Google
 

Rabu, 09 Februari 2005

Hidup dengan HIV, Biasa Megibung di Banjar

“Jajan” di sejumlah lokalisasi, sudah kebiasaan saya sejak umur 15 tahun. Berawal dari ajakan teman-teman saya kemudian ketagihan. Mencari pekerja seks komersial (PSK) di Buleleng, daerah asal saya, tiba-tiba menjadi kebutuhan wajib.

Kebiasaan buruk itu sempat saya hentikan saat harus bekerja di perkebunan kelapa sawit selama sekitar 8 bulan di Sumatra. Usai bekerja di Sumatra, saya jadi kenek truk pengangkut barang dan kerap melintasi jalur Bali-Jakarta. Setiap berangkat, saya bisa perlu 15 hingga 20 hari perjalanan. Saya tak punya pilihan lain. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat saya harus sudah membanting tulang di usia remaja. Keterbatasan keuangan juga membuat saya hanya sempat sekolah SD, apalagi kuliah. Dalam pekerjaan baru itu, hobi “jajan” mulai saya jalani lagi. Di hampir setiap tempat mampir, saya biasan ikut “jajan” bersama sopir.

Saya tak pernah membayangkan, seks bebas yang saya jalani dengan banyak pasangan membuat saya kena HIV/AIDS. Dulunya saya bahkan tak tahu apa itu HIV/AIDS. Ketika mendapat penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS lebih dari setahun lalu, saya baru menyadari kalau kebiasaan menjalani seks bebas membuat saya beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS. Namun saat itu saya masih yakin tubuh saya tak terinfeksi HIV/AIDS.

Suatu hari, sepulang ngenek, tubuh saya tiba-tiba lemas dan perut saya mulas. Saat buang air besar, saya terkejut melihat buang air besar saya berdarah. Orang rumah bahkan menegur karena darah membasahi celana saya. Saat itu saya tak bisa menjawab karena tak tahu apa penyakitnya. Karena penasaran dan khawatir, bapak berinisiatif membawa saya ke dukun. Sedikitnya, empat dukun sempat saya temui. Namun saya sama sekali tak merasakan perubahan. Bukannya membaik, fisik saya makin hari makin melemah.

Ketika cemas, saya teringat penyuluhan AIDS yang pernah saya ikuti. Brosur yang saya peroleh saat itu, saya baca ulang. Isi brosur itu makin membuat saya curiga dengan penyakit saya. Ciri-cirinya sangat mirip. Menyadari besarnya risiko HIV/AIDS yang mungkin saya alami, saya kemudian menghubungi petugas lapangan dari Pos Informasi AIDS Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI). Lalu saya tes darah dengan bantuan pos informasi AIDS itu. Benar saja, hasil tes itu menyatakan saya positif HIV/AIDS.

Kabar setahun lalu itu, membuat saya kaget. Saya sempat putus asa dan hanya mengurung diri di kamar selama berminggu-minggu. Namun kemudian saya memutuskan untuk pasrah. Kapan pun ajal menjemput, saya siap. Sayang, tak semua orang di sekitar saya mau menerima kenyataan. Ejekan orang kerap saya terima, bahkan hingga saat ini. “Wah, kamu lagi 15 hari aja mati dah.” Komentar-komentar seperti itu sudah biasa bagi saya.

Namun saya sempat sedih ketika bapak saya menjauh saat itu. Sebulan ia marah. Ia bahkan tak mau mendekat. Beruntung, saya bisa meyakinkannya bahwa HIV/AIDS tak menular lewat sentuhan. Saya katakan ia harus hati-hati bila saya luka. Ia juga tak boleh pake sikat gigi saya karena bisa tertular. Sejak itu, ayah mulai mau dekat dengan saya. Begitu juga masyarakat di daerah saya. Sebagian besar mereka kini sudah mau bergaul. Saya kini sudah bisa mengikuti aktivitas secara normal di banjar. Masyarakat sekitar pun tidak takut saat kami harus makan megibung (makan satu nampan bersama-sama, red) di banjar.

Hingga kini saya memang masih menerima ejekan, tapi saya tak peduli. Di usia yang kini 25 tahun, saya merasa punya gairah hidup lagi. Terlebih setelah menjalani terapi Antiretroviral (ARV) sejak empat bulan lalu. Terapi dari VCT RS Sanglah yang dikoordinir dr. Tuti Parwati itu saya jalani di Buleleng atas bantuan petugas lapangan YCUI. Saya tak perlu membayar sepeser pun. Kini kondisi tubuh saya sudah jauh lebih baik. Bobot tubuh telah mencapai 51 kg, naik dari sebelumnya yang sempat hanya 43 kg. Meski tak sama dengan berat normal saya dulu yang sebesar 58 kg, semangat hidup bagi saya jauh lebih penting. Setidaknya, saya kini sudah bisa bekerja lagi. Atas bantuan modal dari YCUI, saya mencoba mengembangkan peternakan babi.

Saya berharap tak ada lagi orang bernasib sama seperti saya. Karena itu, saya selalu mengingatkan teman-teman untuk menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Terutama yang hingga kini masih suka ‘jajan’. Kalau ada teman terinfeksi HIV/AIDS, saya harap tak langsung putus asa. Mengidap HIV/AIDS bukan berarti akhir segalanya. [Seperti diceritakan pada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 1, Februari 2005)

Tidak ada komentar: