Google
 

Selasa, 15 Januari 2008

Industri Tahu Tempe Terancam Bangkrut

DENPASAR (SINDO) – Kenaikan tajam harga kedelai, membuat sekitar 83 unit industri tahu dan 109 unit industri tempe di Bali terancam bangkrut. Memperkecil ukuran produk jadi strategi andalan untuk tetap eksis meraih pasar.

Harga kedelai yang melambung, hingga kemarin belum beranjak turun. Menurut salah seorang pedagang kedelai kering di Pasar Badung, Agung Dewantara, harga kedelai kering impor masih seharga Rp. 8.000 per kg. Padahal dulu, harga kedelai impor rata-rata hanya Rp. 4.000 per kg. Menurut Agung, kenaikan terjadi sejak sekitar dua bulan lalu. Sementara Agung tidak menyediakan kedelai lokal karena minim peminat.“Sejak dua bulan, harganya nggak turun-turun. Saya juga nggak tahu persis kenapa,” ujarnya.

Tingginya harga kedelai, membuat industri pembuatan tempe dan tahu terpuruk. Iwan, salah satu pembuat tahu di Denpasar, mengaku sangat dipusingkan oleh kenaikan harga kedelai. “Lha wong dulu cuma Rp. 4.000, sekarang Rp. 8.000 per kg. Siapa yang nggak pusing,” keluhnya.

Akibat kenaikan harga kedelai, Iwan terpaksa menaikkan harga eceran tahu buatannya dari Rp. 1.500 per bungkus menjadi Rp. 2.000 per bungkus. Tak cukup dengan menaikkkan harga. Ia juga memperkecil ukuran tahu buatannya menjadi hanya dua per tiga dari ukuran biasa. Jumlah tahu dalam satu bungkusnya juga dikurangi dari enam potong, menjadi hanya lima potong.

Strategi memperkecil ukuran, menurut Iwan, dilakukan agar masyarakat tidak makin merasa terbebani. “Sebab kalau ukurannya tetap seperti dulu, harganya harus naik dua kali lipat. Takutnya nggak ada yang mau beli,” terang Iwan.

Salah seorang pedagang tahu tempe di Pasar Badung, Maemunah, mengaku banyak mendapat protes dari pelanggan terkait kenaikan harga tahu tempe. Apalagi, ukuran tahu tempe yang dijualnya kini diperkecil. “Banyak sih yang protes. Tapi dulu. Sekarang sudah banyak yang ngerti kalau harga kedelai mahal,” tambahnya.

Kepala Sub Dinas Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, Bagus Ketut Wijaya, mengakui sejumlah industri tahu tempe di Bali sedang terancam bangkrut. Pasalnya, sebagian besar industri tahu tempe di Bali sangat tergantung pada kedelai impor karena alasan kualitas. Padahal, lonjakan paling tinggi sedang terjadi pada kedelai impor.

Dijelaskan Wijaya, kebutuhan masyarakat Bali terhadap kedelai cukup tinggi. Total kebutuhan kedelai di Bali diperkirakan mencapai 20.909 ton per tahun. Bila dirinci, kebutuhan kedelai untuk tempe dan tahu tergolong paling tinggi, yakni masing-masing 8.688 ton dan 5.705 ton. Sementara kebutuhan kedelai kering dan kedelai tauge masing-masing hanya 4.927 ton dan 1.589 ton.

Padahal total produksi kedelai Bali pada 2007 lalu hanya sebanyak 10.844 ton. Sisanya sangat tergantung pada kiriman kedelai impor. Ironisnya, industri tahu tempe seratus persen tergantung pada kedelai impor. “Katanya kalau nggak pakai kedelai impor, hasilnya jelek,” ujar Wijaya.

Namun pihaknya mengaku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengendalikan harga kedelai. Pasalnya, kedelai merupakan produk bebas yang harganya diatur sesuai mekanisme pasar. “Kami tidak bisa mengatur harga kedelai. Jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya pasrah. [ni komang erviani]


Kebutuhan Kedelai di Bali
Kedelai Tempe 8.688 ton
Kedelai Tahu 5.705 ton
Kedelai Kering 4.927 ton
Kedelai Tauge 1.589 ton
Total 20.909 ton

Pasokan Kedelai Bali
Produksi Kedelai Lokal Bali 10.844 ton
Impor 10.065 ton
Total 20.909 ton

Data diolah dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali

Tidak ada komentar: