Google
 

Rabu, 16 Januari 2008

Sulit, Bangun RSH di Bali

Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RSH), rumah bersubsidi bagi masyarakat tidak mampu, sulit diwujudkan di Bali. Harga tanah yang melambung membuat banyak pengembang enggan membangun rumah seharga Rp. 49 juta tersebut. Minimnya dukungan pemerintah daerah menjadi penghambat.

Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APPERSI) Bali, I Ketut Sugita, jumlah RSH yang berhasil dibangun di Bali selama 2007 hanya mencapai sekitar 300 unit. RSH tersebut tersebar di wilayah kabupaten Tabanan, Negara, dan Buleleng.Rata-rata luasnya sekitar 60 – 80 meter persegi.

Sugita menjelaskan, pembangunan RSH di Bali bukan hal mudah. Pasalnya, sebagian besar perusahaan pengembang di Bali enggan membangun rumah mungil dengan harga hanya Rp. 49 juta. Harga tanah yang cukup mahal diakui menjadi salah satu kendala dari para pengembang.

Selain itu, Sugita menilai minimnya dukungan pemerintah daerah menjadi kendala lain yang cukup mendasar. Upaya pemerintah daerah untuk menyediakan rumah murah bagi masyarakat di daerahnya, dinilai masih minim. Hal itu terbukti dari sulitnya mencari tanah untuk lokasi pembangunan RSH, serta urusan birokrasi perizinan yang masih dibuat berbelit-belit.

Dijelaskan Sugita, RSH merupakan program rumah bersubsidi yang konsepnya harus dikoordinasikan bersama antara pengembang, pemerintah daerah, dan perbankan. Pasalnya, RSH dibangun di atas tanah negara yang tak terpakai untuk kemudian dijual kepada masyarakat umum yang tidak memiliki rumah. Subsidi seharusnya diberikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu, pembeli RSH juga berhak atas subsidi bunga bank. Dalam prosesnya, pembeli RSH hanya wajib membayar bunga bank selama dua tahun pertama. Selanjutnya di tahun ketiga, wajib membayar sebagian pokok dan bunga bank senilai 11 persen saja.

Namun dalam praktiknya, dukungan pemerintah dirasakan Sugita sangat minim. Dukungan pemerintah daerah dinilai sangat minim. Pihak bank pemerintah pun tak banyak merespon program tersebut, kecuali Bank Tabungan Negara. “Padahal seharusnya semua bank pemerintah melakukan program ini,” keluh Sugita.

Meski demikian, upaya membangun RSH menurutnya masih bisa diwujudkan bila ada keinginan kuat dari semua pihak. ”Kalau kita tidak peduli, siapa yang akan menyediakan rumah untuk masyarakat kecil. Burung aja punya rumah, masak kita manusia nggak punya,” tegasnya.

Ketua Real Estate Indonesia (REI) Bali, Putu Agus Suradnyana, mengakui sulitnya membangun RSH di Bali. Apalagi untuk wilayah Denpasar Badung yang harga tanahnya kini sudah melambung hingga rata-rata ratusan juta rupiah per are. “Program RSH mungkin cuma bisa di Kabupaten Jembrana dan Buleleng,” ujarnya.

Harga Rp. 49 juta per unit RSH dinilai Agus sudah sangat tidak visible dengan harga tanah di wilayah Bali. Dengan harga tersebut, Agus menilai RSH hanya bisa dibangun di tanah seharga Rp. 4 – 6 juta per are. “Susah sekali cari tanah harga segitu sekarang ini. Rata-rata di luar Denpasar sudah Rp. 10 – 15 juta per are,” keluhnya.

Dikatakan, REI mengusulkan agar plafon sebesar Rp. 49 juta dinaikkan menjadi Rp. 72 juta. Nilai tersebut dinilai lebih logis untuk kondisi Bali. “Kalau tidak dinaikkan jadi Rp. 72 juta, saya pesimis RSH bisa dibangun di Bali,” ujar Anggota DPRD bali itu. [ni komang erviani]

Tidak ada komentar: