Google
 

Kamis, 14 Februari 2008

RUU Kepariwisataan Ditolak

Pelaku pariwisata Bali menolak rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisata yang kini tengah dibahas di DPR RI. Banyak pasal-pasal dalam RUU tersebut yang dinilai sangat merugikan industri pariwisata.

Penolakan atas RUU Kepariwisataan yang akan menggantikan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tersebut, disampaikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali dan Bali Tourism Board. Kedua lembaga yang mewadahi industri pariwisata di Bali itu menilai RUU tersebut cenderung merugikan kalangan swasta yang notabene menjadi motor penggerak kepariwisataan.

Sekjen PHRI Bali, Perry Markus menjelaskan ada sejumlah poin yang memberatkan bagi industri pariwisata. Salah satunya tentang penetapan status hotel dan restoran sebagai usaha pariwisata, bukan industri jasa. Padahal, banyak disinsentif yang didapat hotel dan restoran dengan status hanya sebagai usaha pariwisata. Ia mencontohkan, pentarifan listrik oleh PLN kepada hotel cenderung lebih mahal karena masuk dalam kategori pelanggan bisnis.

Perry berharap hotel dan restoran diakui sebagai industri pariwisata, sehingga mendapat berbagai insentif yang banyak diberikan kepada industri. “Pengertian industri ka nada sejumlah usaha yang saling menguatkan satu sama lain. Saya pikir hotel dan restoran harusnya dimasukkan dalam kategori industri jasa, bukan usaha pariwisata,” tegas Perry di Denpasar kemarin.

PHRI juga mengeluhkan pasal tentang uji sertifikasi dan klasifikasi bidang yang bakal ditarik oleh pemerintah. Menurut Perry, bila uji sertifikasi dan klasifikasi bidang dilakukan oleh pemerintah sepenuhnya, maka akan menjadi langkah mundur bagi kepariwisataan nasional. Sistem yang ada sekarang dengan sertifikasi dan klasifikasi dilakukan asosiasi, menurutnya sudah merupakan sistem terbaik. “Klasifikasi hotel sekarang sudah dilakukan PHRI. Menurut saya, ini sudah paling bagus. Pemerintah cukup membuat standarisasinya saja,” tambah pria asal Palangkaraya itu.

Pasal yang mengatur tugas pokok dan wewenang dalam RUU Kepariwisataan juga menjadi perhatian. Perry menilai RUU terlalu banyak membebankan kewajiban kepada industri pariwisata, sementara hak yang diberikan sangat minim. Contoh sederhananya berupa keharusan industri pariwisata mengasuransikan semua turisnya. Hal terkait asuransi tersebut seharusnya sudah diatur dalam UU Asuransi. “Takutnya nanti orang yang mau makan di tempat kita juga harus diasuransikan,” keluhnya.

PHRI juga mengeluhkan poin yang mengharuskan pengusaha mencegah kegiatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba, judi, perbuatan terlarang, dan perbuatan melanggar hukum lainnya. Menurut Perry, pengusaha tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam kamar hotel. Beban atas pasal itu menurutnya sangat berat bagi pengusaha. “Lagipula, soal narkoba kan sudah diatur di UU Narkotika dan Psikotropika. Jadi cukup diatur di sana,” usulnya.

Penolakan atas RUU Kepariwisataan juga disampaikan Ketua Bali Tourism Board (BTB) Ida Bagus Ngurah Wijaya. Menurut pemilik salah satu hotel di Sanur itu, UU Kepariwisataan pada dasarnya dibuat untuk semua stakeholder pariwisata nasional. Karenanya, pihaknya sangat mengharapkan UU Pariwisata yang kondusif bagi industri pariwisata. Dengan demikian, industri pariwisata akan gampang berpromosi. “RUU ini akan sangat memberatkan sekali bila benar-benar disahkan. Padahal industri pariwisata kan mengakomodasi banyak sekali tenaga kerja,” keluhnya. [ni komang erviani]

2 komentar:

trancepass mengatakan...

Waduh, RUU apa lagi nih?
Gimana bisa dapat copy-nya ya? Ada di internet, Vi?

Unknown mengatakan...

mbak, boleh minta soft copy atau kalau download RUU Pariwisata itu dimana ya.. abis di legalitas.org belum ada tuh..thanks..