Google
 

Rabu, 09 Februari 2005

Teman-Teman Saya Sudah "Lewat"

Ketika Seorang Bekas Pecandu Menemukan Kesadarannya ........

“Sejak menginjak masa remaja, saya telah terjebak dalam pergaulan yang salah. Berawal dari hanya minum minuman keras, saya terperangkap dalam jerat narkoba. Itu terjadi hanya beberapa bulan setelah tamat dari SMA di Denpasar. Salah seorang teman mengenalkan saya dan teman lainnya pada heroin. Kami biasa menyebutnya PT (putaw).

Ketika itu, tahun 1993, saya tak tahu barang apa itu. Karena gratis, saya pakai saja setiap PT yang saya dapat. Namun seminggu kemudian, saya baru merasakan hal aneh. Saya ketagihan. Bila tak menggunakannya, tubuh terasa sakit luar biasa. Sejak itu pula, saya rutin menggunakan barang haram itu. Tapi tak lagi gratis. Saya harus membelinya, saat itu harganya Rp 10 ribu per paket. Saya juga mulai memvariasikan PT dengan beragam jenis narkoba lain seperti shabu-shabu, ineks, hingga ganja.

Pelan tapi pasti, hidup saya makin berantakan. Prestasi kerja di sebuah perusahaan tempat saya bekerja terus menurun hingga akhirnya saya putuskan untuk berhenti. Beberapa kali saya bekerja, beberapa kali pula saya harus melepaskan pekerjaan itu. Ketergantungan saya pada narkoba membuat konsentrasi kerja saya terganggu. Saya bahkan harus selalu memakai narkoba, jenis apapun, setiap kali akan bekerja. Langkah maju dan mundur yang terus saya hadapi, membuat saya bosan. Hingga akhirnya saya putuskan untuk tak lagi bekerja pada tahun 1997.
Tidak bekerja memberi saya masalah baru. Saya tak lagi punya penghasilan yang bisa dipakai membeli narkoba. Satu per satu barang milik sendiri saya jual untuk modal. Sejumlah pakaian yang lengket di badan juga terpaksa dilepas hanya untuk dapat barang itu. Tak lama, barang-barang pribadi saya amblas. Langkah saya makin meluas dengan mengambil barang-barang milik keluarga. Perhiasan orang tua dilemari saya curi, demikian juga sejumlah peralatan elektronik. Setelah semua barang di rumah amblas, saya pun tak punya pilihan lain. Tindakan kriminal jadi satu-satunya pilihan. Masuk ke rumah-rumah orang untuk mencuri, hingga menjadi pengedar. Tidak ada uang, sementara kadar narkotik yang saya butuhkan semakin besar, membuat saya beralih dari hanya menghisap menjadi menggunakan jarum suntik.

Tahun 1998, tingkah polah saya ketahuan keluarga. Marah, jelas. Bolak balik saya dibawa ke sejumlah dokter. Bersamaan dengan itu, saya juga bolak balik memakainya. Keluarga kemudian memutuskan mengirim saya ke sebuah pesantren di Jember Jawa Timur. Setahun saya di sana dan menjadi orang bersih, meski awalnya sempat kesakitan.

Mungkin karena yakin saya telah jauh dari narkoba, saya pun diizinkan kembali ke Bali. Namun saat baru menginjakkan kaki di Pelabuhan Gilimanuk, saya merasakan kangen berat dengan barang-barang haram itu. Tiba di Denpasar, saya langsung ke tempat teman, kembali memakai PT, dan kembali mengedarkan.
Setelah beberapa kali bertemu dengan petugas lapangan sebuah LSM narkoba, saya akhirnya punya keinginan untuk berhenti. Namun mungkin karena masih punya barang, keinginan itu terkalahkan. Pada 2000, saya putuskan untuk masuk tempat pemulihan LSM itu, Yayasan Hatihati. Namun karena saat itu belum ada program sama sekali, saya kembali akrab dengan cimeng, sabu, minum. Dengan sombong saya katakan kalau saya tak pakai putaw. Tapi saya jatuh lagi. Tak berapa lama, saya sempat tertangkap polisi. Beruntung polisi membebaskan saya karena tak ada barang bukti. Namun keesokan harinya, polisi kembali menangkap saya meski kemudian melepaskan saya lagi karena alasan yang sama. Dua kali tertangkap, rupanya membuat saya cukup jera. Saya pikir, ini mungkin peringatan yang diberikan Tuhan. Saya pun masuk lagi ke tempat pemulihan.

Tiga bulan melewati masa pemulihan, saya dipercaya menjadi relawan di lembaga itu. Saya bahkan menjadi koordinator divisi pemulihan di lembaga itu, sebelum akhirnya saya bersama teman-teman bergabung dengan Yayasan Mata Hati. Hingga kini, posisiku masih sama, koordinator divisi pemulihan.

Akhirnya, saya benar-benar lepas dari jeratan narkoba. Bukan hanya itu, saya juga bertekad membantu teman-teman lain melepaskan diri dari barang itu. Meski kadang sugesti untuk memakai narkoba masih muncul, saya selalu mencoba mengendalikannya. Saya sadar, kalau saya memakai kembali barang itu, hidup saya juga akan kembali berantakan. Makanya kini saya bergaul dengan sesama pecandu yang sudah bersih, tanpa bermaksud menghindar dari teman-teman lama. Lagi pula sejumlah teman lain seangkatan saya kini telah “lewat” gara-gara narkoba. [Seperti Diceritakan kepada Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 1, Februari 2005]

Tidak ada komentar: