Google
 

Kamis, 09 Februari 2006

Prostitusi Sanur yang Termashur

Sanur jadi tempat bisnis prostitusi paling terkenal di Bali. Pemerintah melarang tapi oknum yang bertugas menertibkan mendapat keuntungan dari sana. PSK tetap saja jadi korban aturan yang tak jelas ini.

Pukul 23.45 Wita. Denpasar baru saja diguyur hujan. Pepohonan masih basah dan jalanan becek. Suasana di Sanur tampak lengang. Beberapa tempat yang biasanya ramai, akhir Januari lalu seperti tak berpenghuni. Di salah satu cafe, beberapa perempuan dengan dandanan menor duduk bersenda gurau. Tak ada pengunjung datang. Suasana baru terlihat ramai di sebuah tempat [rumah? Cafe? Atau apa?]. Areal parkir cukup penuh dengan kendaraan, di kawasan Jl Danau Tempe. Di pintu masuk, beberapa laki-laki keluar dengan senyum sumringah. Suasana di dalam ternyata jauh lebih ramai. Tampak wisma-wisma [kamar atau cottages?] berjejer. Gelak tawa perempuan-perempuan muda itu ditelan musik Banyuwangian cukup keras mengalun di ujung gang. Sementara para laki-laki lalu lalang dari wisma satu ke wisma yang lain mencari yang cocok. Petualangan baru saja dimulai...
Jl Danau Tempe adalah kawasan yang cukup terkenal sebagai daerah postitusi. Menurut Gusti Made Kentri, Kepala Dusun Tanjung, Sanur, Danau Tempe termasuk kawasan yang baru berkembang. ”Saya tidak tahu kapan tepatnya, yang jelas, prostitusi ini sudah lama sekali ada di Sanur. Awalnya dari Semawang, dekat Angkatan Laut itu, lalu menyebar ke Blanjong, Bet Ngandang, sampai di Jalan Danau Tempe,” ujarnya.
Bagi sebagian orang, Sanur pun identik dengan hal mesum. Kalau ada laki-laki pergi ke Sanur malam-malam, orang akan berpikir bahwa laki-laki itu pergi ke tempat prostitusi. Warga setempat pun kadang jadi korban. ”Kasihan anak-anak kami yang SMA juga jadi korban. Karena mereka berpakaian seragam dan lewat depan kompleks, mereka juga dikejar-kejar, dikira cewek begituan,” kata Kentri.
Belakangan diketahui bahwa ternyata yang menjalankan bisnis prostitusi ini tidak hanya orang luar Bali, karena ternyata 50% wisma di Jl Danau Tempe dimiliki orang Bali. [data dari mana? Memang yg mulai pertama orang dari mana?] Salah satunya Gde Dharma. Kakek dua cucu ini menempati wisma di Jl Danau Tempe sejak setahun lalu, setelah sewanya di Blanjong habis. Ia punya tujuh kamar, satu kamar dipakai sendiri. Dia sempat 26 tahun jadi buruh bangunan dan sopir. Tertarik usaha baru ini setelah anaknya yang memulai duluan, bangkrut. ”Setelah anak bangkrut, saya coba teruskan. Namanya orang cari duit,” ujarnya.
Penghasilan Gde tidak tentu per harinya. Saat ini ia memiliki lima orang pekerja seks komersil (PSK) dan ia mendapatkan bagian Rp 15 ribu per pekerja per transaksi. Kalau sedang ramai, jumlah ini bisa sangat besar. Namun kalau sedang sepi, katakanlah hanya ada lima tamu per malam selama sebulan, Gde bisa hanya dapat Rp 2.250.000. Jumlah ini tak banyak mengingat biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti sewa wisma Rp 3 juta per bulan dan pungutan-pungutan liar oknum petugas.
Sore itu misalnya. Dua pria berpakaian coklat muda, seragam PNS, datang dengan sepeda motor. Mereka disambut laki-laki di ujung gang yang langsung menyerahkan beberapa lembar uang ribuan. Menurut Gde, setiap hari selalu ada orang datang minta ”uang rokok”. Karena itu setiap wisma menyerahkan sekitar Rp 20.000 per hari pada laki-laki di ujung gang yang akan membagikannya pada ”petugas” yang jumlahnya bisa sampai 20 orang.
Pengeluaran bulanan ini bisa membengkak bila ada razia Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) ataupun Kepolisian. Karena denda Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang nilainya minimal Rp 250 ribu per orang kadang harus dikeluarkan dari kocek Germo jika “pegawainya” digelandang ke pengadilan.
Kalau dipikir-pikir bisnis prostitusi ini cukup melelahkan juga. Gde Dharma mengatakan lebih enak jadi buruh ketimbang jadi germo, ”Enakan jadi buruh. Nggak banyak berpikir. Kalau ngurus usaha begini, pusing,” tuturnya. Tapi show must go on.
Fitri, salah seorang PSK di wisma itu mengatakan keadaan sekarang cukup susah. Ia mendapatkan sekitar Rp 35 ribu bersih per pelanggan. Awalnya ia sama sekali tidak terpikir jadi PSK di Sanur. Fitri diceraikan suaminya karena setelah 10 tahun menikah mereka belum juga punya keturunan. Kejadian ini membuatnya stres, hingga ketika beberapa temannya pergi ke Bali untuk jadi PSK, ia ikut. Belakangan, ketika bom meledak dan daya beli masyarakat menurun, pendapatan para pekerja juga menurun. “Sekarang sepi banget. Sejak bom itu dah,” ujar Fitri.
Jl Danau Tempe, Gde Dharma ataupun Fitri hanyalah sebagian kecil bagian dan bisnis prostitusi yang tidak pernah mati. Di Bali, selain beberapa titik yang sudah jadi tempat langganan pengguna bisnis seks seperti PSK di Lumintang dan Gatsu (Jalan Gatot Subroto), waria di Gatsu dan Renon, gigolo di Kuta. Di luar Denpasar/Badung, ada Terminal Pesiapan di Tabanan hingga Bungkulan di Singaraja, Kabupaten Buleleng.
Variabel yang terlibat di dalam industri seks ini bukan hanya PSK, germo, dan pelanggan. Ada juga oknum pihak desa dan adat dan pemerintah. Secara institusi pemerintahan, prostitusi adalah hal yang harus diberantas. Tapi secara pribadi, prostitusi adalah keuntungan tambahan di luar gaji yang bisa didapatkan oknum petugas institusi tersebut. Ini belum termasuk razia resmi yang cukup sering dilakukan namun tak terlihat hasilnya karena tempat prostitusi tersebut masih saja berdiri di sana.
PSK adalah variabel yang paling dirugikan dalam bisnis ini. Tenaga mereka dikuras untuk menghasilkan uang. Uang ini sebagian berputar lagi untuk kepentingan industri, mulai dari membayar kamar hingga membayar denda Tipiring. Belum lagi mereka berhadapan dengan pelanggan yang berlaku kasar atau mau enaknya sendiri, menolak untuk menggunakan kondom. Resiko terjangkitnya penyakit mulai dari Infeksi Menular Seksual (IMS) hingga HIV sangat tinggi. Mereka juga orang pertama yang disalahkan dalam praktek prostitusi ini sebagai pelacur. Lantas, bagaimana harusnya kita menyebut variabel lain yang mengambil kesempatan dalam kesempitan ini?
Pukul 00.15 Wita. Suasana masih ramai. Akan terus ramai sampai dua atau tiga jam ke depan. Para laki-laki masih bergantian datang. Beberapa diantara mereka masih hilir mudik mencari sasaran. Laki-laki itu datang dan pergi, tapi perempuan-perempuan itu tetap di sana, menjadi saksi betapa tidak tegasnya aturan di provinsi ini. [Komang Erviani dan Ni Luh Dian / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 13, Februari 2006]

Tidak ada komentar: