Google
 

Sabtu, 08 Desember 2007

Konservasi Laut Ala Nelayan Serangan

Konservasi Laut Ala Nelayan Serangan

Nelayan Pulau Serangan Bali melakukan penanaman terumbu karang di wilayah laut mereka. Mengembalikan keseimbangan ekosistem yang rusak karena reklamasi dan eksplotasi karang untuk bahan bangunan.

DENPASAR (SINDO) – Belasan nelayan Pulau Serangan Denpasar Bali, sibuk merangkai potongan-potongan pipa paralon dan jaring ikan berukuran besar. “Ini akan dipakai untuk wadah meletakkan terumbu karang, sebelum dibawa ke laut,” jelas Wayan Karsika, (38 tahun), salah seorang nelayan. Sejak awal Desember ini, Karsika dan anggota Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Serangan sibuk bersiap-siap menerima kunjungan partisipan UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) pada 9 dan 10 Desember mendatang. “Yah, kami perbaiki bagian-bagian yang rusak aja. Biar kelihatan sedikit lebih rapi,” ujar Wayan Patut, Koordinator Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara.

Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Serangan bakal menjadi salah satu lokasi pararel event UNFCCC, karena keberhasilan mereka membangun konservasi terumbu karang di Pulau Serangan. Konservasi dilakukan dengan melakukan penanaman terumbu karang di laut sekitar Pulau Serangan. Pulau Serangan merupakan pulau kecil di sisi timur Pulau Bali, masih berada di wilayah administratif Kota Denpasar Bali. Sejak 1997, Pulau Serangan direklamasi hingga menyatu dengan Pulau Bali. Reklamasi juga memperluas wilayah Pulau Serangan dari hanya 112 hektar menjadi seluas 480 hektar.

Menurut Wayan Patut, program konservasi dimulai pada 2003 dengan melakukan perbanyakan terumbu karang. “Kami menerapkan metode transpalantasi (stek,red),” terang Patut. Media tanam yang digunakan dalam metode transplantasi berupa kerangka plat beton yang kemudian ditempeli bibit terumbu karang dengan substrat buatan. Dengan metode ini, terumbu karang dapat tumbuh lima sampai sepuluh kali lebih cepat dari seharusnya, atau sekitar 1 cm per bulannya. Hingga kini, lahan penanaman terumbu karang di laut Serangan sudah mencapai luas 1 hektar dengan 20.000 pieces terumbu karang. Kebun karang buatan yang berada di kedalaman 4–12 meter itu kini sudah menjadi rumah bagi 40 spesies ikan.

Sebagai upaya menggali dana untuk membiayai program konservasi, nelayan Serangan tak kehabisan akal. “Kami sekarang menjual soft coral dan terumbu karang buatan,” cerita Patut. Soft coral merupakan jenis terumbu karang lunak yang hidup di antara terumbu karang keras (hard coral,red) dan tidak memberi manfaat signifikan bagi ekosistem. Soft coral bahkan cenderung mengganggu pertumbuhan hard coral dan beracun bagi ikan. Soft coral yang diperjualbelikan nelayan Serangan, diambil dari kebun karang buatan mereka sendiri. “Kami tidak mengambil soft coral di alam bebas. Kami cuma mengambil soft coral yang mengganggu kebun karang buatan kami,”tegas Patut.

Selain menjual soft coral, nelayan Serangan juga menjual terumbu karang buatan yang dibentuk dari campuran semen, batu apung, dan mill. Sebelum dijual, karang dbuatan diletakkan di dalam laut agar ditumbuhi alga. Karang buatan yang telah ditumbuhi alga itulah yang kemudian dijual untuk hiasan akuarium air laut. Soft coral dan terumbu karang buatan nelayan Serangan sudah diekspor ke luar negeri, yakni Paris. Selain digunakan untuk membiayai program konservasi, hasil penjualan soft coral dan terumbu karang buatan juga dibagikan kepada para nelayan. Dengan begitu, manfaat ekonomi dari program konservasi juga dirasakan oleh nelayan setempat.

Inisiatif warga melakukan konservasi terumbu karang Pulau Serangan, tidak lepas dari proyek reklamasi besar-besaran yang dilakukan investor. Menurut Wayan Patut, ide melakukan konservasi terumbu karang di Serangan bermula dari kesadaran atas tingginya kerusakan lingkungan akibat reklamasi. Kerusakan lingkungan tersebut berdampak sangat besar pada perekonomian warga.

Wayan Karsika (38 tahun) termasuk salah satu nelayan yang merasakan dampak nyata kerusakan lingkungan akibat reklamasi. Gara-gara kerusakan lingkungan, kini ia hanya bisa mendapat penghasilan melaut rata-rata Rp. 10 ribu per bulan. “Itu kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, bisa nggak makan,” terangnya. Mencari ikan sudah menjadi bagian dari keseharian Karsika sejak kecil. Ia bahkan membiayai uang sekolahnya sendiri dari hasil mencari ikan, seperti yang juga dilakukan oleh sebagian besar anak-anak Serangan lainnya ketika itu. Namun hasil laut yang melimpah sudah menjadi barang mewah bagi Karsika dan nelayan lainnya di Pulau Serangan sejak reklamasi dilakukan.

Selain kesulitan mencari ikan, reklamasi juga menyebabkan hilangnya mata pencaharian 150 orang istri nelayan yang menjadi pedagang souvenir, pencari cacing laut, serta puluhan orang penambang (transportasi penyeberangan dengan perahu,red). Serangan dulunya merupakan salah satu tempat wisata favorit di Bali dengan daya tarik utama berupa atraksi penyu. Banyaknya penyu yang bertelur secara alami di Serangan, bahkan membuat pulau ini dikenal dengan sebutan pulau penyu.“Tapi setelah reklamasi, jarang sekali ada penyu datang. Karena lingkungannya sudah rusak. Wisatawan juga jadi sepi sekali,” ujar Nyoman Sopi (42 tahun), mantan pemandu wisata yang sempat kehilangan pekerjaannya paska reklamasi.

Banyaknya mata pencaharian yang hilang, sempat membuat warga Serangan mencari jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan. Warga memilih mencari karang di laut dan dijual untuk bahan bangunan. Setelah bertahun-tahun, baru pada 2003, warga sadar bahwa aksi tersebut makin memperparah kerusakan lingkungan di wilayah mereka. Berangkat dari kesadaran itulah, para nelayan lantas merintis upaya konservasi terumbu karang di laut Serangan. Harapannya agar kerusakan lingkungan Serangan tidak semakin parah. Dalam jangka panjang, upaya ini diharapkan dapat menyeimbangkan kembali ekosistem Serangan. [Ni Komang Erviani]

2 komentar:

heru gutomo mengatakan...

dulu ditimbun, digali, dijual. sekarang pasang lagi berharap tumbuh yang baru. proyek gede lagi nih kayaknya di serangan, hehehe...

halo ervi.... :)

Alisson Angel mengatakan...

sayangnya kita masih baru sadar saat kebutuhan ekonomi mulai terganggu, bukan sadar karena memang peduli dengan lingkungan...

semoga semua dilakukan dengan ikhlas tanpa ada sisipan 'rencana' untuk eskploitasi tanpa perhitungan lagi di masa depan...
"perbaiki jika sudah rusak, biar nanti menghasilkan lagi..., kalo rusak lagi, ya perbaiki lagi..."