Google
 

Sabtu, 22 Desember 2007

Wisatawan Lari, Investor Pergi

Ledakan bom yang telah dua kali mengoyak tidak hanya membuat pariwisata Bali nyaris ambruk, tetapi juga menorehkan momok menakutkan bagi calon investor.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali mencatat, rencana investasi asing di Bali pada 2000 sebesar Rp1,78 triliun.Angka itu meningkat tajam pada 2002, di mana rencana investasi mencapai Rp9,973 triliun.

Namun, realisasinya tentu tak seindah yang dibayangkan, yakni hanya Rp602,18 miliar atau 6,04%. Penyebabnya adalah terjadinya peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang membuat investor pun berpikir berulang kali untuk melanjutkan investasinya. Pada tahun itu, rencana 86 perusahaan asing untuk membuka usahanya pun hanya terealisasi 13 perusahaan.

Menurunnya nilai investasi, juga diiringi anjloknya angka kunjungan wisatawan asing ke Bali. Pada 2002, mencapai 1.285.844 orang atau menurun sebesar 5,23% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1.356.774 orang. Kondisi pariwisata Bali semakin parah pada 2003. Kunjungan wisatawan asing hanya menembus angka 993.029 orang atau penurunan sebesar 22,77%.Angka ini merupakan penurunan wisatawan yang paling drastis sejak 1969.

Dampak Bom Bali I menjadikan trauma bagi investor asing yang akan menanamkan investasinya di Bali.Tidak ayal,pada 2003,rencana investasi yang sudah disetujui BKPM sebesar Rp1,41 triliun, realisasinya mencapai Rp764,38 miliar. Adanya jaminan keamanan dari pemerintah daerah dan pusat dengan dukungan kepolisian, menjadikan investor asing pun sedikit demi sedikit kembali percaya untuk berinvestasi di Bali.

Pada 2004, rencana investasi asing terdongkrak mencapai Rp4,61 triliun dengan nilai realisasinya mencapai Rp487,89 miliar. Kepercayaan investor asing terhadap jaminan keamanan kembali mendongkrak rencana investasi pada 2005 mencapai Rp10,54 triliun. Namun, Bali ibarat kembali menjadi keledai yang terjebak pada lubang yang sama.Bom Bali II meledak kembali di Nyoman Kafe, Jimbaran dan Raja’s Kafe di Kuta pada 1 Oktober 2005.

Banyak pihak yang menyalahkan pemerintah dan aparat kepolisian karena telah kecolongan aksi teroris. Tidak ayal, realisasi investasi kembali melorot ke Rp140,59 miliar atau hanya 1,33%. Yang menyedihkan, angka itu sekaligus tercatat sebagai realisasi yang paling rendah dalam 10 tahun terakhir. Kunjungan wisatawan asing pada tahun itu juga menurun menjadi 1.386.449 orang atau menurun 4,93%, di mana pada tahun tersebut, realisasi investasi juga menurun.

Setahun berikutnya, angka kunjungan wisata kembali turun menjadi 1.260.317 orang. Turunnya tren investasi juga menciptakan multiplier effect berupa sulitnya para pengusaha untuk membayar gaji karyawannya. Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada 2006, tercatat sedikitnya 378 pekerja mendapat PHK maupun dirumahkan. Itu pun baru pekerja hotel di wilayah Kuta,seperti Hotel Bali Clif,Grand Balisani Suites dan Vila Rumah Manis.

Padahal, Bali Recovery yang dilaksanakan pemerintah daerah dan swasta dalam membangun kembali pariwisata Bali setelah Bom Bali I, menjadikan kunjungannya cukup bagus pada 2004 sebanyak 1.458.309 orang atau meningkat 46,85% dibandingkan tahun sebelumnya. Bak sebuah lagu dangdut yang dipopulerkan Kristina, investasi di Bali mengalami jatuh bangun.

Bayangkan saja, setelah Bali mendapatkan bencana, kemudian merestrukturisasinya, kemudian tertimpa bencana yang sama. Menurut Kepala BKPMD Provinsi Bali I Made Kandiyuana, pemerintah daerah berusaha membangun kembali kepercayaan investor asing setelah Bom Bali II pada 2002.Bahkan,apa yang diusahakan pemerintah daerah dan masyarakat Bali sudah membuah hasilnya pada 2004 dan awal 2005.

Dengan indikasi pada kedua tahun tersebut, investasi asing sudah menunjukkan angka yang progresif karena kepercayaan investor asing terhadap kondisi keamanan dan kesiapan Bali sudah membaik. Kenyataannya, akhir 2005, bom kembali meledak dan menghancurkan kembali kepercayaan investor asing yang mulai tumbuh tersebut.

”Padahal, kita sudah susah payah meyakinkan investor potensial ke berbagai negara. Sepertinya, apa yang sudah kita lakukan dan rencanakan menjadi sia-sia saja karena bom,” ujarnya. Namun, Kandiyuana mengatakan bahwa pemerintah tidak putus asa dalam memperjuangkan untuk masuknya investasi asing ke Bali bekerja sama dengan semua pihak termasuk jaminan keamanan dari aparat keamanan.

Sementara Kepala Bidang Humas Polda Bali Kombes Antonius Samuel Reniban mengatakan, polisi bekerja keras untuk menciptakan sebuah keamanan bukan hanya semata-mata untuk kepentingan investor, melainkan untuk menciptakan keamanan dan kedamaian bersama.Namun menciptakan keamanan bukan hanya tugas polisi, melainkan semua pihak.

”Semua pihak berperan untuk menjaga keamanan karena ini masalah rasa,” paparnya. Begitu lembaran tahun 2006 dibuka, Pemerintah Daerah Bali berjuang kembali untuk meyakinkan investor asing bahwa Bali tidak akan kecolongan untuk yang kedua kali. Usaha yang dilakukan tidak percuma, rencana investasi pada 2006 mencapai Rp2 triliun,dengan realisasi Rp380,61 miliar.

Angka rencana investasi pada 2007 kembali melonjak sampai Rp5,34 triliun dan angka realisasinya belum bisa diketahui. Pandangan pengamat ekonomi dari Universitas Udayana Murjana Yasa, membaiknya investasi di Bali pasca-Bom Bali I dan II bukanlah merupakan suatu hal yang membanggakan. Sebabnya adalah investor asing datang membawa uang dalam jumlah banyak bukannya mendirikan perusahaan baru.

Namun, mereka mengakuisisi sejumlah perusahaan, seperti hotel dan biro perjalanan wisata, terutama milik orang lokal yang mengalami trauma karena krisis pasca-Bom Bali. ”Masalahnya, persoalan perizinan untuk mendirikan perusahaan baru memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya tinggi, jadi beli yang ada saja. Orang tidak mau membangun dari nol,” ujarnya.

Terjadinya bom atau belum, investasi di bidang pariwisata masih menjadi primadona. Buktinya, investasi hotel dan restoran yang disetujui BKPM pada 2001 Rp185,42 miliar. Kemudian setelah terjadinya Bom Bali I pada 2003, investasi di hotel dan restoran justru mel o n j a k mencapai Rp1,73 triliun. Setelah Bom Bali II pada 2006, rencana investasi hotel dan restoran juga cukup tinggi mencapai Rp743,65 miliar.

Menurut Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Ardhana Sukawati, investor asing menanamkan investasinya di Bali terutama di bidang hotel dan restoran lebih karena adanya kesempatan dan peluang untuk berinvestasi di Bali.

Ditambah, adanya modal baik modal sendiri maupun modal pinjaman bank didukung dengan kemampuan dalam bidang pengetahuan tertentu menjadikan keberanian mereka berinvestasi. ”Hukum dagang di mana ada peluang dan ada kemampuan maka investasi pun bisa dijalankan,” ujarnya. (andika hendra mustaqim/ ni komang erviani/ dewi umaryati/ miftachul chusna/ dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Tidak ada komentar: