Google
 

Rabu, 20 September 2006

Mereka Hidup dari Gulungan Ombak

Surfing menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas pantai-pantai di Bali. Komunitas-komunitas surfer terus berkembang. Olahraga ekstrem itu kini tak sekadar tempat penyaluran hobi. Menggantungkan hidup dari surfing sudah bukan lagi impian.

Gulungan ombak Pantai Kuta coba ditaklukkan puluhan surfer (peselancar), ketika terik matahari begitu menyengat siang itu. Bersama rekan satu timnya, Wayan Mickey Sudena, 23 tahun, jeli menyeleksi ombak terbaik untuk dimainkan dalam satu jam babak semifinal. Mickey dan kawan-kawan berupaya menyuguhkan penampilan terbaiknya di hadapan lima orang juri yang mengamati dari jarak ratusan meter.

Di posisi start, sejumlah surfer lainnya terlihat bersemangat. Ada yang berteriak, bertepuk tangan, bersiul, memberi semangat kepada rekan-rekannya yang tengah bertanding. Tak ada suporter fanatik. Semua riuh, menyemangati semua peserta kompetisi surfing di ajang Kuta Karnival 2006 itu. Suara lantang komentator dari atas tenda penjurian, menambah semarak.

Suara peluit lantang terdengar ketika satu jam berlalu. Pertanda akhir dari babak yang hanya akan menggolkan empat tim untuk masuk ke babak final. Mickey berjalan pelan menjauhi laut. ”Gagal,” ujarnya sambil menggeleng. Kekecewaaan terlihat jelas di wajah surfer yang sejak setahun lalu telah menjadi raider surf brand Oakley itu. Mickey dan empat orang rekan satu timnya yang jadi andalan Oakley, harus mengaku kalah dari tim Bali Barrel, Volcom, Quick Silver, dan Cult. Mereka harus puas untuk tidak menikmati ombak di babak final.

Kekalahan dalam sebuah kompetisi, memang hal biasa bagi banyak orang. Namun tidak bagi Mickey. Maklum, ia tak cuma bertanding untuk diri sendiri. Sejak setahun belakangan, tepatnya sejak diangkat sebagai raider Oakley, ia harus selalu membawa embel-embel Oakley. Surf brand internasional itu wajib selalu dibawa dan dijaga Mickey di setiap kesempatan. Mengikuti setiap kompetisi surfing dan berupaya memenangkannya, menjadi kompensasi atas berbagai fasilitas yang diterimanya.

Menjadi raider sebuah surf brand, merupakan pencapaian tersendiri bagi para surfer Bali. Pencapaian itu sekaligus menjadi pintu menuju kompetisi surfing kelas dunia. Maklum, fasilitas yang diperoleh seorang raider surf brand dapat mempermulus jalan menuju internasional. Tak cuma berhak atas perlengkapan surfing, para raider juga berhak mendapat honor yang nilainya tidak sedikit. Kesempatan untuk mengikuti kompetisi surfing internasional di dalam dan luar negeri, juga terbuka lebar bagi para raider.

Perkembangan olahraga surfing di Bali, memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan banyak surf brand asing di pulau dewata ini. Olahraga yang memicu adrenalin ini kini telah menjadi favorit banyak anak muda lokal Bali. Bahkan tak sedikit diantaranya yang menjadikan surfing sebagai mata pencaharian utama. Komunitas surfer pun bermunculan di banyak pantai di seluruh Bali. Di mana ada ombak bagus, di situlah para surfer itu berkumpul.

Surfer tua asal Kuta, Ketut Menda, 45 tahun, mengaku senang dengan perkembangan olahraga surfing di Bali. Jauh sebelum surfing dikenal di Bali, menurut Menda, masa kecil anak nelayan Kuta ini telah diwarnai dengan permainan menantang ombak. Maserupan, begitu ia biasa menyebut permainan selancar dengan hanya papan kayu kecil ketika itu. ”Waktu itu kita belum tahu yang namanya surfing,” ujarnya.

Baru pada tahun 1970-an, beberapa wisatawan asing datang ke Kuta dengan membawa papan surfing. ”Saya kira apa yang dibawa. Dibungkus. Katanya waktu itu, untuk main di air,” kenang Menda yang ketika itu masih berumur 10 tahun. Sejak itu pula, Menda dan sejumlah anak nelayan Kuta mulai menjajal nikmatnya menantang ombak dengan papan surfing. Makin hari, makin banyak saja anak-anak Kuta yang tertarik dengan olahraga ini.

Pandangan miring sempat tertuju pada aktivitas surfing ketika awal perkenalannya di Kuta. Selain dinilai berbahaya, banyak orangtua menuding surfing sebagai aktivitas tidak berguna. ”Maklum, kalau sudah menemukan ombak yang asyik, surfer kadang lupa segalanya. Lupa lapar, nggak peduli malam. Sekali surfing, kita jadi ketagihan. Menari di atas ombak adalah surga,” begitu Menda.

Bak pepatah, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, para surfer yang hanya segelintir ketika itu terus saja bermain. Mengundang ketertarikan rekan-rekan sepermainan mereka. Membangun komunitas peselancar yang terus bertambah setiap tahunnya. ”Kami ajari anak-anak Kuta main surfing. Sekarang perkembangannya luar biasa. Dan sekarang terbukti, surfing juga bisa menghasilkan (pendapatan),” ujarnya.

Surfing mulai mendapat tempat sejak kompetisi-kompetisi surfing banyak digelar. Walau iming-iming hadiah yang ditawarkan tak seberapa besar, kompetisi-kompetisi itulah yang sukses membangun generasi-generasi baru peselancar Bali. Kesempatan berkompetisi itu makin terbuka lebar sejak masuknya beberapa surf brand asing seperti Quiksilver dan Billabong ke Bali sejak 1991. ”Kehadiran surf brand asing telah meningkatkan minat dan gairah orang Bali menekuni surfing,” aku Ida Bagus Rai, Sekretaris Bali Surfing Association (BSA). Rai mencatat, kini sudah ada sekitar 1.500 surfer lokal Bali yang tersebar di sebanyak 33 pantai di Bali.

Surfing kini tak cuma dijadikan hobi, tetapi juga menjadi penunjang hidup. Kalau bisa tampil berprestasi, maka menggantungkan hidup dari surfing bukan lagi impian. Maklum, gaji yang ditawarkan umumnya tak sedikit. Hitungannya mencapai puluhan juta rupiah per tahun . ”Sekarang ada sekitar 200 surfer yang punya sponsor. Kebanyakan dari surf brand. Ada juga dari produk-produk lain seperti rokok, minuman, dan lainnya, ” terang Rai yang sudah berhenti bertanding sejak 11 tahun silam dan kini aktif sebagai juri di berbagai kompetisi surfing. Hidup dari surfing sudah menjadi pilihan banyak surfer Bali. Tapi tentu saja, ada risiko yang harus ditanggung. Ketika perusahaan mengharuskan raidernya bermain, mau tak mau mereka harus bermain. ”Menantang maut pun harus dijalankan. Sudah risiko,” begitu Rai.

Banyak alasan yang membuat surf brand mengangkat raider. General Manager Oakley Indonesia, Billy Boen, menjelaskan, raider diangkat sebagai duta untuk mempromosikan produk Oakley. Karenanya, ada banyak kewajiban yang harus dilakukan raider. Diantaranya, raider harus tetap surfing dan mencoba tampil lebih baik dari waktu ke waktu, serta tentu saja wajib menggunakan segala asesoris Oakley pada setiap kesempatan. Tak boleh ada brand pesaing lain yang menempel di tubuh raider setiap harinya. Artinya, raider harus benar-benar loyal dengan produk-produk Oakley. Raider juga wajib mengikuti seluruh kompetisi surfing, baik dalam maupun luar negeri. Tentu saja, semua kompetisi difasilitasi oleh perusahaan. Jadi, raider hanya perlu mempersiapkan fisik dan mentalnya untuk memenangkan kompetisi.

”Ini adalah kacamata terbaru dari Oackley. Dilengkapi dengan MP3. Jadi, kita bisa dengar lagu-lagu terbaru dengan kacamata ini,” seloroh Mickey berpromosi soal kacamata yang dipakainya. Begitulah Mickey sejak menjadi raider Oakley. Kesehariannya tak cuma disibukkan dengan aktivitas surfing, tetapi juga berpromosi tentang asesoris-asesoris yang digunakannya. Tetapi pria yang memulai karir surfingnya dari kelas gromet di usia 8 tahun, tak merasa terbeban. Blesteran Bali-Jepang itu menikmatinya. Apalagi ia juga mendapat kesempatan tampil di puluhan media asing partner Oakley, mengikuti banyak kompetisi, hingga liburan surfing ke Hawaii, Jepang, dan markas pusat Oakley Amerika Serikat. ”Kami arahkan raider tidak hanya jadi atlet, tapi juga artis,” jelas Billy.

Menjadi raider ternyata bukan hal baru bagi Mickey yang pada 2005 menduduki rangking 20 Indonesian Surfing Competition (ISC). Dua tahun lalu, ia juga sempat dikontrak oleh surf brand Reef selama satu tahun. Namun Mickey tidak berupaya memperpanjang kontraknya karena prestasinya ketika itu sempat anjlok. “Jadi malu sendiri karena nggak bisa take and give,” ungkapnya jujur. Ketika masih berusia 9 tahun, Mickey juga sempat menjadi duta kacamata Oakley. “Tapi waktu itu cuma dapat tiga kacamata dan dibayari sekolah selama setahun,” kenang Mickey.

Surfer yang sudah masuk kelas profesional, memang menjadi incaran tim sport marketing dari perusahaan surf brand. Tapi bukan berarti para surfer pemula tak punya kesempatan. Yuki Seedwell misalnya. Remaja blesteran Bali-Australia ini sudah dua bulan ini dikontrak Oakley, meski ia belum masuk di jajaran surfer pro. “Walaupun belum pro, kita angkat dia jadi raider karena kita lihat dia berpotensi dan punya semangat tinggi,” Billy menjelaskan. Yuki sendiri sebelumnya juga pernah dikontrak selama setahun oleh surf brand lain, Billabong. “Saya ingin cari support. Ingin bisa didukung, ketemu banyak orang, dan jadi pro surfer,” ujar remaja yang belajar surfing sejak usia 6 tahun, itu polos.

Mendapat sponsor full gear dari Oakley, tak cukup memuaskan Mickey dan Yuki. Walaupun mendapat segala asesoris surfing secara lengkap dari Oakley, Mickey dan Yuki rupanya masih punya satu angan. “Ingin dapat sponsor board (papan selancar),” ujar Mickey, dibalas anggukan Yuki. Maklum, harga papan surfing yang berkualitas masih terlampau menjulang bagi keduanya.

Keterbatasan kemampuan ekonomi, menurut Ketut Menda, telah menjadi salah satu faktor yang menghambat majunya surfer lokal Bali. “Banyak surfer yang main bagus, tapi tidak punya surf board. Seandainya kita di Bali bisa buat surf board sendiri,” tandas Menda. Menda menyebut harga surf board yang mencapai lebih dari Rp 6 juta, masih terlalu mahal bagi kantong surfer-surfer Bali. Akibatnya, banyak surfer yang menggunakan surfboard dengan kualitas seadanya. Kalau tidak disumbang surf board bekas oleh bule, paling-paling mereka beli dengan harga di murah. “Biasanya sudah dalam kondisi tidak bagus, sudah pecah-pecah,” tandasnya.

Perlengkapan surfing yang jauh dari layak, membuat surfer Bali seringkali kalah dengan surfer-surfer asing. “Main kita sering, tapi menang jarang,” demikian pria yang kini menjadi raider Quicksilver. Meski begitu, bukan berarti surfer Bali selalu berada di posisi buncit. Banyak surfer Bali yang juga sukses di tingkat internasional. I Gusti Made Oka Sulaksana, 35 tahun, salah satunya. Surfer yang satu ini sepertinya sudah terbiasa dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya. Oka sudah menjadi langganan penyumbang medali untuk Indonesia, baik pada kejuaraan tingkat Asia Tenggara, maupun tingkat Asia. Yang terbaru, awal September lalu, ia sukses meraih juara pada seri Kejuaraan Dunia Surfing di Korea. Ia kini tengah mengincar medali emas pada Asian Games di Qatar 2006.

Oka yang asal Sanur Bali, mengaku senang melihat perkembangan surfing di Bali. Generasi penerus olahraga ekstrem ini menurutnya sudah begitu berlimpah. Di wilayah Sanur saja, diperkirakan sudah ada sekitar 300 surfer. Meski menurutnya, tak pernah ada surfer yang benar-benar hanya menetap di satu lokasi surfing yang sama. ”Di mana ada ombak bagus, di situ kita main,” jelasnya.

Aktivitas surfing sepertinya tak pernah bisa dilepaskan dari keseharian pantai-pantai di Bali. Bahkan aktivitas ini banyak membuka lokasi-lokasi wisata pantai baru. Tak cuma Kuta dan Sanur, ada banyak pantai-pantai indah di pelosok Bali yang justru ditemukan dan diberi nama oleh para surfer asing. Mulai dari Pantai Dreamland, Padang-padang, Bingin, dan Suluban yang berbatu di wilayah utara Bali, Pantai Keramas di bagian timur, hingga Pantai Medewi di bagian Barat Bali. Bagi para surfer, ombak adalah surga. Mereka akan terus menaklukannya, menunjukkan prestasinya, dan berharap ada surf brand yang melirik. Agar prestasi tak mandek gara-gara minim support. [Komang Erviani]

Tidak ada komentar: