Google
 

Rabu, 20 September 2006

Donor Darah Aman Nggak Ya?

Transfusi darah menjadi salah satu pintu masuk penularan segala penyakit yang menular melalui darah, seperti hepatitis dan HIV. Itu terjadi jika darah donor tidak disaring atau diskrining dulu. Tapi, skrining darah secara ilmiah saja tak cukup. Perlu kejujuran calon pendonor.

“Transfusi darah bisa menularkan HIV ya? Berarti nggak save dong,” begitu reaksi Astri ketika mendapat informasi tentang beberapa hal yang dapat menularkan HIV, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia penyebab AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome).

Benak gadis yang dinobatkan sebagai Putri Bali 2006 pada Juli lalu itu, tampak penuh tanya. Menurutnya, transfusi darah menjadi satu-satunya potensi penularan yang baginya tidak bisa dihindari, berbeda dengan hubungan seks atau penggunaan jarum suntik. Kalau sudah dalam kondisi sakit, kekurangan darah, tentu tak ada pilihan lain selain melakukan transfusi darah. Kekhawatiran perempuan yang sempat mengikuti final Putri Indonesia 2006 di Jakarta, Agustus lalu, tentu bisa dimaklumi. Tak cuma Astri, banyak yang penasaran dengan penularan HIV lewat transfusi darah.

Bila kita menjalani transfusi darah sebelum tahun 1990-an, mungkin kekhawatiran itu beralasan. Namun tidak sekarang. Atas inisiatif sejumlah pihak di Bali, setelah tahun 1990, darah yang didistribusikan ke masyarakat sudah wajib melalui proses uji saring darah (skrining). Secara nasional, prosedur ini dilakukan pada 1995. “Prinsip kita di unit transfusi darah, semua darah yang keluar harus sudah bebas dari penyakit yang bisa ditularkan oleh darah,” tegas Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) Pembina-PMI Bali, AAG Sudewa Djelantik. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu memastikan, darah yang didistribusikan kepada masyarakat telah melalui proses skrining yang ketat.

Memang, tak cuma HIV yang berpotensi ditularkan lewat darah. Malaria, hepatitis B dan C, dan sifilis, juga termasuk penyakit yang hidup di darah. Artinya, penularan bisa terjadi melalui pertukaran darah. Namun dengan dilakukannya skrining darah, potensi penularan itu dapat dihindari.

Skrining dilakukan dalam empat tahap, yakni pemeriksaan terhadap HbsAg (Hepatitis A), Anti HIV (HIV), Anti –HVC (Hepatitis C), dan VDRL/RPR (Sifilis). Jadi, Kalau hasil skrining ternyata save, tidak ditemukan virus penyakit, berarti aman untuk donor.

Sudewa mengatakan ada beberapa darah donor yang diketahui terinfeksi penyakit, termasuk HIV. Dalam tahun 2006, sampai Juli, tercatat ada 25 kantong darah tak lulus uji saring anti HIV, dari total 10.828 kantong darah yang diperiksa. Artinya, hanya sekitar 0,2 persen darah yang tercemar HIV. Sementara itu, ada sebanyak 232 kantong darah diketahui tercemar Hepatitis A, 65 kantong tercemar sifilis, dan 76 kantong tercemar Hepatitis C.

Di tahun 2005, ada sekitar 49 kantong darah tercemar HIV dari total 20.859 kantong darah. Selain itu, sebanyak 85 kantong darah tercemar sifilis, 598 darah tercemar Hepatitis A, dan 307 darah tercemar Hepatitis C. Kasus darah tercemar tahun 2004 juga cukup tinggi, mencapai 48 kantong darah tercemar HIV dari total 21.151 kantong darah.

Sementara 178 kantong darah tercemar Sifilis, 623 kantong tercemar Hepatitis A, dan 306 kantong tercemar Hepatitis C. Kalau sudah begini, UTD harus membuang kantong-kantong darah itu melalui alat insenerator limbah menular milik Rumah Sakit Sanglah.

Meski yakin dengan pelaksanaan skrining darah, Sudewa tak membantah adanya kemungkinan darah tercemar lolos uji saring ini. Apalagi untuk skrining HIV. Dalam periode jendela, virus ini tak terdeteksi oleh mekanisme skrining darah. Periode jendela merupakan periode di mana HIV yang baru masuk ke darah belum membentuk antibodi, sehingga belum bisa dideteksi. Periode jendela ini umumnya sekitar 3 bulan. Jadi, bila pendonor terinfeksi HIV sehari sebelum ia mendonorkan darahnya, keberadaan virus itu belum akan ditemukan dalam skrining darah. “Ini justru lebih berbahaya, karena virusnya sedang galak. Sayangnya di periode jendela, HIV belum bisa dideteksi dengan tes yang kita punya,” tegasnya.

Tes HIV yang dilakukan UTD Pembina-PMI Bali saat ini mengadopsi konsep pemeriksaan ELISA. Tes yang fokus pada antibodi dalam darah itu, dilaksanakan sesuai rekomendasi badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) dan Departemen Kesehatan. Tes ini dinilai jauh lebih baik dari konsep rapid test yang diterapkan di Bali hingga tahun 1995.
Meski tes yang dilakukan saat ini sudah lebih sensitif dibandingkan sebelum tahun 1995, namun tetap saja sensitifitasnya tak mampu mendeteksi HIV di periode jendela.

Sebenarnya, menurut Sudewa, tes HIV paling sensitif saat ini adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). Dalam tes jenis ini, pemeriksaan difokuskan pada antigen. Namun tes jenis ini tak bisa diterapkan karena biaya yang terlalu mahal. Untuk pemeriksaan satu kantong darah saja, bisa menghabiskan sampai Rp 1,5 juta. Padahal dengan pemeriksaan ELISA, biaya yang perlu dikeluarkan hanya Rp 70 ribu.
Meski disebut paling sensitif, namun Ketua Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Dokter Tuti Parwati, juga melihat banyak kelemahan dalam tes PCR. Pasalnya, tes PCR dilakukan dengan melihat sebagian kecil antigen pasien.

“Jadi tes ini tidak bisa utuh. Hanya sebagian saja yang kelihatan. Kan belum tentu semua bagian tubuh sudah terinfeksi HIV pada saat tes,” jelasnya.
Banyaknya kelemahan dalam tes HIV, disadari betul oleh Sudewa dan jajaran unit transfusi darah. Karenanya, semua pendonor yang darahnya tercemar selalu dipanggil dengan surat tertutup ke PMI. Tujuannya, untuk memberitahukan penyakit yang telah mencemari darah mereka.

Donor biasanya diberi informasi bagaimana seharusnya bertindak agar tidak menulari penyakitnya itu. Salah satu nasehat yang ditekankan, yakni untuk tidak melakukan donor darah sampai benar-benar sembuh. “Asal ada darah tercemar, selalu kita panggil,” kata Sudewa.

Khusus untuk darah tercemar HIV, UTD menerapkan mekanisme yang sedikit berbeda. Untuk alasan kerahasiaan dan menghormati prinsip unlink anonymus (tes tanpa identitas), pihak UTD hanya memberikan surat tertutup yang merujuk donor ke klinik tes HIV sukarela dan rahasia (voluntary counseling and testing/VCT). Di Bali, kini ada empat klinik VCT, tersebar di RS Sanglah, RS Kapal, RSU Wangaya, dan RSU Singaraja.

Tindakan-tindakan tersebut dilakukan, untuk mengurangi risiko penularan ke orang lain. “Kalau tidak dikasi tahu, mereka akan donor lagi dan donor lagi. Kalau tes kita kurang baik, bisa lolos. Kan bisa mencemari. Makanya lebih baik dari awal langsung diberitahu,” tambah pria yang kini menjabat Direktur Wings Internasional RS sanglah itu.

Bagi donor baru, Sudewa mengaku menerapkan mekanisme konsultasi untuk mengurangi risiko. Selembar formulir juga harus diisi calon pendonor, sebagai bentuk seleksi. Sejumlah pertanyaan terkait penyakit-penyakit yang mungkin menular lewat darah, wajib dijawab calon pendonor.
Tentu saja, diharapkan kejujuran dari para calon pendonor. “Mohon diisi dengan sejujurnya untuk keselamatan Anda dan calon penerima darah,” begitu tertulis miring dalam formulir itu.

Dituliskan pula beberapa penjelasan tentang orang-orang dengan risiko tinggi atau besar kemungkinan mendapat HIV/AIDS dan tidak diperbolehkan menyumbangkan darah. Sudewa sangat mengharapkan kejujuran calon pendonor dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Unit Transfusi Darah juga mempunyai trik tersendiri untuk tidak membuat tersinggung calon pendonor. Bagi mereka yang dicurigai mengidap penyakit tertentu, biasanya diminta tidak donor dengan alasan tensi rendah, atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan lainnya. “Kita tidak bisa langsung menuduh mereka punya penyakit. Tapi daripada berisiko, lebih baik kita tolak. Jadi trik menolak juga banyak,” ujarnya.

Apapun trik mencegah darah terinfeksi penyakit sampai ke orang lain, kejujuran calon pendonor menjadi faktor utama. “Karena itu perlu cara-cara lama. Masyarkat dikasi tahu agar menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Karena kalau tidak jujur, dia sendiri yang kena. Siapa tahu kan, mereka juga akan membutuhkan darah suatu saat,” harap Tuti Parwati. Beruntung, hingga kini belum ditemukan satu pun kasus penularan HIV/AIDS di Indonesia melalui transfusi darah. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 20,September 2006]

Tidak ada komentar: