cakra yang meninggal tahun 1999 di usi 75 tahun, merupakan komposer sekaligus penyanyi yang populer tahun 1970-an lewat band Putra Dewata. Lagu-lagu Balinya yang hingga kini masih sangat digemari diantaranya Kusir Dokar, dan Bungan Sandat.
Ada perubahan yang sangat mendasar dalam perkembangan musik Bali sejak beberapa tahun belakangan. Anak muda Bali kini tak lagi malu menyanyikan, atau minimal menggemari, lagu-lagu Bali . “Saya memang suka lagu Bali ,”tegas Kadek Mirah Ishaka Putri, siswa SMAN 4 Denpasar yang akhirnya menduduki peringkat pertama dalam lomba itu. Hadiahnya memang tak seberapa, hanya Rp 1 juta ditambah sebuah piagam penghargaan. Tapi bagi peraih 5 besar KDI 2006 itu, kemenangannya merupakan kebanggaan sebelum memulai karantina di Jakarta .

Bangkitnya eksistensi lagu Bali , juga terasa dalam siaran radio Gema Merdeka yang mengudara di Denpasar dan sekitarnya. Sang penyiar, Gusti Ngurah Putra Murjaya yang biasa disapa Bagus Renaldi itu, sampai harus kewalahan menerima telpon dari pendengarnya sore itu. Belum rampung lagu Melasti dari AA Raka Sidan diputar sebagai pembuka acara, telpon sudah berdering dari penggemar. “Minta lagu Jaya Tangus, Matepuk Asibak Lima (bertepuk sebelah tangan),” begitu laki-laki di ujung telpon yang mengaku bernama Putu Galih. Mengikuti Galih, beberapa pendengar lain terus “meneror” Renaldi dengan permintaannya. Penyiar yang juga sempat menelorkan album musik Bali itu mengaku, belakangan makin banyak penelpon anak muda yang request lagu. Dalam satu jam, ada tak kurang dari 30 penelpon.

Hal itu juga yang menjadi pertimbangan bagi Desak Nyoman Suryani, Marketing Manager Radio Gema Merdeka, untuk menambah porsi siaran lagu Balinya. “Kita putar lagu Bali sejak 1981 selama 2 jam sehari. Sekarang jadi 4 jam, tiap pagi dan sore. Soalnya permintaan dari masyarakat bertambah. Banyak yang suka,”jelasnya. Tak hanya itu, setiap 2 minggu sekali pihaknya juga selalu mengundang artis ke studio, sekaligus untuk berpromosi. Khusus pada hari minggu, disiapkan waktu khusus untuk siaran lagu Bali anak-anak. Gema Merdeka mengklaim pihaknya memasukkan unsur lagu Bali dalam 30 persen waktu siarannya. Selebihnya, 30 persen digunakan untuk dangsut dan 40 persen untuk lagu Indonesia .

Tak jelas kapan persisnya lagu berbahasa Bali ”naik pamor” hingga bisa menyentuh kaum muda Bali. Tetapi menurut pengamat musik Bali, Made Adnyana, lagu berbahasa Bali mulai terdengar di mall-mall dan kendaraan-kendaraan pribadi setelah kemunculan penyanyi Widi Widiana pada sekitar tahun 1995. Tak hanya itu, era Widi Widiana telah menjadikan musik Bali tidak lagi tabu dinyanyikan di kafe-kafe. Widi yang tampil dengan corak musik mandarin, memberi nuansa baru dalam musik Bali yang selama bertahun-tahun telah dikuasai Yong Sagita dengan corak musik country. Hal yang sama sebenarnya juga sempat dilakukan Yong Sagita terhadap musik Ketut Bimbo di era akhir 90-an yang tampil dengan gaya slengean ala Doel Sumbang. Penampilan Ketut Bimbo di era 80-an, juga sempat melibat musisi sebelumnya, AA Cakra yang eksis di era 70-an. ”Semua musisi sebenarnya punya masa naik dan turun,”tambah Adnyana.

Meski kehadiran Widi Widiana diakui sebagai hal baru yang mulai membangkitkan musik Bali, namun ia tak menampik kalau kesan kampungan dalam musik Bali masih kental di masa itu. Yang paling terekam dalam memori Adnyana, justru ketika munculnya grup band Lolot di tahun 2003. Kemunculan band yang mengklaim sebagai pengusung aliran Bali rock alternatif itu, telah memperluas pasar lagu-lagu Bali. Ada pasar-pasar tertentu yang dulu tidak dijangkau oleh Widi Widiana, dijangkau Lolot. Dulu lagu Bali disebut kampungan, terkesan hanya digemari orang-orang pedesaan. Begitu muncul Lolot, anak muda yang mengaku perkotaan, jadi suka lagu Bali. Orang-orang yang dulunya tidak tersentuh lagu Bali, jadi tersentuh.

Sukses Lolot, memunculkan banyak sekali artis baru yang coba peruntungannya di dunia musik. Tahun 2004 saja, tercatat telah ada sebanyak 145 judul album baru yang beredar. 60 diantaranya adalah album grup band. Tingginya peredaran kaset, tak lepas dari ekses teru bertambahnya perusahaan rekaman di pulau dewata. Aneka Record yang dulunya ”bermain” sendiri, sekarang ditimpali Bali Record, Maharani Record, Januadi Record, Pregina Record, dan Jayagiri Record.
Produser Pemilik Aneka Record, Oka Swetanaya, mengakui ada perkembangan yang sangat pesat dalam produksi album di tempatnya sejak menggarap lagu pop Bali pada tahun 1995. Sebelumnya, sejak berdiri tahun 1968, Aneka Record hanya fokus pada rekaman musik-musik tradiional seperti gamelan, angklung, dan lain-lain. ”Waktu pertama coba pop, kurang sukses. Tapi kemudian album Kasmaran milik Widi Widiana ternyata dapat respon baik. Terjual 50.000 buah kaset. Dari sana, mulailah Oka Swetanaya memantapkan peruntungannya dalam produki musik pop Bali. Sejumlah album lain disponsorinya. Sembilan album kompilasi dan 3 album solo Widi Widiana, teru memberi rejeki padanya. Tak berhenti di itu, kemudian muncul penyanyi-penyanyi lain yang sukses dimodalinya, seperti Panji Kuning, Sridana, Yan Mus, Srikandi, Eka Jaya, Nia Prasetya Dewi, dan lainnya. ”Alirannya macam-macam. Ada pop, mandarin, dan dangdut,”tambah pria asli Tabanan itu.

Penjualan? Tentu saja tinggi. Dalam setahun, Lebih dari 200.000 kaset dan VCD dari sekitar 30 artis dan 10 grup band telah berhasil dijual Aneka Record. Bisa dibayangkan, berapa uang yang berputar dalam bisnis ini dengan harga Rp 15.000 per buah untuk kaset dan Rp 25.000 untuk VCD. Sayang, itu belum termasuk produk bajakan yang jumlahnya diperkirakan jauh lebih besar. Tentu saja, Penjualan paling sukses diraih oleh album Widi Widiana. Namun seiring berkembangnya tren, Oka Swetanaya terus berupaya merekrut artis-artis berbakat untuk memperkuat usaha recordingnya. Penyanyi terbarunya, AA Raka Sidan, misalnya, kini menjadi artis andalannya setelah sukses dengan album perdananya Suud Memotoh (berhenti bertaruh). Sejak diluncurkan September 2005, kini sudah 40.000 kasetnya terjual. Rata-rata, setahun Aneka Record bia menghasilkan sebanyak 18-20 album. Itu belum termasuk kumpulan hitsnya.

Sukses yang diraih banyak artis di dunia musik Bali, memunculkan makin banyak artis baru. Salah satunya adalah Ari Kencana. Pria 27 tahun yang pertama kali bergabung dalam album kompilasi pada tahun 1999 ini, kini sudah menelorkan sedikitnya 2 album solo. Ia tercatat sebagai salah satu penyanyi yang album terbatunya tobat, sedang digemari di pasaran. Pria yang kini nyambi jadi guide korea iniawalnya juga tak menyangka bisa sukses. Tapi saat album solo pertamanya keluar dengan hits ”Kutang Rerama”, tanpa disangka sebanyak 50.000 kaset terjual. Tak hanya untung di penjualan kaset, musik Bali juga memberinya keuntungan lebih lewat konser-konser. Sebulan, rata-rata ia dapat job manggung sebanyak 6 kali. ”Lumayanlah untuk rokok,”jawabnya malu-malu. Di bawah bendera Januadi Record, ia bertekad untuk terus mengembangkan musik Bali dengan beragam aliran. ”Setelah ini saya akan buat album, perpaduan musik RnB, pop, dan blus,”terangnya. Tentu saja, diperlukan lebih banyak artis muda lainnya yang lebih kreatif untuk melestarikan dan makin mengembangkan musik Bali. [Komang Erviani]

Siapa Lolot N’ Band?
Kemunculan Lolot Band di industri musik Bali, sekaligus pionir band modern Bali, membawa grup band yang beranggotakan 4 personil ini kini berada di atas angin. Setidaknya, itulah yang terlihat dari penampilan Made Bawa pada vokal dan gitar, Lanang pada bass, Donie pada gitar dan Deni pada drum itu kini. Para personil yang bertemu dalam persaingan di festival-festival musik itu, kini mengaku mendapat rejeki yang lumayan dari musik. Untuk setiap kali peluncuran albumnya, mereka bisa mencapatkan penghasilan masing-masing hingga puluhan juta rupiah, hanya dari honor dan royalti penjualan. Dari konser, jangan tanya. Grup band yang kabarnya bertarif puluhan juta rupiah ini, mengaku bisa dapat ratusan juta rupiah dari hasil setiap albumnya. Tentu, itu bukan nilai yang sedikit untuk ukuran artis musik berbahasa Bali.

Siapa sangka, band yang kini telah menelorkan 3 album ini dulunya ternyata dapat penolakan dari semua perusahaan rekaman di Bali. Made Bawa, pentolan grup musik ini, mengaku dulunya sempat menawarkan lagunya ke semua perusahaan rekaman. Tetapi semuanya menolak karena melihat konsep musik Lolot yang nyeleneh. Di saat lagu pop Bali sedang mencapai puncak, Lolot malah menawarkan konsep baru berupa perpaduan musik modern dengan lagu berlirik bahasa Bali. ”Malah ada yang minta konsepnya diubah. Saya nggak mau. Idealis lah sedikit,”kenangnya. Idealisme Lolot muncul karena ia merasa proses pencarian musiknya tidak mudah. Ia menghabiskan setidaknya 2 tahun untuk menyesuaikan musiknya dengan lagu Bali.

Tak mau putus asa, Made Bawa yang akrab disapa Lolot, akhirnya memutuskan untuk melakukan rekaman sendiri dengan biaya sendiri. Sepeda motor kesayangannya dijual seharga Rp 4,5 juta, untuk membiayai rekamannya. Tapi ternyata, uang itu tak cukup. Lamanya proses rekaman oleh Lolot N’ Band di studio Pregina yang disewanya, ternyata memberi berkah. Bo studio itu, Agung Bagus Mantra, lantas tertarik setelah mendengar lagu-lagu yang dimainkan Lolo dan bandnya. ”Saya perhatikan, kok lama sekali orang ini nyewa studio. Waktu saya lihat penampilannya, kok asyik. Akhirnya saya coba tawarkan ke dia untuk kerjasama,”terang Gus Mantra, sapaan akrabnya.

Dari pertemuan itulah, baik Lolot maupun Gus Mantra sepakat untuk belajar. ”Saya bilang, ok, saya belajar jadi produser, kamu belajar jadi artis,”cerita Gus Mantra. Tak hanya jadi produser, Gus Mantra juga sekaligus bertindak sebagai manajer untuk artisnya.

Tak disangka, album pertama Lolot berjudul Tresna Memaksa (cinta memaksa) melesat bak meteor. Penjualan menembus 50.000 buah kaset. Dari sukses itu, Gus Mantra memutuskan mengembangkan sayapnya dengan artis-artis baru. Sebuah grup band berbahasa Bali, Joni Agung & Double T, kini telah menelorkan 2 album. Purusha Band, kini juga telah sukses dengan album berbahasa Bali dan Indonesia lewat manajemen Pregina. Saat ini, Pregine tengah mempersiapkan peluncuran 2 penyanyi pendatang baru, yakni Gede Kurniawan dan grup band Sajoejoe.

Hasilnya sekarang lumayan. Setidaknya, kini musik sudah bisa menghidupinya. ”Dulu bertahun-tahun main musik, nggak bisa hidup dari sana. Saya dulu malah jadi tukang sablon,”cerita Lolot. ”Awalnya saya nggak ada target. Biar keluar aja unek-uneknya. Nggak nyangka begini hasilnya,”tandasnya merendah.

Kini, Lolot yang sempat mendapat SCTV Award untuk kategori band independent ini tengah mempersiapkan album terbarunya, repackage dari 3 album sebelumnya. Beberapa lagu terbaik Lolot akan diproduksi ulang, beberapa lainnya akan diaransemen ulang agar lebih menarik. ”Ini berdasarkan permintaan masyarakat,”tandas Gus Mantra. Di album the best nanti, aransemennya akan ditambah dengan unsur-unsur tradisional. “Ada tambahan kecak, untuk memperlihatkan unsur tradisi. Biar kelihatan mahal. Kalau dikolaborasikan, kelihatan mahal,”tambah Gus Mantra.

Hingga kini, Pragine telah memproduksi sedikitnya 180.000 kaset yang masing-masing seharga Rp 15.000. ”Itu belum potong pajak, distributor, produki kaset, promosi, studio, royalti. Untungnya paling 10-15 persen,”jelas Gus Mantra. Yang jadi beban aat ini, yakni maraknya pembajakan. Jumlah bajakan yang beredar bahkan diperkirakan mencapai 3 kali lipat dari produk aslinya.

Lolot N’ Band masih punya obsesi. Yakni, meluaskan pangsa pasar sampai ke luar Bali, bahkan luar negeri. Itu karena selama ini sebenarnya cukup banyak permintaan untuk itu. Anehnya, Lolot tak punya keinginan untuk membuat album versi bahasa Indonesia. ”Soalnya nggak bisa bahasa Indonesia,”celetuk Lolot bercanda. ”Cukup bahasa Bali aja. Toh, banyak yang suka lagu bahasa inggris walaupun tidak tahu artinya. Lagu bahasa Jepang, Mandarin, kan juga sama,”tambah Lanang. Meski belakangan mulai banyak grup band musik Bali yang ingin mengekor jejak Lolot, namun Lolot N’ Band mengaku tak khawatir. “Yang susah kan justru buat ikon pertama. Dan kita sudah lakukan itu,”tambah Lanang. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: