Google
 

Minggu, 23 Desember 2007

Mengeruk Dolar di Walidwipa

Bali bukan cuma nyaman untuk berwisata, melainkan juga untuk berinvestasi.Sebanyak 70% investasi di Bali dikuasai asing.Parahnya,semua keuntungan investasi justru dibawa pergi dari Bali.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali, sepuluh tahun silam, Benjamin Ripple langsung jatuh cinta. Hanya dalam rentang tiga hari, pria berkewarganegaraan Amerika Serikat itu langsung menginvestasikan modalnya di Bali. Padahal sebelumnya dia sempat menjelajah wilayah Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

”Ketika pertama kali tiba di Bali, saya sudah lihat ada peluang untuk berinvestasi,” ujar Ben, begitu dia biasa disapa. Ben memilih berinvestasi di bidang pertanian, bidang yang sama dengan latar belakang pendidikannya. Sayang, Ben enggan menyebut nominal uang yang diinvestasikannya ketika itu.

Tidak puas dengan investasi pertamanya, pada 2004 Ben kembali menginvestasikan modalnya di perusahaan lain dengan bidang usaha serupa. Sebanyak USD500.000 ditanamkan Ben dalam perusahaan yang kini dipimpinnya sendiri,PT Bening Big Tree Farms. Perusahaan yang berkantor di Jln By Pass Ngurah Rai Denpasar itu, kini aktif melakukan ekspor beberapa produk pertanian, seperti kakao,jambu mede, merica, garam, hingga gula jawa.

Ada sekitar 30 tenaga kerja yang kini menggantungkan hidup pada perusahaan eksportir hasil pertanian tersebut. Ada juga ribuan petani garam, petani kakao, petani jambu mede, dan perajin gula jawa yang rutin memasok produk ke perusahaan yang kini telah melebarkan sayap ke Yogyakarta,Jawa Tengah, dan Flores itu.

Meski masih membukukan kerugian, Ben optimistis investasinya di PT Bening Big Tree Farms bakal mulai meraup untung pada 2008 nanti. ”Untuk keluar dari garis merah (rugi) ke hitam (untung), biasanya perlu waktu 3–6 tahun,” harapnya. Investasi di Bali rupanya sudah sangat membuai Ben. Dia bahkan berencana untuk berinvestasi lagi di bidang lain dalam waktu dekat. Bentuknya? ”Masih rahasia,” ujarnya sambil tersenyum.

Sebutan paradise island yang rekat pada nama Bali rupanya bukan sekadar istilah. Bali atau dulunya disebut Walidwipa, ternyata bukan cuma surga bagi wisatawan yang ingin berlibur, melainkan juga surga bagi investor asing. Ben hanyalah satu dari banyak orang asing yang memilih menaruh modalnya di Bali.

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali telah menerbitkan sedikitnya 218 surat persetujuan investasi asing dengan nominal total Rp36,3 triliun. Sedangkan surat persetujuan investasi dalam negeri yang diterbitkan pada kurun waktu tersebut, 34 buah dengan nominal sebesar Rp14,9 triliun. Artinya, 70% dari total investasi di Bali selama kurun waktu 10 tahun terakhir dikuasai investor asing.

Hanya ada 30% investasi yang benarbenar milik investor dalam negeri. Besarnya ”kekuasaan” asing pada pundipundi ekonomi Bali, paling terlihat pada sektorsektor yang terkait erat dengan pariwisata, di antaranya sektor konstruksi (Rp13,7 triliun), perdagangan (Rp11,4 triliun), serta hotel dan restoran (Rp9 triliun).Itu belum termasuk investasi ”terselubung”yang tentu saja tidak tercatat di BKPMD Bali.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat 75% investasi bidang akomodasi di Bali dikuasai investor asing. Sebagai gambaran, saat ini ada sedikitnya 53.000 kamar hotel di seluruh Bali. 30% dari jumlah itu merupakan hotel berbintang yang seluruhnya dikuasai investor asing. Sudah bukan rahasia lagi, banyak investor asing yang memilih berinvestasi secara ”terselubung” dengan ”meminjam” nama warga lokal.

Beberapa di antaranya bahkan mengambil jalan pintas dengan menikahi warga lokal. Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, I Made Kembar Sri Budhi, mensinyalir fenomena ”nikah sembari berinvestasi” ini muncul karena banyak investor yang tidak mau ribet dengan aturan hukum di Indonesia. Ironisnya,warga lokal justru merasa diuntungkan dengan aksi para investor asing itu karena mampu menaikkan derajat ekonominya.

Banyaknya investasi asing ”terselubung”, membuat serbuan investor asing ilegal di Bali makin tidak terkendalikan. Banyak di antaranya kini telah ”menyerbu” hingga ke daerah-daerah pelosok Bali dengan membangun vila-vila pribadi yang disewakan. Tingginya investasi asing di Bali sayangnya tidak dibarengi penyerapan tenaga kerja lokal dalam jumlah cukup banyak. Jumlah tenaga kerja yang diserap investasi asing di Bali hanya sebanyak 95.351 orang.

Padahal, jumlah angkatan kerja yang ada di Bali saat ini mencapai 2,01 juta orang. Sementara itu, ada sebanyak 5.571 orang pekerja asing yang diserap investor asing di Bali. Secara angka, investor asing memang menyerap lebih banyak tenaga kerja Indonesia dibandingkan tenaga kerja asing.

Namun, tenaga kerja lokal umumnya menduduki level menengah ke bawah. Level manajer dan pembuat kebijakan di perusahaan asing umumnya dipegang pekerja asing. Level yang tentu saja mendapatkan penghasilan dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lokal. Kecenderungan ”membayar” pekerja lokal dalam jumlah yang jauh lebih kecil,bahkan juga terjadi pada posisi-posisi yang sebenarnya satu level.

Sebagai contoh, pekerja lokal dan asing yang sama-sama menduduki posisi manajer bagian di sebuah hotel akan mendapat gaji yang berbeda. Pekerja asing umumnya cenderung menerima jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan pekerja asing.

”Celakanya, investor asing membayar orang kita lebih rendah, meski dalam posisi yang sama,” keluh Murjana Yasa, pengamat ekonomi dari Universitas Udayana. Investasi asing pada masa-masa awal Orde Baru, harus diakui mampu menggairahkan perekonomian masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali masyarakat Bali.

Namun dengan makin tingginya kepemilikan asing pada pundipundi ekonomi Bali dalam beberapa tahun terakhir, justru menyebabkan banyaknya kebocoran di sana sini. Banyak keuntungan asing yang lantas dibawa ke negara mereka masingmasing.

”Sayangnya, tidak banyak investor asing yang me-reinvest keuntungannya di Bali. Ini menyebabkan kebocoran pendapatan luar biasa karena keuntungan dibawa ke luar negeri,” tegas Murjana.

Melihat angka pertumbuhan ekonomi Bali, memang ada tanda-tanda peningkatan yang cukup melegakan. Lihat saja bagaimana pertumbuhan ekonomi Bali terus merangkak naik dari pascakrisis 1999 hanya sebesar 0.69%, mencapai 5,9% pada 2006. Pada 2007 ini, pertumbuhan dipastikan naik lagi menjadi 6%.

Bahkan pada 2008 mendatang,sejumlah pengamat memprediksi pertumbuhan ekonomi Bali akan bisa menyentuh angka 7%. Namun, apa yang terjadi di balik itu? Ironis. Ketika pertumbuhan ekonomi Bali terus merangkak naik,jumlah penduduk miskin di Bali justru ikut merangkak naik.

Badan Pusat Statistik Bali mencatat hingga Maret 2007 total penduduk miskin di Bali sebanyak 229.000 orang. Jumlah itu 6,63% dari total penduduk Bali sekitar 3,4 juta orang.Padahal data yang diperoleh pada Juli 2005 silam mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 228.400 orang.

Kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.Selama Juli 2005 hingga Maret 2007, garis kemiskinan mengalami kenaikan sebesar 8,81%, yaitu dari Rp152.519 per kapita per bulan pada Juli 2005 menjadi Rp165,954 per kapita per bulan pada Maret 2007.

Tingginya investasi asing dan pertumbuhan ekonomi yang juga berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan di Bali, menunjukkan betapa investasi asing di Bali belum mampu meningkatkan perekonomian dari masyarakat Bali itu sendiri. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Bali masih digerakkan konsumsi.

Bank Indonesia mencatat ada tiga komponen dari sisi permintaan yang menggerakkan angka pertumbuhan ekonomi Bali,yakni konsumsi rumah tangga sebesar 14,36%, diikuti investasi (9,06%) dan konsumsi pemerintah (6,38%). Sementara dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi terutama digerakkan sektor pengangkutan sebesar 13,39%, diikuti sektor keuangan (12,86%) dan sektor industri pengolahan (11,04%).

”Tingginya konsumsi dalam jangka panjang akan menyebabkan disinsentif bagi perekonomian,” aku Pemimpin Bank Indonesia Denpasar Viraguna Bagoes Oka. Oleh karena itu, investasi asing masih sangat diperlukan untuk meningkatkan perekonomian Bali. Diharapkan, masuknya investasi Bali bisa menekan peningkatan angka pengangguran di Bali. (ni komang erviani/andika hendra mutaqim/ dimuat di Koran SINDO Minggu 23/12/2007)

Tidak ada komentar: