Google
 

Sabtu, 22 Desember 2007

Rumput Laut Pengganti Bom Ikan

BULELENG (SINDO) - Keakraban Daeng Hayak (71 tahun) dengan bom ikan dan potasium, kini tinggal sejarah. Padahal, keseharian Daeng di masa lalu tak pernah lepas dari bom ikan dan potas. Pria keturunan bugis yang lahir dan besar di Desa Sumberkima Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali itu, dulunya termasuk salah satu nelayan pencari ikan dengan bom. Meski ia mengaku punya alasan untuk itu. ”Sebab saya dulu nggak tahu harus bekerja apa lagi. Sementara anak-anak harus makan dan tetap sekolah,” kenang ayah dari 10 anak itu.

Beda dulu, beda sekarang. ”Sekarang saya tahu kalau itu (bom ikan,red) merusak,” ujarnya. Daeng Hayak kini memang sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya dari mengebom ikan. Ia kini menggantungkan hidup pada budidaya rumput laut, usaha yang kini juga diikuti oleh sekitar 180 orang nelayan lain di pesisir Gerokgak, Buleleng, Bali.

Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian baru yang memberi keuntungan ekonomis bagi para nelayan Gerokgak. Setidaknya, keuntungan itulah yang dirasakan Daeng Hayak, sejak merintis budidaya rumput laut tersebut tahun 2005 lalu. ”Baru beberapa bulan saya tanam rumput laut, saya sudah bisa jual enam juta rupiah. Jauh lebih untung dibandingkan cari ikan pakai bom,” terang Daeng Hayak. Sejak tahun 2005 itu pula, banyak nelayan pencari ikan dengan bom dan potas di wilayah Gerokgak yang beralih ke budidaya rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Hal tersebut diduga karena banyaknya aktivitas pengeboman ikan. Padahal, TNBB merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Lahan seluas 40 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Panen yang dihasilkan pun lumayan, mencapai 12 ton per bulan. Potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu pun masih terbuka lebar. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 298 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Menurut aktivis lingkungan yang juga pengamat terumbu karang, Putu Iwan Dewantama, alih mata pencaharian masyarakat dari nelayan pengebom ikan menjadi petani rumput laut telah terbukti mampu mengembalikan kelestarian ekosistem bawah laut perairan Gerokgak. Dikatakan Iwan, hasil riset terakhir mencatat bahwa tutupan karang di perairan Gerokgak sudah meningkat menjadi 40 persen. Sebagai upaya membantu pelestarian terumbu karang, para nelayan juga telah sepakat tidak menggunakan patok untuk menanam terumbu karang. ”Para nelayan sepakat untuk menanam rumput laut dengan sistem apung. Mereka benar-benar telah sepakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya,” cerita Iwan. [Ni Komang Erviani]

Tidak ada komentar: