Google
 

Minggu, 13 Februari 2005

Tebing Diincar, Warga Seberang Gusar

Dalam beberapa tahun terakhir ini, trend perkembangan pariwisata cenderung mengarah ke daerah-daerah pedesaan, terutama tebing-tebing sungai yang menawarkan nuansa tenang dan nyaman dengan view yang menawan. Sebagaimana yang pesat berkembang di kawasan Ubud dan sekitarnya. Sederet hotel berbintang kini telah bertengger di sepanjang tebing Sungai Campuhan, Sungai Ayung maupun Sungai Petanu. Namun, hal tersebut belum dibarengi dengan langkah antisipatif dari pemerintah, sehingga kehadiran para investor tersebut justru memicu permasalahan baru dan kerap memicu konflik antara investor dengan warga masyarakat setempat, terutama di seberang tebing. Mengapa?

KONFLIK yang terjadi antara masyarakat dengan manajemen Hotel Alila di Payangan, Ubud, Gianyar, atau pun konflik antara Maya Resort, Ubud beberapa waktu lalu, merupakan beberapa contoh kasus, yang menggambarkan betapa 'view' merupakan potensi konflik yang cukup besar. Gara-gara ketidakpuasan masyarakat atas kontribusi yang diterima dari penikmat view (pihak hotel), konflik pun sempat tersulut. Masalah seperti ini dapat terjadi dimana pun dan kapan pun.
Kasus hotel Alila memang berhasil diselesaikan dengan kesepakatan yang dibuat antarkedua belah pihak yang bertikai. Meski demikian, menurut pelaku pariwisata, Yos WK. Amertha permasalahan tersebut tidak bisa hanya diselesaikan melalui kesepakatan. Yos menilai perlu dibuat sebuah landasan hukum yang secara tegas mengatur permasalahan tersebut. Sebuah aturan, apapun bentuknya, mutlak diperlukan untuk mengatur hubungan masyarakat dengan investor.
Kesepakatan yang dihasilkan antara masyarakat dengan investor, tidak bisa menjadi parameter bahwa konflik telah selesai. Pada banyak kasus, investor juga seringkali berada di posisi tawar yang lemah. Investor umumnya 'terpaksa' sepakat untuk menghindari anarkhisme massa. Selain itu, masih ada kemungkinan munculnya tuntutan yang lebih besar kepada pengusaha dalam waktu-waktu yang akan datang. Artinya, potensi konflik itu masih akan tetap terpelihara selama tidak ada landasan hukum tegas atas hal itu. Tanpa aturan yang jelas, potensi konflik itu akan membuat iklim investasi di Bali semakin tidak kondusif bagi investor asing.
Untuk menghindari konflik dengan masyarakat, pemerintah harus membuat tata ruang yang jelas bagi kegiatan investasi. Selama ini, hampir seluruh wilayah di Indonesia cenderung meremehkan keberadaan tata ruang. Padahal tata ruang sangat penting untuk menampung kepentingan semua stakeholder, baik industri, petani, dan lainnya.
Keberadaan aturan tata ruang, perlu dibuat untuk menghindari benturan langsung yang frontal, terutama yang bersifat horisontal (dengan masyarakat).
Penyusunan tata ruang juga harus memuat seluruh kepentingan stakeholder. "Biar tidak ada yang dirugikan, tata ruang itu harus memuat seluruh kepentingan stakeholder. Jadi, waktu menyusun tata ruang, harus cari masukan dari semua pihak," tegasnya. Tata ruang itu pun harus direvisi setiap lima tahun sekali sehingga tetap relevan.
Khusus untuk kontribusi dana yang selama ini banyak dituntut masyarakat, pihaknya menilai cukup diatur melalui pajak dan retribusi. Kedua bentuk pungutan negara itu seharusnya telah cukup untuk dikembalikan ke masyarakat. Dikatakan, semua bentuk pembayaran seharusnya memiliki landasan hukum yang jelas. Kesepakatan yang seringkali dibuat antara investor dengan masyarakat untuk pembayaran dana tertentu, selama ini tak pernah punya landasan hukum. "Kesepakatan itu seharusnya punya pijakan hukum. Keliru kalau itu dibiarkan begitu saja," tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPD Putri Bali, Ketut Nuryasa, juga mengakui perlunya Perda guna menghindari konflik-konflik tersebut. Menurutnya, komunikasi saja tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan jika tidak ada landasan hukum atas permasalahan itu.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Bali, Gde Nurjaya. Selain masalah komunikasi, konflik itu juga terjadi akibat belum adanya ketentuan hukum yang mengatur tentang lingkungan. Namun untuk menuangkan masalah lingkungan ke dalam suatu konsep hukum, menurutnya sangat sulit. Meski ada nilai-nilai eksternalitas yang mendukung pembuatan aturan itu, namun dalam teorinya masih sulit direalisasikan. Pasalnya, belum ada hal-hal tertentu yang bisa dijadikan parameter untuk menentukan bentuk aturan tersebut.
Untuk penerapan pajak lingkungan misalnya, belum ada dasar perhitungan tepat untuk menentukan jumlah pajak yang bisa dikenakan. "Dulu pernah berkembang wacana pajak lingkungan. Setiap tamu yang melihat lingkungan, harus bayar pajak. Tapi berapa besar? Penjabaran itu yang perlu dikaji lebih jauh dalam bentuk satu aturan hukum. Tapi harus jelas obyek dan subyeknya," tegas Nurjaya. Meski sulit, Nurjaya mengakui tetap ada kemungkinan untuk pembuatan Perda yang mengatur 'view', termasuk kontribusinya terhadap masyarakat sekitar. Namun diperlukan waktu bertahun-tahun untuk merealisasikannya. Karenanya, sosialisasi dan komunikasi yang lebih intens oleh investor dengan masyarakat sekitar, merupakan jalan penyelesaian terbaik untuk jangka pendek. "Sekarang ini yang terbaik untuk dilakukan adalah negosiasi,"tegasnya. erv

Masyarakat Lokal Jadi Sapi Perahan

BANYAKNYA konflik kepentingan yang terjadi antara investor dengan masyarakat lokal, diperkirakan terjadi akibat sistem pembagian pendapatan pajak yang tidak mengena ke masyarakat. Menurut salah seorang praktisi pariwisata Yos WK. Amertha, masyarakat lokal umumnya tidak merasakan manfaat langsung dari keberadaan investor di wilayahnya. Padahal pengusaha sudah membayar angka yang cukup besar untuk berbagai jenis pajak.
Selain komunikasi, pemerintah diharapkan membenahi sistem pembagian pajak yang diterima, untuk meminimalisasi gesekan negatif antara masyarakat dengan investor. Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Bali, Jaya Susila menjelaskan, konflik umumnya terjadi karena asyarakat lokal seringkali merasa hanya menjadi sapi perahan dari para pengusaha. Hal itu akibat tidak ada satu pun kontribusi resmi yang secara langsung diterima masyarakat setempat. Masyarakat tidak berkesempatan menikmati secara langsung pembagian pendapatan pajak yang dibayarkan pengusaha.
Kondisi itu tak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga pengusaha. Pengusaha umumnya harus memberikan dana yang tidak sedikit untuk pembangunan masyarakat di wilayah tersebut. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan investor menjadi sangat tinggi. Iklim usaha di Bali pun makin tidak kondusif. Dikhawatirkan, calon investor yang hendak masuk ke Bali akan makin menjauhi Bali. "Masalah ini harus segera dibenahi karena telah menyebabkan iklim usaha makin tidak kondusif," tegasnya.
Perubahan sistem pembagian pajak pusat maupun daerah, dinilai mendesak untuk dilakukan. Pajak yang dibayarkan pengusaha setempat, harus dikembalikan ke masyarakat di tingkat banjar atau desa adat. Dengan demikian, masyarakat setempat akan merasakan dampak keberadaan investor di wilayahnya secara langsung, tanpa harus mengajukan segala macam proposal ke investor bersangkutan. Kondisi itu juga akan sangat membantu meringankan beban ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung pengusaha. "Perlu political will dari penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Karenanya, pajak harus dikembalikan ke masyarakat di tingkatan terkecil," jelas Jaya Susila. Erv

Komunikasi, Kunci Permasalahan

Konflik antara investor dengan masyarakat sekitar, bisa dihindari dengan komunikasi yang baik diantara keduanya. Meski ada yang menilai pentingnya penyusunan aturan tentang 'view', namun beberapa pelaku pariwisata justru melihat komunikasi sebagai kunci penyelesaian masalah.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Gde Wiratha menilai, kunci permasalahan ada pada bagaimana kemampuan owner, manajemen dan staf hotel untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat setempat. Bila komunikasi antarpihak-pihak tersebut bisa dilakukan dengan baik, pihaknya optimis konflik-konflik tersebut tidak akan terjadi.
Hal senada juga disampaikan Sekjen Bali Tourism Board (BTB), IGN Ray Suryawijaya. Menurut Ray, penyebab terjadinya konflik umumnya karena ketidakpuasan dari masyarakat atas keberadaan usaha hotel di wilayahnya. Masyarakat merasa manfaat yang diterima dari hotel ternyata kurang. Namun di satu sisi, pihak pengusaha merasa sudah melakukan kewajibannya. Selain merekrut masyarakat setempat, pengusaha juga merasa telah memberi peluang usaha bagi masyarakat setempat, seperti peluang membangun usaha art shop.
Segala ketidakpuasan itu, jelas Ray, pada dasarnya dapat diselesaikan lewat komunikasi yang baik. Tak hanya setelah usahanya berjalan, sosialisasi dengan masyarakat seharusnya dilakukan jauh sebelum usahanya berdiri. "Sebelum membangun pun, seharusnya sudah ada sosialisasi dengan masyarakat. Jadi antara masyarakat dengan investor jadi 'win-win'. Tidak ada yang merasa dirugikan," tegasnya.
Ray menilai aturan baku untuk permasalahan 'view' itu tidak perlu dibuat. Terlebih sudah menjadi kewajiban bagi hotel-hotel di Bali untuk menerapkan konsep 'tri hita karana'. Namun ia tidak menutup kemungkinan bila aturan itu dibuat sesuai 'Desa Kala Patra'. Artinya, aturan dibuat sendiri oleh desa pakraman setempat dan diperuntukkan bagi setiap investor yang akan masuk ke wilayah tersebut. Aturan dimaksud bisa mencakup kontribusi dana ke desa pakraman ataupun penyerapan tenaga kerja dari masyarakat setempat. Dengan catatan, rekrutmen tenaga kerja tersebut tetap dilakukan sesuai kualifikasi pendidikan dan kemampuan yang dimiliki. [Komang Erviani / pernah dimuat di Harian WARTA BALI]

Tidak ada komentar: