Google
 

Sabtu, 22 Desember 2007

Antara Izin,Pungli,dan Tanah

Bali mempunyai potensi yang melimpah untuk berinvestasi.Sayang,kendala klasik berupa ruwetnya perizinan dan pungutan liar selalu menghantui investor.

Lamanya pengurusan perizinan, mulai dari pusat kemudian turun ke provinsi, kemudian harus turun kembali mengurus di kabupaten atau kota menjadikan banyak waktu yang terbuang percuma.

Padahal,salah satu prinsip yang diterapkan sebagian besar investor asing adalah kecepatan dan ketepatan perizinan. Di balik perizinan yang ribet, sudah menjadi rahasia umum pula jika di dalamnya terdapat pungli. Benjamin Ripple, investor asal Amerika Serikat, membenarkan sinyalemen itu. Dia mengeluhkan sulitnya mengurus perizinan investasi di Indonesia. Belum lagi, banyak oknum-oknum yang cenderung mempersulit perizinan.

”Saya tidak mengerti, sebenarnya dia (pemerintah) mau kami investasi atau tidak?” gugatnya. Terus sampai kapan perizinan dan pungli bisa diselesaikan? Sejak zaman orde baru sampai zaman reformasi pun susah dilepaskan dan sepertinya sudah mendarah daging. Hal tersebut memang diakui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali I Made Kandiyuana.

Solusinya adalah penerapan pelayanan satu atap dalam hal perizinan investasi seperti yang diatur dalam Undang- Undang No 25/2007. Pelayanan satu atap akan diberlakukan mulai 2008. Kelak, semua investor asing dan lokal yang akan menanamkan investasinya di Bali tidak akan menemukan proses berbelit-belit sekaligus mendapatkan layanan penuh.

”Kabupaten hanya akan mengurusi izin mendirikan bangunan (IMB),” ujar Kandiyuana. Peranan pusat dalam hal investasi akan dipangkas karena hanya memiliki kewajiban dalam pengurusan standar prosedur semata. Perizinan adalah masalah klasik, memang. Namun, permasalahan investasi yang paling membuat pusing kebanyakan investor adalah tanah. Harga tanah di Bali yang mahal dibandingkan daerah lain menjadikan nilai investasi yang harus ditanamkan di Bali lebih mahal.

Tingginya harga jual tanah dan harga sewa tanah itu lantaran Pulau Bali adalah pulau yang kecil sehingga tanahnya terbatas. Contohnya tanah di dekat Pantai Sanur, Denpasar.Di sana, harga tanahnya mencapai Rp400 juta per are (100 meter persegi). Bahkan, ada salah satu konsorsium pengusaha Korea Selatan merencanakan investasi di tanah bekas galian C di Kabupaten Klungkung, Bali, namun batal karena harga tanah yang melonjak dalam hitungan hari.

Harga awal tanah bekas galian C itu di bawah Rp10 juta per are,namun setelah isu tanah tersebut akan dibangun hotel, pemilik tanah menaikkan harga tanah sampai 5 kali lipat menjadi Rp50 juta per are.

”Padahal kami menargetkan harga tanah per arenya maksimal Rp12 juta,” papar DI Jung, pimpinan konsorsium. Persepsi bisnis pariwisata yang mampu menghasilkan uang dalam jangka waktu cepat menjadikan harga tanah pun semakin mahal. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Sukawati alias Cok Ace mengatakan, tanah yang mahal lebih banyak karena investor asing cepat mendapatkan break event point (BEP) alias dalam waktu singkat bisa tutup modal.

Cok Ace sendiri tidak bisa memastikan seberapa cepat BEP yang dicapai investor asing ini, Dia hanya menyebut kisaran 3 sampai 5 tahun dengan catatan pariwisata Bali stabil. Cok Ace juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap pengusaha lokal. Padahal, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap investor lokal dengan dukungan kebijakan yang melindungi dan pro kepada pengusaha lokal. Pengusaha lokal sendiri tidak bisa berbuat banyak tanpa bantuan pemerintah.

”Bantuan pemerintah yang paling penting adalah pinjaman atau kredit perbankan yang mudah dan murah bunganya,” tuturnya. Infrastruktur tidak boleh ditinggalkan saat kita berbicara permasalahan investasi. Adalah hal yang mustahil bila berharap investasi asing masuk ke Bali tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur yang paling memprihatinkan di masa depan menyangkut kelistrikan.

Kebutuhan listrik di Bali mencapai 480 megawatt (MW), sementara pasokan listriknya mencapai 550 MW,pasokan listrik tersebut pun dibantu 200 MW melalui jaringan interkoneksi bawah laut. Menurut Kandiyuana, jika Bali tidak membangun pembangkit listrik dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, investor akan enggan menggelontorkan uangnya ke Bali.Bali memang berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Celukan Bawang, Buleleng dan Karangasem.

Kemudian,tantangan infrastruktur ke depan bagi Bali adalah bagaimana membangun jalan tol dari Denpasar– Jembrana, Denpasar– Buleleng,Buleleng– Jembara, atau jalan tol penghubung antarkota. Perluasan landasan Bandara Ngurah Rai juga sangat signifikan menjadi dua untuk take off dan landing pesawat. Perpanjangan bandara juga menjadi penting sehingga pesawat berbadan lebar bisa masuk ke Bali.

Walaupun ada hambatan dan tantangan, investasi asing akan terus digenjot pada 2008 mendatang. Target yang dipatok untuk investasi bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp6–10 triliun.Tentunya sebagian besar,target tersebut akan dipasok oleh PMA yang akan lebih mendominasi.

”Target investasi tersebut untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di atas 6% pada 2008,”ujar Kandiyuana. Promosi Bali ke luar negeri adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengenalkan potensi Pulau Dewata ini kepada investor asing.

Lalu melakukan pendekatan dengan berbagai perusahaan besar di luar negeri untuk membentuk konsorsium dan menanamkan modalnya di Bali dengan berbagai jaminan kepastian hukum dan keamanan. Insentif juga bakal diberikan kepada investor asing seperti memberikan keringanan pajak dan sebagainya. ”Bagaimanapun, Bali adalah impian bagi investor asing,” pungkasnya. (andika hendra mustaqim/ ni komang erviani / Dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Tidak ada komentar: