Google
 

Minggu, 20 Februari 2005

I Ketut Suwidja, Hidup dengan Lontar

Lelaki tua itu duduk lemah di atas kasur tipis kusamnya yang dibalut tikar pandan. Sebuah buku folio anyar menemani, lengkap dengan ballpoint warna hitamnya. Sesekali tangan kirinya membolak balik lembar demi lembar dari buku itu. Tapi, tak ada satu pun goresan yang terlihat di sana. “Tangan kanan saya tidak bisa digerakkan. Tidak bisa lagi dipakai nulis,”keluh I Ketut Suwidja,BA.
Kesehatannya yang tak lagi prima, membuat Suwidja kini tak seaktif dulu. Jangankan untuk menulis lontar seperti dulu, untuk menggerakkan tangan saja Suwidja kesulitan. Sejak hampir setahun belakangan, tokoh sastra yang punya jasa besar dalam pelestarian bahasa Bali Kuno ini harus menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidurnya. Kamar sederhana di rumah putranya di Kota Singaraja, dipilih kelahiran 20 November 1939 ini sebagai tempat menghabiskan masa tua. Kacamata tebal dan rambut gondrongnya yang sudah memutih, masih menyisakan gambaran sosok sastrawan dalam diri kakek 7 cucu itu.
Siapa Suwidja? Mungkin anak muda Bali sekarang sudah tak lagi mengenal sosok Suwidja. Tapi di kalangan pecinta sastra, namanya seakan sudah ada di angkasa. Tak tanggung, ia biasa disebut sebagai kamusnya sastra Bali Kuno. Itu karena pengetahuannya yang luar biasa mengenai seluk beluk sastra Bali.
”Waktu saya saya masih kanak-kanak, kakek dan bapak saya suka baca lontar,”terang Suwidja, memulai cerita masa lalunya. Tak sekadar gemar, sang ayah juga menjadi juru basa (pakar bahasa) dalam sekaa gong (kelompok penabuh) di desanya. Sementara sang kakek, sangat menyukai kidung Bagus Diarsa yang bercerita soal ayam. “Karena kakek suka ayam aduan,”ceritanya sambil terbahak. Karena banyak penyuka sastra di rumahnya, sejak kecil ia terbiasa dengan beragam jenis kidung dan kekawin. ”Kalau saya sakit, diemong dengan kekawin,”ujar pria asal Desa Bulian Buleleng itu. Mulai dari kutipan-kutipan Ramayana, hingga Bharata Yudha. ”Hana sira ratu dibya rengan.... (ada seorang raja bijaksana). Wah, saya sudah lupa,”akunya sambil terus berusaha mengingat.
Sejak kelas 6 SD, Suwidja mulai memendam rasa penasaran untuk bisa menyanyikan sendiri kekawin-kekawin itu. Kegemaran menonton wayang dan segala lakonnya, menambah kuat rasa penasarannya. Dari situ kemudian muncul minat untuk membaca lontar. ”Saya coba-coba untuk baca lontar yang ada di rumah. Baris demi baris, seakan memperkuat keinginan. Di rumah ada sekitar 50 lontar warisan,”
Sejak kelas 2 SMP, Suwidja mulai mengenal Museum Gedong Kertya, tempat ratusan lontar-lontar kuno sastra Bali disimpan. Tiap malam, Suwidja kecil mendatangi museum di tengah Kota Singaraja itu. ” Awalnya cuma main-main sambil mengkhayal. Lama-lama, saya tahu kalau dekat sana ada kamar mayat rumah sakit. Jadi takut kesana malam. Akhirnya siang-siang saya ke sana. Dari sana kenal pegawainya, baru mulai baca-baca lontar. Dilatih sama pegawainya di sana,” cerita Suwidja sambil menyebutkan sejumlah nama yang dikatakan sebagai orang-orang yang membantunya belajar.
Sejak mengenal lontar dan Gedong Kertya itulah, perjalanan sastra Suwidja mulai melesat. Ia bahkan menjadi peminjam buku salinan lontar paling rajin pada saat itu.”Tanda-tanda pinjamannya sampai sekarang masih ada. Ada bukunya, di sana ada nama saya,”kenangnya. Sekali pinjam, Suwidja bisa memboyong 3 salinan lontar sekaligus ke rumahnya. Buku-buku yang dipinjamnya, kebanyakan berisi tentang masalah kanda (pengetahuan umum) dan kediatmikan (pengetahuan untuk menghambat hujan). Saat itu, banyak orang di desanya yang menyukai masalah-masalah itu. ”Karena lingkungan mempengaruhi, saya jadi makin suka.” Saat menginjak kelas 3 SMP, Suwidja mulai mencoba kemampuannya dengan menulis lontar. Tak hanya menulis aksara bali, ia juga belajar membuat lukisan di atas daun lontar (biaa disebut prasi). Untuk belajar membuat prasi, ia bahkan merengek ke orang tuanya untuk dibelikan prasi yang harganya saat itu lumayan mahal.
Untuk melaksanakan tekadnya belajar menulis dan menggambar lontar, Suwidja mengupayakan sendiri daun lontar dari pohon-pohon lontar yang ada di kawasan Kubutambahan Buleleng. Sebelum digoreskan menggunakan alat sejenis jarum besar, lontar yang didapat masih harus diolahnya dulu. Serat lontarnya dihilangkan, digunting sesuai ukuran, direbus, kemudian dikeringkan. ”Kalau lontarnya sudah lemas, baru digoreskan aksara Bali. Sesudah itu, lontar digosok dengan kemiri dicampur minyak tanah, biar tulisannya menghitam,”jelas Suwidja tanpa canggung. ”Jadi waktu saya, saya habiskan begitu saja. Buat lontar. Teman-teman mancing, saya buat lontar di rumah.”
Ukuran lontar untuk setiap isi, berbeda. Untuk kekawin, lontar harus berukuran 50 cm. Sentara kidung 35 cm, pengetahuan umum (kanda) 20 cm, tentang black magic 15 cm, dan pengetahuan nerang hujan 10 cm. Karenanya, setiap kali mencari lontar ia selalu memilih lontar berukuran panjang untuk menulis kekawin.
Karya pertama yang dihasilkannya, tak jauh-jauh dari masalah Kerajaan Majapahit. Sayang, tak banyak yang diingat Suwidja. Ia hanya mampu menyebut Kekawin Negara Kerthagama. ”Nggak ingat judulnya,”tandas Suwidja sambil mencoba menyanyikan beberapa bait kekawin yang dibuatnya. Yang jelas, kalau ada hal-hal tentang Majapahit, ia pasti tertarik. Selain itu, ia juga tertarik dengan karangan-karangan Dr. CC Berg, ahli kebudayaan dari Belanda. Diantaranya, Kidung Ranggalawe, Kidung Swalantaka, dan Kidung Sundayana. ”Isinya sangat menarik bagi saya. Tentang sejarah majapahit,”
Beberapa keinginan Suwidja untuk mengembangkan bakatnya, sempat dapat tentangan dari ang ayah yang guru SD. Saat dia minta dibelikan buku untuk menyalin lontar misalnya, sang ayah terus mengomeli. ”Bapak bilang, gituan diurusin. Sekolah saja yang rajin. Tapi akhirnya dibelikan buku harga 9 rupiah. Dulu 3 rupiah sudah dapat 2 kg beras,”kenangnya. Sementara sang kakak memberikan dukungan penuh. ”Saya dibelikan parker. Harganya mahal, Rp 1.200 waktu itu.”
Tak hanya menulis lontar, ia juga belajar mengembangkan bakatnya membuat wayang. Wayang-wayang itu dijualnya ke sejumlah dalang. Biasanya dijual Rp 2.000-3.000 per wayang. Hasilnya lumayan, ia bisa beli celana, baju, dan dipakai bekal kuliah di Jurusan Arkeologi, Universitas Udayana. Bukan hanya wayangnya yang dijual. Lontar karyanya juga banyak digemari, bahkan oleh orang Belanda. Melalui temannya, Suwidja menjual lontar karyanya dengan harga sekitar Rp 1.000-2.000 percentimeter. ”Jadi dapat lontar 10 lembar, dapat lah uang untuk beli beras. Punya ketrampilan menulis lontar, sebenarnya penghasilan,”ingatnya. Dari hasil wayang dan lontarnya, ia bisa membiayai kuliahnya sendiri yang sebesar Rp 2.400 per tahun. Bahkan saat kuliah pun, kegiatan membuat sekaligus menjual wayang dan lontar pun tetap diteruskan. “Ke Denpasar saya bawa kayu untuk alas nulis lontar, bawa kulit sapi, bawa lontar juga,”ceritanya.
Saat lulus kuliah, ia seolah tak terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain di Gedong Kertya. Dari bekerja di Gedong Kertya itulah, Suwidja kenal dengan banyak para sarjana asng seperti Peter Wordley, budayawan asal Australia yang mempelajari babad Buleleng, Tilman Sebas, ahli musik dari Swiss, Urs Ramsey, ahli kebudayaan Swiss, dan Douglas Miles, budayawan asal Australia yang datang untuk belajar kebudayaan Buleleng. Selama itu juga, banyak karya yang dihasilkannya.
Mulai dari membuat transkripsi lontar untuk membantu peneliti muda Hooykaas, hingga membuat buku tentang bahasa Bali kuno. Hooykaas juga sempat kepincut dengan puisi berbahasa Bali dan Indonesia dengan membuat buku puisi. Ada juga buku tentang pengobatan Bali yang diterbitkannya, ditambah artikel-artikel yang rutin di tulis dalam koran harian lokal. Ia juga pernah membuat terjemahan wariga (hari-hari baik) dalam bahasa Indonesia. Hingga saat ini, ia telah membuat sebanyak 15 buah karya lontar dalam 15 judul. Masing-masing judul terdiri dari 15-20 lembar. Sayang, tak ada satu pun lontar yang tersisa di rumahnya. ”Semua dijual. Tamu-tamu asing kebanyakan memerlukan lontar.” Ia ingat betul, karya terakhirnya dihasilkan tahun 2004 lalu yang dijual Rp 30.000. ”Tapi tulisan saya sudah jelek. Tidak bisa dibaca.”
Ia mengaku menyesal melihat minimnya perhatian anak muda sekarang terhadap sastra Bali. ”Kalau diarahkan, dan diberi kesempatan, anak-anak muda ABG sebenarnya bisa untuk melanjutkan. Tapi orang yang mau mengarahkan, tidak ada. Sekarang tidak ada yang memperhatikan. Manusianya yang memotivasi tidak ada. Tidak ada yang menyapa, tidak ada yang tersenyum. Seharusnya beri mereka kebebasan untuk membaca, menulis, dan mengerti.”
Aktivitasnya di Museum Gedong Kertya Buleleng yang dimulai 1965, berakhir 1995 saat ia mencapai masa pensiunnya. Namun itu bukan berarti kreativitasnya mandek di sana.Ia masih punya obsesi yang tidak mudah. ”Saya ingin nulis soal local genius. Misalnya ada Aceh, Bali, Jawa. Semuanya memiliki topik-topik yang sangat berharga. Ini mesti dikembangkan berupa karangan sebagai rumah kebudayaan. Jangan sampai rumah kebudayaan ambruk dengan tidak bisa memperjuangkan apa-apa yang diwariskan. Misalnya tentang jajanan untuk upacara. Jajanan upacara itu kan bermacam-macam. Ini bisa dijabarkan berupa karangan, disajikan misalnya dengan foto. Ini jajan matahari, jajan bulan, jajan naga, jajan barong. Lalu disajikan dengan cukup genius. Berupa buku yang lux. Dengan warna yang indah,”begitu angan Suwidja.
Tak hanya itu, ia juga ingin membahas kata demi kata di lontar dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, baru kemudian ingin diterjemahkan kembali dalam bahasa Inggris. Ia juga ingin menghimpun lakon-lakon drama gong dalam lontar. ”Dari dulu saya suka memburu lakon-lakon wayang. Sampai banyak tokoh yang meninggal, belum pernah ada yang bahas lakon drama gong.
Ia berharap, buku folio yang telah beberapa hari ini dipegangnya, berisi materi-materi tulisan dari kepalanya dengan bantuan sang menantu.”Kalau tangan saya yang kanan bisa dipakai lagi, segar. Bisa nulis lagi,” harapnya. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian Media Indonesia]

Penghargaan yang pernah diraih :

• Penghargaam Listibiya (Majelis Pertimbangan Kebudayaan) Propinsi, 1982
• Penghargaan Listibiya Kabupaten Buleleng, 1982.
• Penghargaan Pemerintah Provinsi Bali , 1998
• Penghargaan sebagai pembaca lontar Bali dari Departemen Agama, 1999
• Penghargaan Pemerintah Kabupaten Buleleng, 1999
• Penghargaan Sastra Bali dari Yayasan Rancage, 2001
---------------------------------------------------------------------------------------------


Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt
Berkat Suwidja, Sastra Bali Dikenal Dunia

I Ketut Suwidja adalah sosok luar biasa bagi sastrawan Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt. Lulusan Sastra Universitas Udayana yang melanjutkan pendidikannya di Australia ini, melihat Suwidja sebagai sosok yang punya peran besar dalam pengembangan bahasa Bali. Itu berkat berkat keaktifannya dalam penulisan dan transkripsi lontar-lontar Bali. Tak hanya transkripsi, ia juga kerap menerjemahkan lontar bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. ”Semua itu sangat berharga untuk pengembangan bahasa Bali sampai sekarang,”begitu Darma.
Suwidja juga membantu banyak peneliti muda dalam penelitiannya soal sastra Bali, seperti Peter Worsley (peneliti dari Australia) dan Hooykaas (peneliti Inggris). Kerjasamanya dengan Hooykaas, membuat transkripsi lontar ke dalam huruf latin, hingga kini meninggalkan jejak berupa tersebarnya buku-buku hasil transkripsi itu ke sejumlah perpustakaan dunia. Diantaranya di British Library (Inggris), perpustakaan University of Sydney (Australia) dan di sejumlah perpustakaan pribadi peneliti asing. Suwidja telah membuat sastra Bali dikenal luas di dunia.
Sebagai orang Bali, Suwidja tak hanya tahu bahasa Bali dan banyak baca lontar. Ia juga mencipta sejumlah karya sastra Bali modern, seperti puisi berbahasa Bali dan puisi liris. Jasanya yang penting, yakni menerjemahkan puisi bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali. Puisi yang diterjemahkan waktu itu adalah karya Boris Pasternak yang berjudul angin. ” Itu terjemahan pertama puisi asing ke dalam bahasa Indonesia. Tahun 70-an sudah dilakukan. Ini satu langkah percobaan yang berani. Padahal konsep bahasa Inggris dan Bali jaraknya jauh. Tapi pak Suwidja bisa,”tambah pria kelahiran 1961 ini.
Suwidja bagi Darma bisa dilihat sebagai kamus sastra Bali kuno dan tradisional. ”Dia tahu seluk beluk naskah kuno. Apa yang kita tanya, dia pasti tahu. Dia rajin nulis. Tidak saja ketika muda, tapi juga masa sekarang. Walau sakit, vitalitas untuk mencipta tetap tinggi.”
Darma sendiri mulai mengenal sosok Suwidja di tahun 1980-an, saat masih berstatus mahasiswa. ”Saya baca tulisannya tentang sastra Indonesia, sastra Bali, dan tulisan di koran,”tutur Darma. Kekagumannya terutama pada kerendahan hati Suwidja yang seperti menerapkan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Suwidja merupakan sosok sastrawan serba bisa. Ia bisa menulis aksara Bali, sastra Bali tradisional, hingga sastra modern. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media Indonesia]

Tidak ada komentar: