Google
 

Jumat, 20 Oktober 2006

Ed-Eddy & Residivis Bersenandung, Polisi Tersinggung

Grup band E&R Bali terbelit dakwaan penghinaan. Lirik Lagunya meneriakkan kata ”anjing” setelah menyebut ”polisi”. Sudah berkali-kali dilantunkan. Baru diperkarakan justru saat konser amal.


“ Badan kekar, kumis melintang
Gayanya hey man, melebihi setan
Terang saja nyaliku tertantang
Tak pakai tunggu, langsung kuserang

Rambut panjang, dicat kuning kampungan
Berkaca hitam, padahal sudah malam
Kupikir preman, ternyata bukan
Kupikir rocker, ternyata polisi

Reff: Anjing !!!
Kukira preman
Anjing !!!
Ternyata polisi

Simpan borgol itu, jangan penjarakan aku
Cuma kebawa emosi
Siapa suruh pintar menyamar
Sampai-sampai kamu kusambar ”

Bait demi bait lagu berjudul “Anjing” itu, penuh semangat dilantunkan Sofian Hadi (32 tahun) dengan iringan hingar bingar musik rock alternatif, 1 Juli lalu. Ed-Eddy, sapaan akrab Sofian, bersama empat personil grup band “Ed-Eddy & Residivis (E&R), ketika itu tampil meramaikan Konser Amal Musik Kemanusiaan “Dari Bali untuk Jogja”. Lagu Anjing menjadi lagu kelima sekaligus lagu terakhir yang ditampilkan E&R di ajang yang sukses mengumpulkan dana Rp 10juta bagi korban gempa Yogyakarta itu.

Teriakan riuh ribuan penonton di Lapangan Sepakbola Pegok Sesetan Denpasar malam itu, awalnya membuat lega Ed-Eddy sang vokalis bersama Teguh Setia Budi alias Igo pada gitar, Gede Bagiarta alias Joe pada bass, Deni pada gitar, dan Agung Oka pada drum. Respon positif para penonton, menjadi indikasi rasa puas mereka terhadap penampilan E&R dalam ajang gelaran Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Perguruan Sandhi Murti, dan Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi Fakultas Hukum Universita Udayana itu.

Tak disangka, penampilan E&R malam itu ternyata membuat tersinggung aparat kepolisian yang bertugas di lokasi konser. Usai acara, sejumlah aparat kepolisian dari Polsek Denpasar Selatan, mencari para personil E&R. “Malam itu saya dihubungi teman. Katanya ada polisi yang nyari kami,” cerita Igo, pemain gitar yang sekaligus pencipta lagu “Anjing”. Malam itu juga, mereka berinisiatif mendatangi Polsek Denpasar Selatan untuk mengklarifikasi maksud lirik lagu tersebut. Selama 24 jam, mereka menjalani pemeriksaan di Mapolsek. Dua personil E&R, Ed-Eddy dan Igo, akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa.

Dalam persidangan awal di Pengadilan Negeri Denpasar, 4 Oktober lalu, Tim jaksa Ridwan Kadir, SH dan Suparta Jaya, SH, mendakwa Ed-Eddy dan Igo dengan pasal 207 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penghinaan lembaga negara dengan ancaman hukuman satu tahun 6 bulan penjara. “Terdakwa telah secara bersama-sama dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan, menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, yakni Kepolisian Republik Indonesia,” begitu jaksa dalam surat dakwaannya.

Dalam surat dakwaan yang sama, juga dikutip lirik lagu yang menurut jaksa mengandung unsur penghinaan, yakni “Kukira Preman, Ternyata Polisi Anjing!!!”. “Terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy bersama terdakwa sTeguh Setia Budi Als. Igo dengan sengaja menyanyikan lirik lagu tersebut secara berulang-ulang dengan menekankan pada kata-kata Polisi Anjing. Bahkan terdakwa Sofian Hadi Als. Ed-Eddy sambil memegang microphone mengarahkan microphone ke arah penonton dengan tujuan mengajak penonton ikut bernyanyi, namun dibalas dengan teriakan uuuuuh dari peninton. Hal ini membuat para anggota polisi yang mengamankan konser tersebut merasa terhina karena mendengar lirik lagu yang dinyanyikan oleh para terdakwa,” demikian diungkap dalam surat dakwaan.

Mendengar dakwaan jaksa, di hadapan majelis hakim yang diketuai Daniel Palinti, SH, Igo mengajukan protes atas pemenggalan lirik lagu yang salah. Pria yang juga personil grup band Telephone itu ngotot meminta waktu untuk bisa menyanyikan lagu versi aslinya. “Pak hakim, tolong berikan kesempatan kepada kami untuk menyanyikan lagu yang oleh pak jaksa dinilai menghina. Ini penting agar semuanya menjadi jelas,” ujar pria kelahiran Bandung itu.

Namun Jaksa Supartha Jaya langsung merespon permintaan Igo. “Interupsi majelis hakim. Seorang terdakwa tidak dibenarkan menyampaikan sesuatu selain menyampaikan eksepsi atas dakwaan jaksa. Itu pun harus dilakukan pada waktunya,” tegas Suparta disambut sorak para rekan dan penggemar Ed-Eddy dan Igo yang hadir di ruang sidang, yang menamakan diri sebagai Aliansi Seniman Bali Bersatu.

Di luar persidangan, Igo dan Ed-Eddy mengaku tidak pernah menyangka lagu mereka bakal dipermasalahkan. Padahal, lagu Anjing dibuat sebagai sebuah pesan sosial agar masyarakat tidak cepat berprasangka buruk. Dalam lagu yang diciptakannya tengah tahun 2005 lalu itu, Igo bermaksud menggambarkan seorang polisi yang tengah melakukan penyamaran, berpenampilan seperti preman. Karena diduga preman, ia yang terbawa polisi lantas memukul si polisi. “Sama sekali tidak ada niat menghina polisi. Hanya mengimbau orang-orang agar tidak mudah emosi. Justru kami ingin memuji kinerja polisi yang sukses melakukan penyamaran. Kata anjing hanya ekspresi kaget dan kesal pada diri sendiri,” jelas Igo.

Igo menyesalkan kalau hasilnya berkreasi dipasung dengan pasal-pasal hukum. Langkah-langkah hukum dari Polsek Denpasar Selatan itu, menurutnya merupakan bentuk mengekang kreativita seniman. ”Ini kan sebuah pentas seni. Framenya adalah karya seni. Ini hanyalah sebuah lirik. Tulisan yang bisa dinyanyikan, difilmkan. ”Malah lagu-lagunya Iwan Fals, lebih dari ini,” ungkap Ed-Eddy menyambung, sembari melantunkan sebait lagu Stasiun Kereta karya musisi legendaris Indonesia itu. ”Di depan ada Polantas, wajahnya begitu beringas, tangkap aku. Tawar menawar harga pas, tancap gas.”

Namun jaksa Ridwan Kadir tak begitu saja menerima. Kepada GATRA, Ridwan menegaskan bahwa dakwaan jaksa bukan tanpa alasan. Selain ada ketersinggungan dari pihak kepolisian yang diwakili Kapolsek Denpasar Selatan, juga ada 5 saksi di lokasi yang memperkuat dakwaan. Empat saksi mengaku mendengar langsung kalimat makian kepada polisi. Sementara satu orang saksi mengaku tidak mendengar langsung, melainkan hanya mendengar cerita teman. Tak cuma itu, ada juga kesaksian memberatkan dari saksi ahli, Dosen Sastra Universitas Udayana, I Nengah Sukartha. Menurut Ridwan, saksi ahli dengan tegas menyebut bahwa lagu anjing memang benar mengandung penghinaan terhadap kepolisian dan lirik ”Kukira preman ternyata polisi anjing” dapat diartikan bahwa polisi sama dengan anjing.

Sikap jaksa yang menolak terdakwa menyanyi di pengadilan, jelas Ridwan, sangat beralasan. ”Karena belum waktunya. Dalam susunan acara persidangan kan baru boleh menyampaikan eksepsi, tanggapan terhadap dakwaan. Kalau tiba saatnya, ada agenda pembelaan, ya silakan,” Ridwan beralasan. Menghargai kreativitas seni, bagi Ridwan bukan menjadi alasan menyinggung pihak lain. ”Kreasi sih boleh sepanjang tidak merugikan orang lain,” jelas Ridwan yang mengaku belum pernah menemukan kasus serupa. Melanjutkan kasus dari kepolisian yang sampai di kejaksaan, jelasnya, merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Karenanya, ia tak memandang apakah persoalan ini krusial atau tidak. ”Kita hanya menjalankan tugas. Tentang bagaimana pembuktiannya, kita uji di pengadilan. Apakah nanti hakim sependapat dengan jaksa atau tidak, kita lihat nanti,” tambahnya.

Pengacara Igo dan Ed-Eddy, Agus Samijaya, SH, menilai tuntutan jaksa terlalu berlebihan dan mengada-ada. Menurutnya, lagu Anjing seharusnya dipandang sebagai sebuah kesatuah yang utuh, di mana ada dedikasi anak muda, para seniman musik, menggunakan keahliannya untuk peduli pada sesama di Yogyakarta. Terlebih banyak pihak yang memandang lirik lagu Anjing hanya sepenggal-sepenggal. ”Lirik lagu itu seharusnya diteliti lebih jauh secara utuh. Kata Anjing hanyalah bentuk penyesalan, pengumpatan terhadap diri sendiri. Tetapi kalau dilihat sepenggal-sepenggal, bisa salah mengartikan. Malah jangan-jangan mereka tidak melihat dan mendengar langsung,” keluhnya.

Agus juga menyesalkan kesaksian memberatkan dari aksi ahli. Tanpa mau memperkecil arti saksi ahli, Agus menilai keberadaan saksi ahli angat subjektif. ”Sebenarnya tidak perlu saksi ahli. Orang awam saja bisa menilai. Masalahnya lagi, apa benar saksi ahli mendapat lirik lagu itu secara utuh,” Agus mempertanyakan. Makna sebuah kara, menurutnya, sangat relatif, terbatas pada ruang dan waktu. Ia mencontohkan seorang Papua yang menggunakan koteka di Papua, adalah sesuatu yang dianggap sangat menjunjung budaya. Tetapi ketika menggunakan Papua di Bali atau Jakarta, maka responnya akan berbeda. ”Begitu juga kata-kata dalam lagu. Masalahnya adalah etis atau tidak. Konsep etika sendiri sangat relatif,” tegasnya. Bahkan kalaupun ada kalimat polisi anjing, perlu juga dilihat makna dibalik itu. ”Anjing pelacak yang jadi polisi kan juga ada,” tandasnya. Untuk membela kliennya, Agus mengaku akan menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang meringankan.

Reaksi keras pihak kepolisian terhadap lagunya, membuat heran Igo dan Ed-Eddy. Pasalnya, lagu itu sudah beberapa kali dinyanyikan di beberapa panggung. Salah satunya, panggung konser penolakan RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi di Kuta, beberapa bulan sebelum kejadian. Pada Desember 2006, lirik lagu itu juga sempat dimuat utuh oleh sebuah media lokal di Bali.
Gara-gara terjerat kasus hukum, Igo yang sekaligus manager E&R mengaku menunda rilis album pertama mereka. Pasalnya, lagu anjing masuk dalam sala satu dari 8 lagu di album yang sudah selesai masterring itu. Rencana awal, album itu akan dirilis sekitar Agustus atau September tahun ini. ”Kita tunggu dulu sampai masalah ini clear. Agar kita bisa fokus,” ujar pria yang telah menciptakan hampir 100 lagu itu.

Ed-Eddy, Igo, dan kelompok mereka E&R, tak pernah menduga kalau grup yang awalnya dibentuk sebagai bentuk kekaguman mereka kepada polisi, justru bermasalah dengan aparat penegak hukum itu. Ed-Eddy mengaku, ide penamaan Ed-Eddy & Residivis muncul dari kesenangan mereka menyaksikan Bang Napi di tayangan kriminal. Bahkan bang napi menginspirasi mereka hingga gambar napi diborgol menjadi simbol grup band E&R. Mereka tak pernah menduga, borgol itu justru kini mengancam mereka.

Meski begitu, Ed-Eddy dan Igo mengaku tak gentar untuk terus berkreasi. Keduanya berjanji akan terus berkarya. ”Karena pada prinsipnya, kita hanya menceritakan realita saja,” ujar Igo. Keduanya berharap kebebasan berkreasi bisa dihargai di negeri ini. [Komang Erviani / pernah dimuat di Majalah GATRA Edisi No. 48 Tahun XII, 18 Oktober 2006]

Kamis, 12 Oktober 2006

Bila Tak Ada Subsidi Lagi…

Subsidi penuh obat antiretroviral (ARV) untuk orang dengan HIV/AIDS (Odha), menyelamatkan ratusan nyawa. Apa jadinya bila subsidi dihapus?

Ketika jarum jam mendekati angka tujuh, Renti (33 tahun) dan Sumastika (34 tahun), lahap menyantap beberapa potong ubi rebus, hasil kebun mereka sendiri di wilayah Gerokgak, Buleleng, Bali. Dua buah pil menyusul masuk ke mulut mereka. “Sejak ada obat ini, rasanya lebih baik,” seloroh Renti dengan bahasa Bali logat Bali Baratnya yang kental.

Pil-pil itu memang telah menjadi bagian dari keseharian Renti dan Sumastika sejak lebih dari setahun ini, sejak hasil tes darah menyatakan keduanya terinfeksi HIV. Setiap hari, pukul tujuh pagi dan pukul tujuh malam, keduanya wajib meminum obat-obatan antiretroviral (ARV) itu.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Virus ini membuat pengidapnya sangat rentan terserang penyakit. Obat ARV berfungsi menghambat kerja-kerja enzim yang membantu perkembangbiakan virus dalam tubuh, sehingga perkembangannya dapat ditekan. Obat ARV tidak membunuh virus HIV, sehingga pemakaian obat tak boleh dihentikan. Jangankan putus obat, terlambat minum obat saja akan dapat berakibat fatal bagi pengidap HIV. Putus obat atau keterlambatan minum obat dapat membuat virus kebal terhadap obat tersebut dan justru makin kuat menggerogoti tubuh yang ditempatinya. Dengan kata lain, ARV harus dikonsumsi seumur hidup.

Renti dan suaminya menyadari betul bahaya yang mungkin timbul bila mereka terlambat minum obat. Karenanya, mereka selalu berupaya disiplin. “Nggak pernah terlambat minum obat. Kalau terlambat, paling hanya lima menit. Kalau terlambat atau putus minum obat, sekali saja nggak minum obat, obat itu nggak ada artinya. Makanya saya harus rutin minum. Karena masih ingin hidup,” ujar Renti polos.
Yang pasti, Renti tak mau lagi mengalami sakit seperti dua tahun lalu. Diare hebat sempat membuat perempuan yang tertular HIV dari suaminya itu, hanya bisa tertidur lemas selama hampir setahun. Cairan tubuh yang terus terkuras, ditambah selera makan yang tiba-tiba menghilang, menggerogoti badannya. Segala bentuk pengobatan dicoba. Mulai pengobatan medis, sampai pengobatan tradisional oleh balian (orang pintar) dekat rumah. Namun semuanya gagal, sampai akhirnya hasil tes menyatakan Renti positif terunfeksi HIV. “ Saya kira sudah tidak akan sembuh,” kenang ibu tiga anak itu.

Berkat obat ARV, Renti kini bisa menjalani hari-harinya seperti biasa. Mulai dari mengasuh ketiga anaknya, melakukan pekerjaan rumah, memberi makan ternak sapinya, bahkan mencari rumput pakan sapi ke perbukitan yang berjarak sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki.

Renti beruntung, ia tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendapat obat ARV. Setiap bulan, dua botol besar pil diterima Renti dan suaminya melalui staf Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), sebuah yayasan penanggulangan HIV/AIDS.
Sejak tahun 2005, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik gratis bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). ARV disalurkan melalui 25 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Di Bali, ARV disalurkan melalui Rumah Sakit (RS) Sanglah. Oleh Sanglah, obat tersebut juga didistribusikan ke sejumlah rumah sakit. Jadi, selain di RS Sanglah, ARV generik gratis juga bisa diakses di RS Kapal, RSU Singaraja, dan RSU Wangaya.

Catatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga Mei 2006, ada 216 Odha di Bali telah memanfaatkan ARV gratis. Dari jumlah itu, hingga kini hanya ada 142 Odha yang masih aktif menjalani terapi ARV. Selebihnya sudah meninggal dunia (32 orang), stop minum obat (3 orang), lolos dari follow up (26 orang), dan dirujuk keluar (13 orang).

Subsidi penuh terhadap obat ARV, tentu saja sangat membantu Odha seperti Renti dan suaminya. Renti tak terbayang kalau subsidi itu tiba-tiba dihapus oleh pemerintah. Maklum, kondisi ekonomi Renti pas-pasan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Renti kesulitan. Untuk kebutuhan nutrisi anak-anaknya, ia kini bergantung pada bantuan dari Bali Community Cares, sebuah komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan dan pendidikan. Setiap bulan ia menerima 15 kg beras, puluhan kaleng susu, dan 2 kg telur.

Ketua Pokja Care Support and Treatment (CST) Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, juga tak membayangkan bila subsidi dihapus. Yang jelas, penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu memastikan akan terjadi langkah mundur dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Subsidi ARV menurut Tuti telah membantu ratusan Odha menerima akses pengobatan yang layak. Pasalnya, sebagian besar Odha berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan. “Odha yang mampu, bisa dihitung dengan jari,” ujar perempuan asal Klungkung itu. Tuti masih ingat ketika tak ada subsidi ARV untuk Odha beberapa tahun lalu. Meski ARV sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2000, namun tak ada satu Odha pun yang saat itu berkesempatan minum obat jenis Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) itu. Penanganan Odha dilakukan seadanya. Bahkan obat untuk infeksi oportunistik pun (IO)—kondisi di mana gejala-gejala penyakit sudah tampak—, Odha masih harus membeli. “Jadi cuma satu dua orang saja yang bisa beli obat. Itu pun terbatas. Kadang kalau mereka sudah sakit beberapa kali, sudah nggak bisa beli obat,” kenangnya. Ketika itu, Tuti seolah menjadi terbiasa melihat kematian Odha. Odha umumnya hanya bertahan selama rata-rata 6 bulan sejak gejala penyakit mulai terlihat.

Baru pada Juli 2003, KPA Bali melakukan terobosan dengan membiayai terapi ARV. Dengan dana APBD Bali, obat ARV dibeli dari Kelompok Studi Khusus (Poldiksus) RSCM Jakarta sebagai satu-satunya lembaga penyedia ARV dalam negeri pada saat itu. Namun karena keterbatasan dana, hanya lima Odha yang bisa dibantu. Beruntung, komitmen lantas muncul dari pemerintah pusat dengan menyubsidi penuh pengobatan ARV bagi Odha sejak akhir 2005 lalu.

Dikatakan Tuti, subsidi ARV merupakan langkah penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. Tanpa subsidi, Tuti pesimis upaya peningkatan kualitas hidup Odha bisa berjalan efektif. Bila subsidi dicabut, seorang Odha harus menyediakan dana minimal Rp 300 ribu per bulan per orang. Itu belum termasuk dana untuk pemeriksaan CD4 (sel pembentuk kekebalan tubuh) yang harus rutin dilakukan setiap 6 bulan. Di awal terapi, Odha juga akan dibebankan biaya pemeriksaan fungsi hati dan foto torax yang bisa menghabiskan lebih dari Rp 250 ribu per orang. Selama ini, biaya untuk semua tes tersebut telah dibantu dengan dana dari Global Fund. “Kalau subsid-subsidi itu dihapus, ya... akan balik seperti dulu lagi,” ujarnya.

Sekretaris KPA Nasional, Nafsiah Mboi, secara tegas menyangkal adanya kemungkinan penghapusan subsidi ARV. Nafsiah menyebut subdisi ARV sebagai bagian dari komitmen jangka panjang pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dipaparkan secara gamblang dalam Komitmen Sentani pada 2004. Subsidi ini selain diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup Odha, juga untuk mengurangi stigma terhadap mereka. Dikatakan Nafsiah, stigma yang ada selama ini tak lepas dari anggapan kalau HIV tidak ada obatnya. Ini membuat banyak orang enggan melakukan tes.”Banyak orang berpikir, untuk apa saya tes. Toh, kalaupun ternyata kena HIV, tidak ada obatnya. Jadi orang berpikir, lebih baik tidak tes,” jelasnya. Dengan ketersediaan ARV dan kemudahan mendapatkannya, diharapkan kesadaran masyarakat untuk melakukan tes akan makin meningkat.

Subsidi penuh ARV, terbukti membuat makin banyak Odha mencari pengobatan. Sebagian besar diantaranya bahkan sudah kembali aktif menjalani kehidupannya. Karenanya, Nafsiah meyakinkan tidak akan terjadi pencabutan subsidi. “Kalaupun dana yang ada kurang, jatah untuk ARV tidak akan dikurangi. Yang penting, teman-teman yang terinfeksi tidak sampai tidak dapat obat,”tegasnya.
Renti dan ratusan Odha lain boleh lega dengan penegasan Nafsiah. “Kalau beli sudah nggak mampu. Kalau disuruh beli, biar lah saya mati. Saya pasrah,” ujar Renti sambil tertawa. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Rabu, 11 Oktober 2006

Vonis Rehab Pecandu, Pentingkah?

Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Dalam ayat 2 pasal yang sama, disebutkan juga bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sejak diundangkan dan berlaku pada 1 September 1997, belum pernah ada satu pun vonis hakim yang memberi hukuman rehab pada pecandu. Vonis rehab seperti sebuah vonis yang tabu bagi para hakim. Hukuman penjara menjadi satu-satunya pilihan yang diterapkan untuk memvonis para pecandu. Kebijakannya lebih pada lama masa tahanan.

Pentingkah vonis rehab bagi pecandu narkotika? Lalu kenapa tak ada satu pun hakim di negara ini yang pernah menjatuhkan vonis rehab? Simak pernyataan Wayan Yasa Abadhi, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang banyak menangani kasus narkotika, dan Denny Thong, Staf Ahli Badan Narkotika Provinsi (BNP) Bali.


Wayan Yasa Abadhi (Hakim PN Denpasar): Kita Juga Khawatir

Memang idealnya, kami memberi vonis rehab kepada pemakai. Apalagi keadaan di LP Kerobokan saat ini sudah tidak menguntungkan lagi. Di situ ada pengedar bahkan pengekspor. Kita juga khawatir kalau pemakai dimasukkan ke situ. Selama ini kami berusaha menjatuhkan pidana yang ringan kepada mereka.

Perlu diwacanakan ke depan, bagaimana dalam hal-hal khusus, pemakai direhabilitir saja. Sehingga kalau kita sudah masuk ke situ, harus disiapkan. Pemerintah harus betul-betul komit. Seperti Dinas sosial. Saat kasus narkotika sudah meningkat seperti sekarang, kalau dalam jangka pendek pemerintah pusat belum bisa membantu, jangan gepeng di jalanan itu aja yang diurusin.

Memang sudah ada lembaga rehabilitasi yang memadai. Tetapi tentunya harus ada koordinasi antara lembaga itu sendiri, pengadilan, kejaksaan, dan pihak terkait. Bahkan dengan lembaga pemasyarakatan.

Perkara (narkoba) yang masuk, memang banyak sekali mereka dapatkan dari dalam (lapas). Tapi di satu sisi, hakim kadang kadang dilematis. Menjatuhkan putusan ringan, kadang-kadang disorot. Dikira ada apa-apa. Padahal kita melihat itu kan bukan sekadar kesalahan

Dalam kasus Bali Nine, saya nggak ada kompromi lagi. Memang kalau sindikat pengedar itu sudah bisa kita habisi, sebetulnya di bawah sudah nggak ada. Pokoknya yang besar dengan tingkat kesalahan yang besar, saya jatuhi hukuman maksimal. Kalau mereka sebagai pemula, kita jatuhkan pidana yang bersifat mendidik. Karena pemidanaan itu kan memperhatikan sisi pendidikan juga.

Kendala utama untuk menjatuhkan vonis rehab, karena lembaga rehab belum tersosialisasi. Minimal dikoordinasikan dengan aparat penegak hukumnya. Kalau sudah ada koordinasi, dari kepolisian sudah bisa dilakukan rehabilitasi. Selama ini kan kalau mereka sudah masuk persidangan, rata-rata mereka sudah menjalani penahanan. Koordinasikan dengan masyarakat dan aparat sehingga keberadaannya diketahui dengan jelas.

Pecandu, untuk menghilangkan kecanduannya, kan harus pelan-pelan. Tidak bisa seketika. Sehingga diperlukan suatu proses. Memahami proses untuk menghentikan itu kan perlu melalui lembaga rehabilitasi.

Kalau ngomongin efek jera, kalau sudah ditangkap sekali, pasti merasa jera. Tapi kalau yang sudah benar-benar kecanduan, kan nggak bisa. Penanggulangannya yang perlu dibedakan. Karena untuk pemberantasan kejahatan, termasuk diantaranya narkoba, peran pencegahan yang penting. Kalau di bidang hukum kita sebut penanganan melalui penal (secara hukum), itu kurang. Penanganan non penal (di luar hukum) akan lebih efektif, lebih penting. Bagaimana pergaulan masyarakat. Kalau represif, umpamanya hakim memberi hukuman yang tinggi, nggak dijamin mereka tidak akan melakukan lagi.


Denny Thong (Staf Ahli BNP Bali): Mereka Sakit, Harus Diobati

Penting sekali menjatuhkan vonis rehab untuk pecandu. Itu kalau kita bisa membedakan sesuatu hal yang kelihatan simpel, tapi sulit. Yakni membedakan antara pengedar dengan pemakai. Karena di antara itu ada grey area di mana pemakai adalah pengedar juga. Itulah yang saya sebutkan sebagai pengedar kepepet. Sebenarnya kalau mau cari pengedar yang murni, orang-orang gede yang tidak pernah menyentuh barang. Jadi mereka melakukan murni hanya untuk uang. Orang-orang ini yang tidak pernah tertangkap. Sekarang yang ditangkap paling para pengedar kepepet.

Karena saya seorang dokter, saya tetap melihat dari sudut narkoba sebagai satu sakit. Jadi orang yang sakit harus disembuhkan. Ini di luar garis hukum legalitas. Orang yang sakit dan merasa disakiti, harusnya dibantu. Bukan dihukum. Dalam mengobati itu, ada banyak sekali taktik dan strategi. Dimana salah satu adalah memang rehabilitasi. Bukan terbaik, tapi itu salah satu. Jadi mereka yang telah ketangkep demikian, tetapi menunjukkan ada itikad ingin berhenti, seharusnya kita mengulurkan tangan. Itu juga tidak menjamin bahwa dia akan sembuh. Tapi paling sedikit berusaha menyembuhkan. Dari pada ngambil satu sikap di mana mereka hanya dilihat hitam putih, salah dan tidak salah, yang tampaknya dalam hal-hal tertentu, tidak menyembuhkan.

Efek jera sudah pasti perlu. Itu saya selalu setuju. Tetapi kalau kita lihat sebagai penyakit, tidak bisa melawan, maka mereka harus diobati juga. Bukan rahasia lagi, di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Kerobokan mereka akan ketemu para profesional. Mereka belajar lagi. Jadi saya sangat setuju dengan UU narkotika, ada pasal yang menyatakan boleh diputuskan salah, tetapi dimasukkan rehabilitasi. Hanya pelaksanaannya yang belum sama sekali. Karena belum ada peraturan pelaksananya. Kalau dia lari dari tempat rehabilitasi, siapa yang nanggung. Karena ini kan namanya pidana. Terutama ya masalah uang. Untuk apa masuk rehabilitasi, gimana caranya bayar.

Sebenarnya narkoba masalah yang sangat kompleks di mana perlu kerjasama semua pihak termasuk pemerintah, swasta. Jadi saya sangat pro adanya rehabilitasi. Tempat-tempat rehab sebenarnya sudah ada, tetapi tidak ditunjang oleh undang-undang negara dan pelaksananya. Jarang sekali atau belum pernah saya dengar hakim memutuskan dengan vonis rehab. Sebaiknya divonis dengan rehab. Jadi hukumannya tetap enam bulan, tetapi di tempat rehab. Masalahnya, siapa yang menjamin mereka tidak lari.

Setahu saya di Malaysia dulu ada sikap begitu, masuk rehab semua. Kalau di Bali, relatif kita punya tempat rehab bagus. Yang saya tahu Yakita dan YBN. Cuma ya sekarang, hakim kan juga perlu pendekatan. Mereka perlu ada advokasi. Saya juga sudah beberapa kalu menganjurkan polisi untuk memasukkan rehab.

Pidana ringan, menurut saya nggak membantu. Karena ringan, toh dia masuk. Dia kan kontak dengan kelas berat. Itu yang berat sekali. Anak-anak yang masih di grey area, bisa ke sana bisa ke sini. Mereka harus ditarik ke bagian putih. Kalau mereka ke bagian hitam, akan hitam terus. Sangat berbahaya.



Karena Penjara Bukan Solusi

Awal 2006, Courtney Love, 41 tahun, divonis bersalah melakukan tiga kasus kriminal di mana dua diantaranya dilakukan di bawah pengaruh obat-obatan terlarang. Hakim Pengadilan Negeri Los Angeles Amerika Serikat memvonis mantan penyanyi grup band rock Hole itu dengan hukuman mengikuti program rehabilitasi selama enam bulan. Mantan istri dari rocker yang mati tertembak, Kurt Cobain, itu kemudian menjalani program di pusat rehabilitasi narkoba California. Tak cuma itu, selepas rehab ia juga diwajibkan menjalani ‘rawat jalan’, melanjutkan terapi penyembuhan ketergantungan narkoba dan harus menghindari segala hal yang berhubungan dengan alkohol sampai Maret 2007. Dua kali seminggu, Courtney Love wajib menjalankan tes narkoba dan alkohol.

Vonis rehab untuk pecandu narkoba, sudah menjadi hal biasa di banyak negara. Tetapi, tidak di Indonesia. Meski Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah mengatur kemungkinan itu, toh hingga kini belum ada satu pun hakim yang menjatuhkan vonis rehab kepada pecandu.

I Gusti Ngurah Wahyunda, Ikatan Persaudaraan Pengguna Napza Indonesia (IPPNI) Representatif Bali, mengakui pentingnya vonis rehab bagi para pecandu. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang ada selama ini menurutnya bukanlah tempat yang tepat bagi pecandu. Kecuali bagi pecandu yang melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok, dan lainnya. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, LP merupakan tempat dengan peredaran narkoba terbesar. Justru di dalam LP, narkoba bisa dengan mudah didapat. “Kita memang salah. Kita juga kan korban. Kecuali kalau dia melakukan tindakan kriminal, ya jangan ditoleransi,” ujar Wahyu yang belakangan getol memperjuangkan hak-hak pecandu.

Belum adanya vonis rehab dari para hakim di negara ini, membuat kecewa Wahyu. Namun ia tak menyalahkan para hakim. “Masalahnya banyak. Pemerintah tidak punya tempat rehab. Terus kalau divonis, siapa yang nanggung? Ini yang belum dirumuskan secara serius,” ungkapnya. Meski begitu, kebijakan vonis rehab menurutnya makin mendesak untuk dilakukan, agar tidak semakin banyak masyarakat umum yang menjadi korban. [Komang Erviani pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21, Oktober 2006]

Bergerak Bersama Menanggulangi HIV/AIDS

Upaya menekan laju epidemi HIV/AIDS memerlukan kerjasama lintas sektor. Penguatan masyarakat sipil jadi hal penting. Karena HIV/AIDS bukan masalah segelintir orang.

“Epidemi AIDS telah menyebar dengan sangat cepat,” begitu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, di Jakarta 18 September lalu, mengawali pidatonya ketika membuka dua acara sekaligus, Pertemuan Nasional Penguatan Masyarakat Sipil dalam Penanggulangan AIDS dan Pertemuan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi. Ical, begitu Ketua KPA Nasional itu biasa disapa, menyatakan kekhawatirannya atas penyebaran virus HIV yang begitu cepat.

Di seluruh dunia, sejumlah 60 juta orang telah tertular dan 21 juta diantaranya telah meninggal. Setiap harinya 14.000 orang tertular HIV yang setengahnya adalah remaja usia antara 15-24 tahun. 95% dari pengidap HIV dan AIDS di seluruh dunia, berada di negara berkembang. Saat ini AIDS merupakan penyebab kematian terbesar keempat pada orang dewasa di seluruh dunia. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah yatim piatu hingga 13,2 juta anak di seluruh dunia.

Di Indonesia, sampai Juni 2006 tercatat 11.165 orang pengidap HIV dan AIDS. Jumlah tersebut diyakini masih jauh dari jumlah sebenarnya dan
masih akan terus meningkat. Berdasarkan estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2002, terdapat 90.000 – 130.000 orang Indonesia yang telah tertular HIV. Dalam empat tahun terakhir penularan HIV melalui narkoba suntik memperlihatkan grafik naik secara mencolok. Tahun 2002, sumbangan pengguna narkoba suntik (penasun) pada kasus baru HIV berkisar antara 30 - 34%. Sampai Juni 2006, laporan Depkes menunjukkan bahwa proporsi ini naik menjadi 54,9%.
Ical menyebut sejumlah target yang mau tidak mau harus dicapai di tahun 2010. Diantaranya, 90% dari kaum muda laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun memiliki akses terhadap informasi, pendidikan dan pelayanan yang dibutuhkannya untuk mencegah dirinya terinfeksi HIV. Sebanyak 80% dari pengguna napza suntik harus terjangkau dan merubah perilakunya yaitu berhenti menyuntik atau setiap kali memakai jarum dan alat suntik steril. Di tahun yang sama, 60% dari orang-orang yang berperilaku seksual risiko tinggi juga harus terjangkau dan mengubah perilakunya. Untuk itu, dalam pertemuan yang diikuti perwakilan KPA dari 22 provinsi dan 71 anggota masyarakat sipil peduli AIDS itu Ical memberi sejumlah arahan kepada banyak pihak, termasuk mengundang partisipasi masyarakat umum.

Pertemuan nasional dua hari itu, digelar sebagai langkah memperkuat program penanggulangan AIDS nasional. Agenda utamanya, sosialisasi Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS, serta terakomodasinya masukan dan input dari masyarakat sipil Indonesia untuk penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Strategi Nasional (Stranas) Penanggulangan AIDS 2007-2010.
Dalam kesempatan tersebut, juga diluncurkan buku yang berjudul:”HIV dan AIDS, risiko terhadap anak-anak dan remaja Indonesia” . Setiap hari, setiap menit seorang anak dibawah usia 15 tahun terinfeksi HIV di suatu empat di dunia. Buku ini mengingatkan kita, bahwa epidemi injuga mengancam anak-anak, remaja, bahkan generasi muda kita di Indonesia.

Peserta masyarakat sipil terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari waria, gay, pengguna narkoba suntik (penasun), orang dengan HIV/AIDS (Odha), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli AIDS. Pertemuan juga diwarnai aksi walk out dari sejumlah peserta dari penasun dan kelompok dukungan Odha, karena menilai ada agenda tersembunyi yang coba digolkan panitia. Agenda yang dicurigai itu berupa rencana pembentukan Organisasi Forum Masyarakat Sipil Peduli AIDS. Rencana pembentukan organisasi dikhawatirkan bakal mengecilkan arti lembaga penanggulangan AIDS yang sudah ada.

Tapi, the show must go on. Kesepakatannya, tak ada pembahasan soal organisasi. Pembahasan difokuskan pada masukan-masukan untuk RAN dan Stranas. Sayangnya, beberapa peserta yang sudah telanjur walk out menolak untuk masuk kembali ke arena sidang.

Pertemuan akhirnya menghasilkan beberapa poin masukan untuk Stranas dan RAN penanggulangan AIDS Nasional 2007-2010. Salah satu masukkannya, adalah meningkatkan peran media massa dalam program akselerasi pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia. Masyarakat sipil/NGO juga diharapkan bisa menjadi bagian dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam akselerasi program pencegahan dan penanggulanan HIV & AIDS di Indonesia. Masyarakat sipil/NGO berharap bisa berperan penuh dalam program pemberdayaan masyarakat dan komunitas.

Beberapa bentuk intervensi program yang diharapkan menjadi perhatian diantaranya peningkatan pelayanan kesehatan, advokasi, care support and treatment, pengurangan dampak buruk narkoba, serta pemberdayaan masyarakat dan komunitas.

Sekretaris KPA Nasional, Nafsiah Mboi, menyambut baik masukan-masukan yang datang untuk Stranas dan RAN penanggulangan AIDS 2007-2010. Apalagi dalam Perpres terbaru 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS, masyarakat sipil merupakan mitra yang harus terlibat. Karena HIV/AIDS adalah masalah semua pihak. Perlu kerjasama untuk menekan lajunya yang makin sulit dikendalikan. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Selasa, 10 Oktober 2006

Dunia Remajaku Seru !

Dunia remaja memang seru. Program pendidikan kesehatan reproduksi via teknologi informasi, menambah serunya kehidupan remaja di tiga SMA di Bali. Bicara seksualitas bukan lagi tabu.

Tangan kanan Budiasih, siswa kelas 11 IPA SMA 3 Denpasar, sibuk menggeser mouse salah satu komputer di lab sekolahnya. “Coba klik Bab 5,” begitu Anak Agung Sagung Dwi Cahyani, sang guru. Dari monitor di hadapan Budi, muncul kalimat dengan font besar, siapa yang bertanggung jawab?. “Coba diklik lagi,” lanjut Cahyani. Gambar seorang laki-laki dan perempuan dengan sejumlah alternatif tanggung jawab, disuguhkan dengan sangat menarik dari software tersebut. Ada tanggung jawab mengasuh anak, membersihkan rumah, menentukan pendidikan anak, mengatur keuangan, dan lainnya.

Budi dan puluhan temannya mendapat tugas mencocokkan tanggung jawab-tanggung jawab itu dengan pihak yang bertanggung jawab. Laki-laki, atau perempuan? Tulisan mengasuh anak diklik Budi dengan kursor mouse-nya, ditariknya ke sisi perempuan. Menurutnya, tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan. Tetapi program menolak. “Coba letakkan di tengah, antara laki-laki dan perempuan,” Cahyani menganjurkan. Benar saja, program menerima dengan baik. “Berarti, mengasuh anak adalah tugas bersama laki-laki dan perempuan. Bukan tugas perempuan saja,” jelas Cahyani.

Hari itu, pertengahan September lalu, Budi dan beberapa teman sekelasnya bukan sedang belajar komputer. “Yuk, bicara gender” begitu materi yang dibahas hari itu. Tapi pelajaran ekstra selepas jam pelajaran itu diberikan dengan piranti lunak komputer. Kok bisa? “Ini adalah bagian dari program Dunia Remajaku Seru (DAKU),” jelas Koordinator Kita Sayang Remaja (Kisara), dr Oka Negara.

DAKU merupakan program pendidikan kesehatan reproduksi dengan memanfaatkan teknologi informasi. Program ini dilaksanakan oleh WPF (World Population Fundation) yang bekerjasama dengan PKBI Bali melalui Kisara, untuk mendekatkan pendidikan kesehatan reperoduksi kepada remaja di Bali. “Ini adalah adaptasi dari program yang sudah dilaksanakan di Vietnam dan Uganda oleh WPF,” demikian Palupi Widjajanti, Representatif WPF di Indonesia.

Di Indonesia, DAKU juga dilaksanakan di beberapa wilayah lain seperti Jakarta, Lampung, Medan, dan Jambi. Di Bali sendiri, program DAKU baru dirintis di tiga sekolah, yakni di SMA 2 Denpasar, SMA 3 Denpasar dan SMA 4 Denpasar. Ketiga sekolah dipilih sebagai perintis karena pertimbangan fasilitas komputer yang dimiliki dan keterbukaan pengelola sekolah. Namun ke depan, program ini rencananya akan diperluas ke sekolah-sekolah lain di Bali.

Dunia Remajaku Seru memang menawarkan sistem pembelajaran baru yang asyik dan menarik. Ada selipan-selipan games, kuis, juga diskusi. ”Modul kita buat semenarik mungkin, menyesuaikan dengan kebutuhan remaja sekarang,” jelas Palupi tentang 14 bab modul pelajaran yang dipersiapkan. Selain tentang gender, ada juga bab tentang informasi HIV/AIDS, narkoba, pendekatam berbasis hak azasi manusia (HAM), perubahan prilaku, proses kehamilan, serta bagaimana menimbulkan empati terhadap orang dengan HIV/AIDS (Odha).

Siang itu misalnya, empat siswa diberikan tugas untuk memperagakan bagaimana seorang siswa perempuan menjadi laki-laki macho, bagaimana menjadi seorang kakek tua, dan bagaimana seorang siswa laki-laki menjadi ibu hamil. Dalam memperagakan peran-peran tersebut, diharapkan siswa memahami arti gender yang sesungguhnya.

“ Ini bagus, pengennya diterusin lagi,” ujar Budiasih. Ketua Kelompok Siswa Peduli AIDS dan Narkoba (KSPAN) SMA 3 Denpasar, Putu Lina Sudiyawati, juga menyambut baik program DAKU. “Bahkan banyak teman-teman di luar KSPAN yang ingin ikut,” jelas Lina. Karena keterbatasan sarana, program DAKU sampai saat ini memang masih diprioritaskan bagi anggota ekstrakurikuler KSPAN.

Tokoh Hindu, Ida Pedanda Gede Ketut Tianyar Sebali, mengaku sangat mendukung adanya program pendidikan kesehatan reproduksi untuk para remaja. Menurutnya, pendidikan seks lebih dini akan membuat remaja lebih waspada. [Komang Erviani, Ikha Widari / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Senin, 09 Oktober 2006

Mereka Terlahir dengan HIV

HIV/AIDS sudah menjadi problem untuk populasi anak-anak. Banyaknya pihak yang tidak menyadarinya, menghambat penanganan kesehatan mereka. Karena tak mudah mengenali HIV pada anak.

Kadek Rendra (2,5 tahun), sebut saja begitu, hanya terduduk diam di pangkuan Luh Polih (45 tahun), sang nenek. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mungilnya. Tak tampak pancaran keceriaan dari wajah bocah laki-laki itu. Ekspresi wajahnya datar.

Rendra memang tak seperti anak-anak lain seusianya. Jangankan berjalan, merangkak pun ia belum bisa. Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ada dalam darahnya, membuat tubuh bocah yatim piatu ini tak berkembang secara normal.

Tanda-tanda tidak normal pada kesehatan Rendra, sebenarnya telah terlihat sejak ia berusia tiga bulan. “Biasanya kan anak kecil sehat. Tapi ini nggak naik-naik timbangannya. Turun-turun terus. Enam kilo (gram), lima kilo, bisa turun lagi tiga kilo,” cerita Wayan Parmita (53 tahun), sang kakek. Berat badan yang terus turun saat itu, membuat tubuh Rendra terlihat tak normal. Hanya ukuran leher dan kepala saja yang normal. Tubuhnya yang terlalu kecil bahkan tak mampu menyangga kepalanya sendiri.

Rendra kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Buleleng, sekitar 25 km dari desa tempat tinggalnya di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Dokter menyatakan Rendra mengalami radang paru-paru dan gizi buruk. Operasi sempat dilakukan terhadap bocah malang itu. Pasca operasi, kondisinya sedikit membaik. Pertumbuhan badannya mulai normal, meski gizi buruknya belum teratasi sepenuhnya. Namun, sesak nafas masih sering dialami.

Radang paru-paru yang cukup parah, tak wajar pada anak seusianya, mengundang curiga. Dari sanalah tim dokter menyarankan melakukan tes HIV terhadap keduanya. Tes akhirnya dilakukan 2005 lalu. Tes awalnya hanya dilakukan terhadap Rendra. Hasil tes ternyata reaktif. Hasil yang sama didapat saat sang kakak, Gede Mahendra (4,5 tahun), juga dites. Kakak beradik Mahendra dan Rendra ternyata positif terinfeksi HIV.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga seseorang menjadi sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Dalam jangka waktu tertentu, HIV dapat menyebabkan kumpulan gejala penyakit pada pengidapnya. Fase inilah yang disebut dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penularan virus ini dapat terjadi melalui pertukaran beberapa cairan tubuh manusia, yakni darah, cairan kelamin, dan air susu ibu.

Tak seorang pun bisa memastikan, dari mana virus HIV masuk ke tubuh kedua bocah laki-laki itu. Bisa jadi melalui proses persalinan atau air susu ibu. Parmita menduga, virus tersebut ditularkan oleh ayah kedua bocah, sebut saja Komang Feri. Menurutnya, Feri yang tak lain adalah anak kandungnya sempat mengakui kebiasaannya berganti-ganti pasangan semasa muda dulu. Dari perilakunya itu, Feri diperkirakan telah menularkan virusnya kepada Luh Diah, yang kemudian menularkannya lagi kepada Mahendra dan Rendra. Feri dan Luh Diah baru melakukan tes HIV beberapa bulan setelah hasil tes Mahendra dan Rendra diterima. Keduanya dinyatakan positif, dan meninggal awal 2006 lalu.

Virus HIV menjadikan Rendra dan Mahendra yatim piatu. Keduanya kini juga harus hidup dengan membawa virus yang sama dalam darahnya. HIV kini memang tak cuma mengancam orang dewasa. Sekretariat Program Gabungan PBB untuk Penanggulangan HIV/AIDS, UNAIDS menyebutkan, anak-anak di bawah usia lima tahun merupakan satu dalam enam kematian terkait-AIDS global, dan satu dalam tujuh infeksi global baru. Seorang anak meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS setiap menit dari setiap hari. Disebutkan pula, setiap hari terdapat hampir 2.000 infeksi balita baru yang sebagian besarnya ditularkan dari ibu ke bayi, dan 1.400 anak di bawah usia 15 tahun meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Setiap hari pula, 15 juta anak telah kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya akibat AIDS.

Di Indonesia sendiri, persentase anak berumur 0-14 tahun yang tercatat terinfeksi HIV telah meningkat sampai 40% setiap tahunnya. Ini terjadi sejak lima tahun belakangan. Bali juga menyumbang angka yang tidak sedikit. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali pada Agustus 2006 menyebutkan, di Bali ada 9 kasus HIV positif pada anak di bawah usia 1 tahun. Tentu saja, angka itu tidak cukup menggambarkan kondisi sesungguhnya. Seperti fenomena gunung es, masih banyak anak-anak terinfeksi HIV lainnya yang belum tercatat. Salah satu faktor penyebabnya, karena banyak pihak yang tidak menyadari bahwa HIV/AIDS sudah menjadi problem untuk populasi anak-anak.

Dokter spesialis anak, Ketut Dewi Kumara Wati, mengakui, tidak mudah mengenali kasus HIV pada anak-anak. “Anak-anak kan sering sakit, nggak suka makan, jadinya kurus, itu hal-hal yang sangat sering kita temukan,” jelas Kepala Divisi Alergi Immunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah itu. Akibatnya, para dokter dan orang tua umumnya tak terpikir kalau HIV yang menjadi penyebab dasar dari penyakit yang dideritanya.

Hal itu pula yang terjadi pada putri pasangan Nana (22) dan Wawan (27), sebut saja Neneng (1 tahun 7 bulan). Pertengahan 2005 lalu, Neneng harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Denpasar. “Waktu itu badannya panas, diare, dan sampai kejang-kejang,” ujar sang ayah bercerita. Menurut Wawan, putri pertamanya itu sudah sakit-sakitan sejak usianya 5 bulan. Bahkan dokter yang merawatnya saat itu menyebut, telah terjadi infeksi pada paru-parunya.

Infeksi paru-paru yang tidak biasa pada anak-anak, membuat Wawan yang positif terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) agak was was. Ia khawatir sang anak terinfeksi virus penyerang sistem kekebalan tubuh yang ada dalam darahnya. Wawan mengambil inisiatif, berterus terang tentang latar belakang dirinya sebagai pecandu narkoba suntik (penasun) yang kini telah terinfeksi HIV. “Waktu itu Nana dan Neneng langsung disarankan untuk tes darah,” kenang Wawan. Tes HIV akhirnya dilakukan terhadap Nana dan Neneng. Namun entah karena alasan apa, hasil tes tersebut hingga kini belum diketahuinya.

Delapan hari dirawat di rumah sakit, kondisi kesehatannya perlahan membaik. Namun seminggu setelahnya, penyakitnya kambuh. Suhu badannya naik lagi, batuk, dan tumbuh jamur di lidahnya (kandidiasis oral). “Dokter bilang dia kena gejala bronkhitis,” cerita Wawan. Kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan, membuat Neneng terpaksa dirawat oleh Nur (40), sang nenek.

Kondisi Neneng kini sudah jauh lebih baik. “Dia jarang sakit-sakitan kayak dulu,” kata ibunya. Sayang, di usia 1 tahun 7 bulan, Neneng belum bisa berjalan layaknya anak seusianya. Kaki mungilnya tak mampu menopang tubuh yang beratnya 9 kilogram. Sakit yang terus menerus menimpa Neneng, membuat perkembangan organ tubuhnya tak normal. Ironisnya, sejak 6 bulan lalu ia sudah tidak minum susu formula lagi karena keterbatasan dana. Maklum, penghasilan Wawan dari bekerja sebagai pengantar air minum kemasan isi ulang cenderung tak menentu. Setiap satu galon air yang diantarnya, Wawan hanya bisa mengantongi Rp 500. “ Kadang-kadang kalau capek, aku istirahat aja dulu,” kata Wawan yang dalam enam bulan belakangan mengalami penurunan CD4 sampai 130, dari sebelumnya 480 menjadi 350. CD4 adalah sel pembentuk sistem kekebalan tubuh. Sel-sel inilah yang diserang virus HIV, sehingga tingkat kekebalan tubuh pengidapnya menjadi lemah.

Keterbatasan ekonomi juga membuat pola makan Neneng tidak teratur, “Kalau lapar biasanya dia nangis, terus saya kasih makan apa adanya saja. Kalau dia minta minum susu, saya hanya kasih air teh manis,” ungkap Nana.

Neneng masih cukup beruntung. Setidaknya, ia lebih beruntung dibandingkan Shinta (3 tahun). Bocah perempuan itu telah kehilangan kesempatan untuk menjalani kehidupannya, diduga karena HIV. ”Seluruh badannya dipenuhi herpes, dan tubuhnya saat itu kurus. Sementara perutnya membuncit,” kenang Galle, Petugas Lapangan Yayasan Hatihati yang sekaligus pendamping kedua orang tua Shinta, sebut saja Budi dan Wati. Budi dan Wati merupakan pasangan pengguna narkoba suntik (penasun) di kawasan Kuta.

Itu terjadi 2003 silam. Karena sakit, Shinta sempat dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah dan mendapat pendampingan dari beberapa relawan Bali+, kelompok dukungan bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha). Ketika itu, Budi juga telah mengalami sakit yang tidak biasa. Badannya demam, juga muncul herpes dan jamur pada mulutnya (kadidiasis oral). Hasil tes menyebutkan, Budi positif HIV. Ia meninggal tak lama setelah Shinta jatuh sakit.

Kematian suaminya, membuat Wati shock. Ia yang ketika itu mengandung anak ketiganya, tiba-tiba jatuh sakit. Pendarahan hebat dialami Wati saat usia kandungannya menginjak 5 bulan. Saat perempuan yang pernah menjalani tes HIV ketika menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Denpasar karena kasus narkoba tersebut dirawat di Rumah Sakit Sanglah, Shinta menyusul kepergian sang ayah sebelum sempat menjalani tes darah untuk memastikan status HIV-nya. Wati bahkan tak sempat mengetahui kabar kematian Shinta, hingga tiga hari setelahnya ia pun meninggal dunia. Anak ketiganya tak sempat terlahir ke dunia.

Yang tersisa dari keluarga Budi kini hanyalah Dian (8 tahun), putri pertama mereka. Bocah perempuan itu kini dirawat oleh bibinya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Beruntung, Dian tumbuh menjadi anak yang sehat. Minah, ibu kandung Budi, sama sekali tidak menyangka anak, menantu dan cucunya akan pergi selama-lamanya dalam waktu yang hampir bersamaan. “Budi pernah bilang kalau penyakit yang dialami keluarganya adalah Penyakit Menular Anak Muda,” kenang Minah.

Ancaman HIV kini bukan lagi monopoli orang dewasa. Meningkatnya penularan HIV pada ibu rumah tangga, menjadi jalan meningkatnya penularan kepada anak-anak. Entah sudah berapa banyak anak yang menjadi korban penularan HIV dari orang tuanya. [Komang Erviani, Asep Hidayat / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Menghambat Gerak Virus di Tubuh si Kecil

Virus HIV bergerak lebih gesit di tubuh anak-anak. Perawatan yang salah sering jadi pemicu merosotnya kondisi kesehatan mereka. Perlu perhatian lebih dari para orang dewasa.


Kakak beradik asal Busungbiu Buleleng, sebut saja Gede Mahendra (4,5 tahun) dan Kadek Rendra (2,5 tahun), tiba-tiba dinyatakan positif terinfeksi HIV pada pertengahan 2005 lalu. HIV diketahui telah merusak sistem kekebalan tubuh kedua bocah laki-laki itu. Berbagai jenis penyakit akut, mulai dari mal nutrisi, jamur pada kulit, hingga radang paru-paru, telah menggerogoti tubuh mungil mereka.

HIV (Human Immunodeficiency Syndrome) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga seseorang menjadi sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Dalam jangka waktu tertentu, HIV dapat menyebabkan kumpulan gejala penyakit pada pengidapnya. Fase inilah yang disebut dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penularan virus ini dapat terjadi melalui pertukaran beberapa cairan tubuh manusia, yakni darah, cairan kelamin, dan air susu ibu.
HIV yang hidup dalam darah Mahendra dan Rendra, diperkirakan berasal dari ibunya, sebut saja Luh Diah. Penularan bisa jadi melalui proses persalinan, atau air susu ibu (ASI). Luh Diah sendiri, dipastikan tertular dari suaminya yang tak lain ayah kedua bocah, sebut saja Komang Feri. Ayah kandung Feri, Wayan Parmita (53 tahun) menduga, Feri tertular HIV akibat kebiasaannya berganti-ganti pasangan semasa muda dulu.

Mahendra dan Rendra, tertular virus dari orang tuanya. Tetapi gejala-gejala akibat penularan virus itu, justru lebih dulu terlihat di tubuh Mahendra dan Rendra. Sebaliknya, Feri dan Luh Diah baru merasakan gejala penyakit beberapa bulan setelah hasil tes Mahendra dan Rendra diterima. Sesuai dugaan awal, Feri dan Luh Diah dinyatakan positif HIV. Keduanya meninggal awal 2006 lalu akibat berbagai penyakit yang ditimbulkan gara-gara virus itu.

Gejala-gejala penyakit yang justru lebih dulu terlihat di tubuh Mahendra dan Rendra dibandingkan kedua orang tuanya, mengindikasikan kerja virus dapat lebih cepat dalam tubuh anak-anak. Hal itu diakui Ketua Pokja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, Tuti Parwati. Menurut penemu kasus HIV/AIDS pertama di Bali itu, sel-sel tubuh anak yang lebih muda cenderung lebih cepat terpengaruh. Itu sebabnya, virus HIV menjadi cenderung lebih cepat menggerogoti tubuh anak-anak dibandingkan orang dewasa.

Hal senada diakui dokter spesialis anak, Ketut Dewi Kumara Wati. Kepala Divisi Alergi Immunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah itu menyebut, dalam kondisi normal pun tingkat kekebalan tubuh anak-anak cenderung lebih lemah dibandingkan orang dewasa. Itu karena sistem kekebalan tubuh anak-anak belum cukup terlatih. “Kita orang dewasa, setiap hari kontak dengan virus, tidak sakit. Tapi pada anak-anak, kan cepat sekali sakit,” jelas dokter yang banyak merawat anak HIV positif sejak 2004 .

Dua bulan lalu, Dewi juga menemukan infeksi HIV pada seorang bayi perempuan, sebut saja Tiara (10 bulan). Ketika ditemukan, Tiara telah mengalami diare kronis. Oleh orang tuanya, Tiara dikatakan telah mengalami diare sejak lahir. Berbagai rumah sakit telah dicoba untuk menyembuhkan, termasuk sebuah rumah sakit di Surabaya Jawa Timur.

Penyakit yang tak kunjung sembuh, mengundang kecurigaan adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh Tiara. Apalagi setelah uji lab atas kotorannya, ditemukan jamur-jamur yang tidak biasa menyerang anak-anak. Atas dasar itulah, Dewi melakukan pendalaman terhadap kedua orangtua Tiara. Hasilnya, orangtua Tiara mengaku pernah bersentuhan dengan aktivitas berisiko. “Ternyata ayahnya mengaku pernah ‘jajan’ dan make narkoba,” terang Dewi. Benar saja, hasil tes menemukan ada HIV dalam darah Tiara. Pemeriksaan tambahan berupa tes virulogis, menemukan sudah ada 4,6 juta copy virus HIV dalam darah bayi mungil itu.

Baru beberapa waktu setelah itu, kedua orang tua Tiara menjalani tes HIV, dan hasilnya reaktif (positif). “Biasanya memang anaknya duluan yang ketahuan (positif HIV),” tambah Dewi.

Menurut catatan Yayasan Spiritia, ada tiga tipe anak-anak HIV positif jika dilihat dari reaksi virusnya. Ada ‘pelanjut cepat’ di mana anak yang terinfeksi agak dini pada kehamilan akan mengembangkan tanda dan gejala penyakit pada usia 1-2 tahun. Anak tersebut akan melaju ke fase AIDS, di mana mulai muncul gejala-gejala penyakit, dengan sangat cepat. Kadar CD4 (sel pembentuk sistem kekebalan tubuh) akan merosot menjadi di bawah 100 sebelum usia dua tahun. Pada orang normal, kadar CD4 seharusnya 500.

Tipe kedua adalah ‘pelanjut pelan’, di mana harapan hidupnya lebih baik. Anak-anak ini terinfeksi saat melahirkan atau proses menyusui. Mereka cenderung mengembangkan bukti kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh pada usia 7-8 tahun. Kehilangan sel CD4 akan berlanjut berangsur-angsur. Terakhir, ada pula sekelompok anak dengan HIV positif yang akan tetap sehat dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit dan kadar CD4 yang nyaris normal sampai usia anak 9 tahun.
Penelitian terhadap anak HIV positif di sejumlah negara maju menunjukkan, ketahanan hidup rata-rata mereka hanya 8-9 tahun. Ini berbeda dengan rentang waktu orang dewasa untuk mencapai fase AIDS sejak pertamakali terinfeksi yang bisa mencapai 10 tahun, bahkan lebih.

Selain Tiara, Dewi juga tengah merawat tiga anak positif HIV lainnya. Satu anak berusia 2,5 tahun, sebut saja Dian, diketahui terinfeksi setelah ditemukan dalam kondisi mal nutrisi yang parah. Bocah perempuan itu juga menderita asma. Setelah didalami, ternyata sang ibu telah meninggal dengan gejala-gejala mirip AIDS. Sementara sang ayah ternyata tengah menjalani terapi antiretroviral (ARV), terapi untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah bagi Odha.

Dua anak lainnya, adalah saudara kembar berusia 12 bulan. Keduanya tergolong bayi dari ibu HIV/AIDS (BIHA), sebutan untuk bayi yang terlahir dari ibu HIV positif di mana perkembangannya memang telah dipantau secara medis sejak dalam kandungan.

Penanganan kesehatan anak-anak HIV positif, bukan hal mudah. Dokter spesialis anak di RSU Singaraja, Ketut Ngurah Alit, menilai hal itu karena status HIV pada anak-anak umumnya baru diketahui setelah kondisi kesehatan mereka memburuk. Biasanya, kecurigaan adanya infeksi HIV baru muncul bila pertumbuhan anak tidak normal. Indikasinya beragam. Mulai dari sakit-sakitan, berat badan terus merosot, ada infeksi jamur yang berulang, sampai radang paru-paru yang tidak sembuh-sembuh. “Akhirnya, waktu kita temukan kondisinya sudah tidak baik,” jelas dokter yang menangani Mahendra dan Rendra ini.

Merawat anak dengan HIV positif, memang gampang-gampang susah. Salah satu kuncinya sebenarnya sangat sederhana, yakni kondisi rumah dan lingkungannya. Higienitasnya lingkungan rumah harus betul-betul dijaga. Anak HIV harus dijauhkan dari kondisi-kondisi yang memudahkan dia sakit. Menurut Dewi, anak tanpa HIV sekali pun, sangat rentan dengan penyakit. “Menurut pakar, dengan kondisi yang bersih sekali pun, anak dengan HIV positif pasti akan sakit. Apalagi kalau kondisinya tidak bersih,” ungkap Dewi.

Bahkan kontak dengan orang lain yang membawa virus, walau tidak dalam kondisi sakit, bisa membuat anak HIV tertular virus. Itu terjadi pada Dian beberapa waktu lalu. Virus campak telah membuat kulitnya memerah sampai berhari-hari. “Biasanya orang kena campak bisa sembuh dalam seminggu. Tapi dia kena campak berulang-ulang, dan nggak sembuh-sembuh. Jadi nggak jelas dia dapat virusnya dari mana,” Dewi menjelaskan.

Tak cuma itu, menjaga asupan gizi juga sangat penting. “Dia harus memakan makanan yang kaya kalori, lengkap proteinnya,” ujar Dewi lagi. Asupan gizi tidak seimbang, banyak menjadi kendala pada penanganan anak dengan HIV positif. Itu pula yang dihadapi Ketut Ngurah Alit dalam menanangani Mahendra dan Rendra. Menurut Alit, pengetahuan yang kurang tentang asupan gizi seimbang, telah memicu menurunnya kualitas kesehatan mereka. Belum lagi masalah kemampuan ekonomi yang tidak bagus. “Itu sangat merusakkan anak-anak itu. Karena bagaimanapun, penyakitnya sendiri sudah bikin orang gizi buruk. Jadi kalau sudah makan, ya sudah. Entah apa yang dimakan, kita nggak tahu. Apa hanya ubi saja, atau dia dapat susu. Kita nggak tahu. Padahal untuk anak-anak HIV, gizi tinggi yang perlu,” terangnya. Perawatan yang tepat, menjadi kunci peningkatan kualitas hidup anak-anak dengan HIV positif. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]

Menanti Kebijakan Memberi Harapan

Kebijakan pemerintah menjadi penting dalam melepaskan anak-anak dari ancaman HIV/AIDS. Pengobatan yang tepat jadi harapan. Keceriaan masa kanak-kanak berhak mereka dapat.

Mengunjungi tempat tinggal Dian (2,5 tahun), sebut saja begitu, kini hampir pasti membuat Ketut Dewi Kumara Wati berseri. Maklum, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Sanglah itu tak lagi menemukan bocah perempuan yang hanya bisa terduduk lemah. Dewi kini hanya menemukan sosok bocah yang aktif berlari ke sana kemari, selalu melempar tawa di setiap kesempatan. “Dulu dia bahkan berdiri saja nggak bisa. Sekarang sudah bisa berlari, bantu-bantu di rumah. Bahagia sekali melihatnya,” ujar Dewi bersemangat.

Ketika pertama kali bertemu, kondisi Dian memang cukup memprihatinkan. Puskesmas di wilayahnya merujuk Dian karena kurang gizi berat. Gangguan pernafasan karena asma, juga cukup mengganggu fisiknya. Hasil tes menyatakan Dian positif terinfeksi HIV. Ternyata, sang ayah tengah mengikuti terapi antiretroviral (ARV) untuk menekan perkembangan virus HIV dalam darah orang dengan HIV positif (Odha). Dian juga telah kehilangan kakak dan ibu kandungnya, diperkirakan karena HIV.

Kondisi kesehatan Dian yang membaik, tak lepas dari terapi ARV yang dijalankannya sejak Februari 2006 lalu. Kini, setiap hari, Dian harus meminum obat tersebut. Dian juga tergolong beruntung, karena tidak ada efek samping yang diakibatkan obat itu. Terapi ARV memang cenderung menyebabkan efek samping yang beragam pada setiap Odha. “Sejauh ini belum ada efek samping. Mudah-mudahan nggak,” harap Dewi.

Terapi ARV merupakan salah satu bentuk pengobatan yang paling manjur bagi orang-orang terinfeksi HIV saat ini. Obat ARV yang telah disubsidi pemerintah secara penuh sejak 2004 lalu itu, telah meningkatkan kualitas hidup ratusan Odha di Bali. Tak terkecuali bagi anak-anak.

Namun menurut Dewi, belum adanya obat ARV khusus untuk anak-anak telah menjadi kendala penanganan anak-anak dengan HIV positif. Selama ini, obat ARV yang diberikan pada anak hanyalah obat ARV biasa yang disesuaikan dosisnya. Namun penerapannya menjadi sulit karena dasar pertimbangan untuk menentukan perbandingan dosis kombinasi obat menjadi jauh berbeda. Pasalnya, pada anak-anak ada pertimbangan berat badan dan luas permukaan tubuh. “Kalau pada orang dewasa, memang dosis sudah pas. Tapi pada anak-anak, beda. Harus dipertimbangkan berat badan dan luas permukaan tubuh,” jelas Dewi.

Pertimbangan berat badan dan luas permukaan tubuh dilakukan untuk mengukur kemampuan obat itu dimetabolisme di dalam tubuh, serta mengukur beban hati dan ginjal akibat obat itu. “Pada anak-anak, dosis itu akan sangat berpengaruh. Komposisi tubuh anak , antara lemak, padat, dan air, beda sekali dibandingkan pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir dan bayi yang sudah beberapa bulan, balita, juga beda. Cara mereka minum obat juga beda,” keluhnya. Masih menurut Dewi, obat ARV anak sampai saat ini belum masuk ke Indonesia. Nigeria termasuk salah satu negara yang mendapat bantuan terapi ARV anak-anak.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, Nafsiah Mboi, mengakui belum ada obat ARV khusus anak di Indonesia. Perempuan asal Sulawesi itu juga mengakui pentingnya pengadaan obat ARV khusus anak, mengingat kondisi tubuh anak-anak berbeda dengan orang dewasa. “Kita mau adakan penelitian-penelitian khusus untuk anak-anak HIV. Termasuk bagaimana pengobatan yang tepat bagi mereka,” jelas Nafsiah.

Permasalahan anak, menurut Nafsiah, tengah menjadi perhatian KPA. Untuk itu pihaknya telah membuat kelompok kerja anak dan remaja, khusus untuk membahas penanganan HIV/AIDS pada anak dan remaja usia 0 sampai 24 tahun. Pasalnya, kasus anak-anak dengan HIV positif terus meningkat. “Secara data, anak HIV tercatat tidak banyak. Hanya 17 orang anak di bawah 15 tahun. Tapi ternyata di satu rumah sakit di Jakarta saja, dikatakan sudah merawat 100 anak HIV positif. Jadi ini sudah masalah yang berbahaya dan perlu penanganan segera,” terangnya.
Upaya lain yang juga akan makin digalakkan KPA Nasional, menurut Nafsiah, adalah

Program Prevention Mother Care Prevention Mother To Child Transmission (PMTCT). PMTCT merupakan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Prinsip utama dari program ini adalah perencanaan kehamilan oleh Odha, pencegahan penularan selama kehamilan dengan obat-obatan antiretroviral, pencegahan penularan saat kelahiran melalui caesar, serta pencegahan penularan setelah kelahiran dengan tidak memberikan air susu ibu (ASI). ASI merupakan salah satu cairan tempat tinggal virus, selain dalam darah dan cairan kelamin. Dalam program ini, bayi juga diberi obat ARV selama satu minggu pertama untuk mengurangi risiko penularan.

Ketua Kelompok Kerja Care Support and Treatment Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Tuti Parwati, juga menilai program PMTCT sangat penting karena 15-40 persen anak tertular dari ibunya. “Kalau ibu tidak diapa-apakan, tidak dapat treatment, berisiko,” jelas penemu kasus AIDS pertama di Indonesia pada 1987 itu.
Secara resmi, program PMTCT telah dilaksanakan di Bali melalui Rumah Sakit Sanglah sejak 2005 lalu. Belakangan, program ini juga dibentuk di Rumah Sakit Umum Singaraja. Namun sebelum dibentuk secara resmi, program ini sebenarnya telah dijalankan secara informal oleh beberapa dokter yang concern pada masalah HIV/AIDS.

Hasilnya, Bagian anak RS Sanglah kini tengah menangani 8 anak dari ibu HIV positif yang berusia antara 4 minggu sampai 4 tahun. Tiga anak di antaranya sudah dinyatakan negatif HIV setelah tes dilakukan ketika usia mereka di atas 18 bulan. 18 bulan adalah masa di mana kadar antibodi yang berasal dari ibu di dalam darah anak, mulai hilang. Pemeriksaan HIV jenis ELISA yang umum digunakan, menilai kadar antibodi HIV dalam darah. Jadi hasil tes saat anak belum berusia 18 bulan, tidak bisa memberi kepastian. Tes yang dapat memberi kepastian adalah tes PCR yang melihat langsung jumlah virus dalam darah. Namun tes jenis ini memerlukan biaya terlalu mahal sehingga jarang dilakukan. Dari tes PCR, diketahui ada 2 anak hasil program PMTCT telah positif terinfeksi HIV.

Program PMTCT memang tak menjamin anak bebas dari infeksi HIV/AIDS. Karenanya Tuti lebih menekankan pentingnya pemeriksaan HIV bagi masyarakat umum. Dengan tahu status HIV sedini mungkin, maka semua program pencegahan penularan dapat dilaksanakan. Dengan demikian, penularan HIV dapat ditekan dan tak ada lagi anak-anak yang lahir dengan membawa warisan HIV. [Komang Erviani / pernah dimuat di Media HIV/AIDS dan Narkoba KULKUL Edisi 21,Oktober 2006]