Google
 

Senin, 31 Desember 2007

Penjualan Miras Naik Drastis

DENPASAR (SINDO) – Penjualan minuman keras (miras) di Bali jelang tahun baru naik drastis hingga empat kali lipat dari hari biasa. Outlet-outlet penjualan miras di obyek-obyek wisata pun menambah stok jelang detik-detik pergantian tahun.

Melonjaknya penjualan miras dirasakan oleh hampir semua outlet penjualan miras, terutama di obyek-obyek wisata. Ibusama Wine and Spirits Shop yang terletak di Jalan Danau Tamblingan Sanur Denpasar misalnya, sejak seminggu terakhir telah mengantongi omset Rp. 15 juta per hari. Padahal di hari biasa, outlet yang menjual berbagai jenis miras produksi dalam dan luar negeri tersebut hanya mengantongi omset rata-rata tujuh sampai delapan juta per hari. Omset tersebut dipastikan makin melonjak pada detik-detik pergantian tahun. “Biasanya kalau pas tanggal 31 desember, bisa sampai empat kali lipatnya,” jelas Wayan Sri Utami, penjaga outlet.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, jelas Sri, omset yang diperoleh tepat di penghujung tahun mencapai Rp. 30 juta. Karena itu, stok miras ditambah untuk mengantisipasi lonjakan pembeli. Waktu buka outlet juga akan diperpanjang untuk melayani pembeli. Bila pada kondisi normal outlet buka sampai pukul sebelas malam, pada malam tahun baru diperpanjang hingga pukul dua pagi. “Penjualannya mulai naik sejak dua hari sebelum Natal. Malam tahun baru pembeli pasti makin banyak,” terang Utami.

Kenaikan penjualan terutama terjadi pada miras jenis spirit wiski dan wine. Selain itu, penjualan arak bali juga diakui lumayan tinggi. “Kalau arak, biasanya banyak dibeli orang lokal. Bule biasanya lebih suka wine atau spirit,“ ujar Utami sembari menyebut ada 300 merek miras yang dijual di outletnya. Harga miras yang dijual bervariasi, dari Rp. 17.000 sampai Rp. 3 juta per botol. “Harganya tergantung mereknya,” tegas Utami.

Lonjakan penjualan miras juga diakui Indri, penjual miras lainnya di kawasan Sanur. Indri bahkan merasakan kenaikan penjualan miras sejak awal Desember. Dikatakan, sejak awal Desember pihaknya sudah mengantongi omset penjualan sebanyak 85 jura rupiah. Padahal sebelumnya, omset total sebulan biasanya hanya mencapai 70 juta rupiah.

Meski optimis peningkatan penjualan akan makin tinggi pada detik-detik pergantian tahun, namun Indri mengaku tidak menambah stok. Pasalnya, stok yang dimiliki supplier sudah menipis. “Inginnya sih nambah stok. Tapi supplier sudah nggak punya stok. Jadi terpaksa kami jualan apa adanya,” cerita Indri.

Kasubdin Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Bagus Ketut Wijaya, mengakui kecenderungan peningkatan transaksi penjualan minuman keras menjelang tahun baru. Hal itu diduga karena banyaknya pesta tahun baru dengan minuman keras. Untuk mengantisipasi penyimpangan dalam distribusi miras, pihak disperindag menurutnya terus menurunkan tim untuk melakukan pemantauan. “Walaupun libur, tim pemantau tetap turun untuk menghindari adanya penyimpangan,” jelasnya kepada SINDO di Denpasar kemarin.

Secara umum, Wijaya juga mengakui adanya peningkatan transaksi penjualan miras di Bali selama tahun 2007 ini. Peningkatan terutama terlihat pada transaksi penjualan miras goloang B dengan kandungan alkohol 5-10 persen. Penjualan miras golongan B pada tahun 2007 ini (data sampai 27 Desember) mencapai 2,15 juta pieces, melonjak dari tahun 2006 lalu yang hanya 1,2 juta pieces. [ni komang erviani]

Sabtu, 29 Desember 2007

Wisatawan Bali Bakal Dimanja E-Kios

DENPASAR (SINDO) – Kunjungan wisatawan ke Bali terus digenjot. Salah satu upaya untuk memberi kenyamanan kepada wisatawan adalah dengan menyediakan sedikitnya 270 unit e-kios di setiap sudut obyek wisata di Bali.

E-kios (electronic kios) merupakan alat pemandu wisata secara elektronik yang bentuknya mirip ATM (anjungan tunai mandiri). Lewat e-kios, wisatawan dapat mengakses berbagai informasi terkait pariwisata Bali. Mulai dari peta menuju obyek wisata, nomor telepon penting, fasilitas-fasilitas wisata, informasi hotel, dan berbagai informasi lainnya.

Pembangunan e-kios merupakan program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Rencananya, sebanyak 270 unit e- kios akan disebar di sejumlah obyek wisata di Bali pada akhir pertengahan Januari mendatang. E-kios akan disebar di seluruh kabupaten/kota di Bali. Konsentrasi penyebaran terbanyak rencananya berada di Kabupaten Badung, terutama di kawasan Kuta dan Nusa Dua. “Karena aktivitas pariwisata di Kabupaten Badung paling padat, jadi alat ini paling banyak diletakkan di Badung,” jelas Herdy D Sayogha, Vice Chairman Bali Village, usai rapat persiapan e-kios di Denpasar kemarin.

Pengadaan e-kios menurut Herdy merupakan langkah positif untuk memperkuat citra Bali sebagai destinasi yang nyaman. “Pengadaan alat itu juga merupakan indikator dari modernisasi sebuah destinasi,” jelasnya. Apalagi, alat semacam e-kios sudah terbukti sangat membantu wisatawan di Singapura, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain di Eropa.

Dikatakan Herdy, e-kios merupakan langkah maju dalam pariwisata Bali. Apalagi, wisatawan dapat mengaksesnya melalui handphone, serta mendownload data atau gambar yang diperlukan. ”Ini luar biasa. Bagi wisatawan, ini jelas adalah kenyamanan,” jelasnya sembari menyatakan harapannya agar lokasi penempatan e-kios benar-benar dipertimbangkan agar efektif.

E-kios juga diharapkan tak sekadar memberi informasi peta atau obyek wisata, tetapi juga memberi informasi tentang telepon darurat, hingga jadwal penerbangan. Para pelaku wisata di Bali juga diharapkan peran sertanya dalam menambah daftar kalender of events pariwisata Bali. E-kios benar-benar mampu memberikan informasi terlengkap soal pariwisata Bali. Dengan demikian, wisatawan diharapkan mendapat manfaat besar dari e-kios.

Namun operasional e-kios diakui berisiko pada kerusakan teknis, entah akibat ulah tangan usil ataupun sebab lain. Atas hal itu, pengelola e-kios diharapkan mampu melakukan kontrol sehingga e-kios nantinya tidak menjadi barang mati yang mangkrak. ”Tapi pengelolanya sudah mengatakan bahwa mereka punya alat untuk mengontrol e-kios. Jadi e-kios yang mati akan terkontrol dari satu titik,” terang Herdy.

Senada dengan Herdy, Ketua Bali Tourism Board (BTB) Ngurah Wijaya juga menyambut positif rencana pembangunan e-kios. Menurutnya, e-kios akan sangat efektif untuk memberi informasi yang benar dan lengkap tentang Bali. E-kios juga diharapkan bisa memberi informasi detil tentang hal-hal kecil yang diperlukan wisatawan di Bali. “Seperti aturan tentang mengendarai motor di Bali, di mana sewa motor, berapa harganya, dan lain sebagainya,” harap Ngurah. [ni komang erviani]

Inflasi Ancam Ekonomi 2008

DENPASAR (SINDO) – Lonjakan inflasi mengancam sektor perekonomian nasional pada 2008 mendatang. Inflasi Indonesia pada 2007 yang mencapai 6,7%, diperkirakan akan makin melonjak di 2008 hingga menembus angka 7 %.

Meningkatnya inflasi dipicu oleh meningkatnya harga-harga bahan pangan. Pengamat ekonomi Faisal Basri menjelaskan, kenaikan harga pangan disebabkan karena menipisnya cadangan komiditas pangan di pasaran. “Ancaman inflasi sudah di depan mata,” ujar Faisal Basri dalam sebuah seminar tentang prospek ekonomi 2008 di Denpasar kemarin

Dikatakan Faisal, produsen beras dunia saat ini ragu menyalurkan berasnya ke pasar internasional karena cadangan beras yang makin menipis. Hal tersebut berisiko pada makin melambungnya harga beras di pasaran dunia.

Ironisnya lagi, banyak kebutuhan-kebutuhan pangan di Indonesia yang mengandalkan impor seperti terigu dan kedelai. Konsumsi terigu misalnya, kini sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Padahal stok terigu dunia saat ini makin menipis. ”Sayangnya, masyarakat kita sudah tergantung pada terigu yang harus diimpor. Sementara stok terigu dunia sekarang sudah turun drastis dan kini berada pada stok terendah dalam 60 tahun terakhir,” jelas Faisal.

Inflasi yang meninggi berisiko pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, pendapatan masyarakat dikikis oleh kenaikan harga-harga.

Kenaikan inflasi pada gilirannya juga akan menaikkan suku bunga. Bila suku bunga naik, maka dipastikan nilai investasi akan makin merosot. ”Padahal di tahun 2008 mendatang, kita harus tingkatkan investasi,” tegasnya.

Pertumbuhan ekonomi nasional diakui Faisal akan naik ke kisaran 6,4–6,5 %. Lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun 2007 ini yang berkisar 6,4–6,5%. Namun pertumbuhan ekonomi nasional saat ini masih mengandalkan sektor konsumsi dan ekspor. Sektor investasi masih memberikan andil yang sangat minim terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni di bawah 10 . ”Ini masih mengkhawatirkan. Diharapkan pertumbuhan sektor investasi jadi double digit tahun depan,” ujar mantan Ketua KPPU tersebut.

Harga minyak dunia yang terus melambung, menjadi tantangan lain bagi ekonomi nasional 2008. Apalagi, Indonesia termasuk negara yang paling boros dalam konsumsi minyak. Untuk memproduksi satu unit output misalnya, energi yang digunakan industri di Indonesia lima kali lipat lebih besar dibandingkan industri du Jepang. “Harga minyak tidak akan menjadi beban bila bangsa ini mau berhemat energi,” terangnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bali, Panudiana Kuhn, menilai pertumbuhan ekonomi di 2008 masih cukup prospektif bagi sektor usaha. Meski demikian, para pengusaha menurutnya harus melakukan merger untuk membangun usaha dengan permodalan yang kuat. Dengan demikian, pengusaha nasional mampu meningkatkan persaingannya dengan pengusaha asing. ”Pengusaha harus bersatu padu untuk menghadapi persaingan di 2008,” tegasnya. [ni komang erviani]

Rupiah Melemah, Pedagang Valas Was Was

DENPASAR (SINDO) – Kurs rupiah yang terus melemah terhadap dolar, membuat pedagang valuta asing (valas) was was. Pasalnya, pelemahan dolar di akhir tahun berisiko tinggi menyebabkan kerugian.

Menurut Sekjen Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA), Ayu Astuti Dhama, melemahnya rupiah di akhir tahun merupakan tren umum tahunan. Hal tersebut umum terjadi setiap tahun karena banyaknya aksi pembelian dolar oleh masyarakat. ”Kenaikan dolar kan pada dasarnya disebabkan orang-orang kita (indonesia,red) juga yang melakukan pengambilan dolar besar-besaran untuk liburan di luar negeri,” terangnya.

Namun kenaikan dolar di akhir tahun, jelas Ayu, biasanya akan diikuti oleh anjloknya dolar di awal tahun depan. Harga dolar yang saat ini berada di kisaran Rp. 9.400 misalnya, berisiko anjlok menjadi di bawah Rp. 9.200 per dolar. ”Sekarang harga dolar memang tinggi. Tapi belum tentu bertahan sampai awal tahun. Biasanya, harga dolar di awal tahun tiba-tiba anjlok,” keluh perempuan yang juga Wakil Ketua APVA Bali itu.

Risiko kerugian bagi pedagang valuta asing, menurut Ayu, menjadi jauh lebih besar karena perbankan tutup di akhir tahun. Akibatnya, pedagang valas terpaksa menjual dolarnya di awal tahun. ”Kita jual Januari, harganya bisa anjlok. Berisiko sekali,” cerita Ayu. Padahal, transaksi penukaran yang harus dilayani di masa libur akhir tahun cenderung meningkat di bandingkan hari biasa.

Untuk mencegah kerugian yang lebih besar, sejumlah pedagang valas terpaksa melakukan antisipasi dengan menaikkan split kurs. Split kurs merupakan selisih antara kurs riil dengan kurs yang diberikan kepada konsumen. Ayu menjelaskan, split kurs yang biasanya diambil pedagang valas pada kondisi normal hanya sekitar lima sampai 10 poin. Pada akhir tahun ini, para pedagang valas melakukan antisipasi dengan menaikkan split kurs menjadi 75 sampai 100 poin.

Aksi menaikkan split kurs terpaksa dilakukan pedagang valas untuk mengurangi risiko kerugian di awal tahun. ”Karena kalau nggak begitu, nanti waktu kita jual Januari harganya sudah turun. Harganya jadi tidak sesuai dengan pasar. Rugi dong kita,” ujarnya.

Menanggapi aksi pedagang valas menaikkan split kurs, Pemimpin Bank Indonesia Denpasar, Viraguna Bagoes Oka, mengingatkan agar pedagang valas tidak merugikan konsumen. Menurutnya, menaikkan split kurs sampai 100 poin merupakan aksi yang tidak seharusnya dilakukan dengan alasan apapu. Tidak terkecuali dengan alasan aktivitas perbankan yang tutup. ”Mestinya tidak begitu. Pedagang valas harus tetap ikuti mekanisme pasar. Mekanisme pasar kan sudah ada. Bank sentral sudah memberi sinyal terkait berapa kurs yang dipakai. Itu saja ikuti,” tegasnya.

Sebagai destinasi wisata dunia yang banyak dikunjungi wisatawan asing, transaksi penukaran valas di Bali lumayan tinggi. Data Bank Indonesia Denpasar menyebutkan, total transaksi penukaran valas di Bali selama 2006 mencapai USD 563,882. Jumlah tersebut naik tipis 6,43 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya USD 529.804. [ni komang erviani]



Transaksi Valas di Bali

Tahun Nilai Transaksi (dalam USD) Peningkatan
2002 754.211
2003 1.232.521 63,42 %
2004 641.165 -47,98 %
2005 529.804 -17,37 %
2006 563.882 6,43 %

Kamis, 27 Desember 2007

Hujan, Beban Listrik Bali Turun

DENPASAR (SINDO) – Hujan lebat yang melanda Bali sejak seminggu terakhir, membuat konsumsi listrik berkurang. Bahkan tepat di hari Natal, beban puncak konsumsi listrik hanya mencapai 391 megawatt (MW). Padahal dalam kondisi normal, beban puncak di Bali mencapai rata-rata 440 MW.

Humas Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Distribusi Bali, I Wayan Redika, menjelaskan, menurunnya beban puncak listrik sudah terasa sejak satu minggu terakhir. Pada malam Natal, Senin (24/12) misalnya, beban puncak hanya mencapai 405 MW. Padahal beban puncak di malam Natal biasanya mengalami kenaikan karena banyaknya kegiatan yang dilakukan untuk perayaan. Beban puncak pada malam Natal tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai lebih dari 440 MW.

Tak cuma pada malam Natal, penurunan beban puncak juga terjadi tepat di hari Natal. Berdasarkan catatan PLN Distribusi Bali, beban puncak pada Selasa (25/12) hanya mencapai 391 MW.

Penurunan konsumsi listrik diperkirakan karena hujan lebat yang terjadi hampir sepanjang hari seminggu terakhir telah menyebabkan berkurangnya aktivitas masyarakat. “Mungkin Karena malam Natal tahun ini hujan, jadi aktivitas sedikit, dan AC (Air Conditioner,red) tidak dinyalakan,” terang Redika kemarin.

Meski demikian, hujan lebat yang sesekali diikuti angin kencang membuat banyak gangguan instalasi kabel PLN. Volume gangguan mencapai dua sampai tiga kali lipat dari hari biasa. Dijelaskan Redika, dalam cuaca normal petugas PLN hanya menangani rata-rata 2 sampai 3 gangguan per hari. Memasuki musim hujan dan angin seminggu belakangan, gangguan yang harus ditangani mencapai 7 sampai 10 gangguan per hari.

Gangguan instalasi listrik terutama terjadi akibat kabel yang terputus karena pohon tumbang, atau ranting pohon yang patah. Oleh pihak PLN, gangguan ini biasa disebut gangguan penyulang. Namun gangguan yang terjadi hingga saat ini belum terlalu mengkhawatirkan karena tidak menyebabkan kerusakan permanent. “Gangguannya masih ringan, tidak sampai memutus aliran listrik secara besar-besaran,” Redika menjelaskan.

Menghadapi Tahun Baru 2008 mendatang, Redika tegas menyebut pasokan listrik Bali masih aman. Beban puncak yang tersedia di seluruh wilayah Bali mencapai total 562 MW. Pasokan listrik Bali saat ini mengandalkan dari empat sumber, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Pemaron Buleleng sebesar 80 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesek (PLTD) Pesanggaran Denpasar sebesar 152 MW, PLTG Gilimanuk sebesar 130 MW, serta listrik dari Pulau Jawa lewat kabel laut sebesar 200 MW. Redika berharap masyarakat mau berhemat listrik dalam tahun baru mendatang, untuk mengurangi beban listrik di Bali.[ni komang erviani]

Cuaca Buruk, Pengusaha Wisata Bahari Merugi

DENPASAR (SINDO) – Cuaca buruk yang melanda wilayah Bali akhir-akhir ini, membuat para pengusaha wisata bahari merugi. Pasalnya, banyak wisatawan membatalkan rencananya berwisata di laut. Pembatalan mencapai sekitar 50 – 70 persen dari total booking.

Salah seorang pengusaha wisata bahari yang berkantor di Jl. Danau Tamblingan Sanur, I Ketut Ena Partha, mengakui banyaknya cancellation (pembatalan) sejak hujan disertai angin terjadi di Bali. Pemilik Ena Dive Center itu menjelaskan cancellation yang diterima sebanyak 50 persen dari total booking dalam satu minggu terakhir. Pada Rabu (26/12) kemarin misalnya, ada 10 orang wisatawan yang membatalkan rencana diving (menyelam). Sementara pada Selasa (25/12), ada 5 cancellation.

Aksi pembatalan disebabkan karena sebagian besar wisatawan merasa khawatir melakukan aktivitas wisata di laut dalam cuaca buruk. Pembatalan tidak cuma dilakukan untuk kegiatan diving, tetapi juga wisata memancing dan wisata melihat dolphin (lumba-lumba). Cancellation banyak dilakukan wisatawan Jepang dan Eropa. “Rata-rata mereka takut beraktivitas di laut,” ujarnya.

Banyaknya cancellation, diakui Ena, menyebabkan kerugian yang lumayan besar. Sayang, Ena enggan menyebut total kerugian yang dialaminya. Namun sebagai gambaran saja, tariff yang dipatokj untuk sekali diving mencapai USD 70 – 120, atau Rp. 650 ribu sampai Rp. 1 juta rupiah.

Meski merugi, Ena mengaku usahanya cukup terbantu dengan adanya wisatawan yang tetap berani melakukan aktivitas bahari. Beberapa wisatawan tetap nekat melakukan diving ataupun memancing, meski hujan. Menurut Ena, cuaca buruk di masa akhir tahun sudah menjadi hal biasa yang rutin terjadi. Cuaca buruk yang terjadi kali ini, justru dinilai tidak terlalu buruk karena air laut tidak terlalu keruh dan arus tidak terlalu kencang. Arus kencang hanya terjadi di perairan sebelah selatan Sanur, yakni di kawasan Uluwatu yang menjadi lokasi melihat dolphin . Karenanya, aktivitas wisata untuk sementara tidak diarahkan ke sana. “Sepanjang situasinya masih cukup aman, kami tetap melayani wisatawan yang tetap ingin berwisata di laut. Yang pasti, faktor keamanan dan keselamatan bagi kami tetap di atas segalanya,” ujarnya berpromosi.

Kerugian yang cukup besar juga dirasakan pengusaha wisata bahari lainnya, Yos WK. Amertha. Pemilik Yos Dive Center itu bahkan mengakui menerima pembatalan sebanyak 70 – 80 persen dari total booking. Padahal, booking yang ada untuk akhir tahun ini menurutnya cukup besar. Sayang, Yos menolak menyebutkan jumlahnya secara rinci. “Cuaca buruk, bisnis wisata bahari juga terpuruk,” begitu Yos.

Walau harus menanggung kerugian yang cukup besar di akhir tahun, namun Yos mengaku senang dengan perkembangan bisnis wisata bahari di Bali selama tahun 2007 ini. Pria yang juga Ketua Gabungan Wisata Bahari (Gahawisri) Bali itu menilai bisnis pariwisata di tahun 2007 sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun 2006. “Semoga di tahun depan bisa lebih baik lagi,: harapnya. [ni komang erviani]

Turis China ke Bali Naik 113,2 %

DENPASAR(SINDO) – Selama 2007, jumlah wisatawan China yang melakukan perjalanan wisata ke Bali naik hingga 113,2%. Pada 2006, jumlah turis dari China hanya 36.394 orang, kini meningkat jadi 77.592 orang.

“Bahkan, mampu menempati urutan VI pada 2007, dari peringkat XI pada 2006, setelah Jepang,Australia,Taiwan, Korea, dan Malaysia,” kata praktisi pariwisata Bali Tjok Gde Agung kemarin. Turis asal Hong Kong yang melancong ke Bali juga mengalami peningkatan signifikan, yakni 29%, dari 8.572 orang menjadi 11.055 orang.

Pengusaha di sektor pariwisata ini mengaku gembira atas jumlah kunjungan wisatawan dari China dan Hong Kong tersebut.Namun, Tjok Agung mengimbau pemerintah bersama komponen pariwisata agar tetap bekerja keras untuk bisa menarik wisatawan China ke Bali. Ini penting, mengingat jumlah warga China yang melakukan kunjungan ke luar negeri sekitar 34 juta per tahun. Berarti, turis China yang berlibur ke Bali tidak lebih dari 0,2% jika dibanding dengan masyarakat asal tirai bambu itu yang melakukan perjalanan ke luar negeri.

Karena itu,Pemprov Bali perlu lebih kerja keras.“Jumlah itu bertambah terus setiap tahunnya,” tandas Tjok Agung yang juga pengusaha di bidang perhotelan. Pada 2002 lalu pernah ditargetkan turis asal China yang akan berlibur ke Bali sedikitnya 150.000 orang per bulan. Namun, belum pernah terealisasi sepenuhnya hingga sekarang. Salah satu kendalanya yakni terkait pengurusan visa. “Begitu pula jasa penukaran uang China (Yuan) masih langka di pulau wisata Bali.” Di sisi lain, Tjok Agung mengaku bangga dengan seringnya para pejabat di Bali yang mendatangi China dalam rangka menarik kedatangan para turis.

“Perjalanan dinas ke China tentu dengan mewacanakan sekaligus mempromosikan sektor pariwisata di negeri tersebut.” Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali juga pernah mengikutsertakan para pengusaha dan perajin dalam kegiatan pameran dagang bertaraf internasional di China dan cara itu pula dapat menarik minat turis negeri itu ke Bali. Di bagian lain, cuaca buruk yang melanda wilayah Bali akhir-akhir ini membuat para pengusaha wisata bahari merugi.

Pasalnya, banyak wisatawan membatalkan rencananya berwisata di laut. Para pengusaha wisata bahari mengaku, pembatalan mencapai sekitar 50–70% dari total booking. “Dalam seminggu ini, cancellation (pembatalan) yang kami terima mencapai 50% dari total booking,” kata I Ketut Ena Partha,pemilik Ena Dive Center. Pengusaha yang berkantor di Jalan Danau Tamblingan,Sanur, ini menjelaskan, aksi pembatalan disebabkan banyaknya wisatawan yang merasa khawatir melakukan aktivitas wisata di laut dalam cuaca buruk.

Pembatalan tidak cuma dilakukan untuk kegiatan diving,tetapi juga wisata memancing dan wisata melihat dolphin (lumbalumba). Pembatalan banyak dilakukan wisatawan Jepang dan Eropa. Ena mengaku, banyaknya cancellation menyebabkan kerugian yang lumayan besar.Sebagai gambaran saja, tarif yang dipatok untuk sekali diving mencapai USD70–120 atau Rp650 ribu–Rp1 juta.

Meski merugi, Ena mengaku usahanya cukup terbantu dengan adanya wisatawan yang tetap berani melakukan aktivitas bahari. Beberapa wisatawan tetap nekat melakukan diving ataupun memancing meski hujan. Menurut Ena, cuaca buruk di masa akhir tahun sudah menjadi hal biasa yang rutin terjadi. Cuaca buruk yang terjadi kali ini justru dinilai tidak terlalu buruk karena air laut tidak terlalu keruh dan arus tidak terlalu kencang.

Arus kencang hanya terjadi di perairan sebelah selatan Sanur, yakni di kawasan Uluwatu yang menjadi lokasi melihat dolphin. Karena itu, aktivitas wisata untuk sementara tidak diarahkan ke sana. “Sepanjang situasinya masih cukup aman, kami tetap melayani wisatawan yang tetap ingin berwisata di laut.Faktor keamanan bagi kami tetap di atas segalanya.” (ni komang erviani/ant / dimuat di Koran SINDO Edisi Kamis 27 Des 2007)

Hujan, Beban Listrik Bali Turun

DENPASAR (SINDO) – Hujan lebat yang melanda Bali sejak seminggu terakhir, membuat konsumsi listrik berkurang. Bahkan tepat di hari Natal, beban puncak konsumsi listrik hanya mencapai 391 megawatt (MW). Padahal dalam kondisi normal, beban puncak di Bali mencapai rata-rata 440 MW.

Humas Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Distribusi Bali, I Wayan Redika, menjelaskan, menurunnya beban puncak listrik sudah terasa sejak satu minggu terakhir. Pada malam Natal, Senin (24/12) misalnya, beban puncak hanya mencapai 405 MW. Padahal beban puncak di malam Natal biasanya mengalami kenaikan karena banyaknya kegiatan yang dilakukan untuk perayaan. Beban puncak pada malam Natal tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai lebih dari 440 MW.

Tak cuma pada malam Natal, penurunan beban puncak juga terjadi tepat di hari Natal. Berdasarkan catatan PLN Distribusi Bali, beban puncak pada Selasa (25/12) hanya mencapai 391 MW.

Penurunan konsumsi listrik diperkirakan karena hujan lebat yang terjadi hampir sepanjang hari seminggu terakhir telah menyebabkan berkurangnya aktivitas masyarakat. “Mungkin Karena malam Natal tahun ini hujan, jadi aktivitas sedikit, dan AC (Air Conditioner,red) tidak dinyalakan,” terang Redika kemarin.

Meski demikian, hujan lebat yang sesekali diikuti angin kencang membuat banyak gangguan instalasi kabel PLN. Volume gangguan mencapai dua sampai tiga kali lipat dari hari biasa. Dijelaskan Redika, dalam cuaca normal petugas PLN hanya menangani rata-rata 2 sampai 3 gangguan per hari. Memasuki musim hujan dan angin seminggu belakangan, gangguan yang harus ditangani mencapai 7 sampai 10 gangguan per hari.

Gangguan instalasi listrik terutama terjadi akibat kabel yang terputus karena pohon tumbang, atau ranting pohon yang patah. Oleh pihak PLN, gangguan ini biasa disebut gangguan penyulang. Namun gangguan yang terjadi hingga saat ini belum terlalu mengkhawatirkan karena tidak menyebabkan kerusakan permanent. “Gangguannya masih ringan, tidak sampai memutus aliran listrik secara besar-besaran,” Redika menjelaskan.

Menghadapi Tahun Baru 2008 mendatang, Redika tegas menyebut pasokan listrik Bali masih aman. Beban puncak yang tersedia di seluruh wilayah Bali mencapai total 562 MW. Pasokan listrik Bali saat ini mengandalkan dari empat sumber, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Pemaron Buleleng sebesar 80 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesek (PLTD) Pesanggaran Denpasar sebesar 152 MW, PLTG Gilimanuk sebesar 130 MW, serta listrik dari Pulau Jawa lewat kabel laut sebesar 200 MW. Redika berharap masyarakat mau berhemat listrik dalam tahun baru mendatang, untuk mengurangi beban listrik di Bali.[ni komang erviani]

Cuaca Buruk, Pengusaha Wisata Bahari Merugi

DENPASAR (SINDO) – Cuaca buruk yang melanda wilayah Bali akhir-akhir ini, membuat para pengusaha wisata bahari merugi. Pasalnya, banyak wisatawan membatalkan rencananya berwisata di laut. Pembatalan mencapai sekitar 50 – 70 persen dari total booking.

Salah seorang pengusaha wisata bahari yang berkantor di Jl. Danau Tamblingan Sanur, I Ketut Ena Partha, mengakui banyaknya cancellation (pembatalan) sejak hujan disertai angin terjadi di Bali. Pemilik Ena Dive Center itu menjelaskan cancellation yang diterima sebanyak 50 persen dari total booking dalam satu minggu terakhir. Pada Rabu (26/12) kemarin misalnya, ada 10 orang wisatawan yang membatalkan rencana diving (menyelam). Sementara pada Selasa (25/12), ada 5 cancellation.

Aksi pembatalan disebabkan karena sebagian besar wisatawan merasa khawatir melakukan aktivitas wisata di laut dalam cuaca buruk. Pembatalan tidak cuma dilakukan untuk kegiatan diving, tetapi juga wisata memancing dan wisata melihat dolphin (lumba-lumba). Cancellation banyak dilakukan wisatawan Jepang dan Eropa. “Rata-rata mereka takut beraktivitas di laut,” ujarnya.

Banyaknya cancellation, diakui Ena, menyebabkan kerugian yang lumayan besar. Sayang, Ena enggan menyebut total kerugian yang dialaminya. Namun sebagai gambaran saja, tariff yang dipatokj untuk sekali diving mencapai USD 70 – 120, atau Rp. 650 ribu sampai Rp. 1 juta rupiah.

Meski merugi, Ena mengaku usahanya cukup terbantu dengan adanya wisatawan yang tetap berani melakukan aktivitas bahari. Beberapa wisatawan tetap nekat melakukan diving ataupun memancing, meski hujan. Menurut Ena, cuaca buruk di masa akhir tahun sudah menjadi hal biasa yang rutin terjadi. Cuaca buruk yang terjadi kali ini, justru dinilai tidak terlalu buruk karena air laut tidak terlalu keruh dan arus tidak terlalu kencang. Arus kencang hanya terjadi di perairan sebelah selatan Sanur, yakni di kawasan Uluwatu yang menjadi lokasi melihat dolphin . Karenanya, aktivitas wisata untuk sementara tidak diarahkan ke sana. “Sepanjang situasinya masih cukup aman, kami tetap melayani wisatawan yang tetap ingin berwisata di laut. Yang pasti, faktor keamanan dan keselamatan bagi kami tetap di atas segalanya,” ujarnya berpromosi.

Kerugian yang cukup besar juga dirasakan pengusaha wisata bahari lainnya, Yos WK. Amertha. Pemilik Yos Dive Center itu bahkan mengakui menerima pembatalan sebanyak 70 – 80 persen dari total booking. Padahal, booking yang ada untuk akhir tahun ini menurutnya cukup besar. Sayang, Yos menolak menyebutkan jumlahnya secara rinci. “Cuaca buruk, bisnis wisata bahari juga terpuruk,” begitu Yos.

Walau harus menanggung kerugian yang cukup besar di akhir tahun, namun Yos mengaku senang dengan perkembangan bisnis wisata bahari di Bali selama tahun 2007 ini. Pria yang juga Ketua Gabungan Wisata Bahari (Gahawisri) Bali itu menilai bisnis pariwisata di tahun 2007 sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun 2006. “Semoga di tahun depan bisa lebih baik lagi,: harapnya. [ni komang erviani]

Selasa, 25 Desember 2007

Kendaraan Sewa Full Booking

* Libur Akhir Tahun di Bali



DENPASAR (SINDO) – Sekitar 2.500 armada kendaraan sewa yang ada di Bali, dipastikan bakal beroperasi selama masa liburan Natal dan Tahun Baru ini. Kepastian itu disampaikan Ketua Perhimpunan Pengusaha Angkutan Wisata Bali (PAWIBA), Bagus Sudiana, kepada SINDO di Denpasar Senin (24/12) kemarin.

Dikatakan Sudiana, banyaknya wisatawan asing dan domestik yang menghabiskan masa liburannya di Bali membuat banyak permintaan atas kendaraan sewa. Bahkan 2.500 kendaraan sewa yang tercatat di bawah PAWIBA Bali, sudah dipesan sejak jauh-jauh hari.

Peningkatan jumlah permintaan sudah terjadi sejak akhir pekan kemarin dan diperkirakan berakhir pada dua hari paska malam pergantian tahun. “Kendaraan sewa sudah full booking semua,” terang Bagus yang juga pemilik Seruni Transport.

Tingginya permintaan atas kendaraan sewa terjadi pada semua jenis, merk, ataupun tipe kendaraan. Tak cuma bus dan minibus, kendaraan kecil biasapun banyak peminatnya. Karenanya, sekitar 128 pengusaha angkutan wisata legal di Bali dipastikan bakal panen hingga awal tahun depan. Itu belum termasuk kendaraan-kendaraan sewa yang dikelola secara illegal. Untuk diketahui, keberadaan kendaraan sewa yang tidak mengantongi izin sewa cukup banyak tersedia di kawasan-kawasan wisata di Bali.

Sudiana menjelaskan, permintaan atas kendaraan sewa pada akhir tahun ini lebih didominasi oleh permintaan untuk full day tour (sewa 24 jam,red). Meski over permintaan, namun tarif persewaan kendaraan selama akhir tahun ini tidak mengalami kenaikan. Untuk layanan full day tour misalnya, dikenakan biaya Rp. 800 ribu per kendaraan. Sementara untuk half day tour, atau perjalanan wisata setengah hari, dikenakan biaya Rp. 500 ribu per satu kendaraan.

Peningkatan permintaan atas kendaraan sewa ppada libur akhir tahun ini, cukup memberi angin segar bagi pengusaha angkutan wisata di Bali. Pasalnya menurut Sudiana, usaha angkutan wisata di Bali cukup terpuruk paska tragedi Bom Bali pada 2002 dan 2005 lalu.

Hal senada disampaikan Yus Suhartana, pengusaha angkutan wisata lainnya di Bali. Pemilik Nusantara Transport itu mengaku senang dengan tingginya permintaan pada libur Natal dan Tahun Baru ini. Apalagi, sebanyak 17 armada yang dimilikinya bisa beroperasi secara maksimal di akhir tahun ini. Padahal paska bom Bali lalu, beberapa armadanya sempat menganggur dalam jangka waktu yang cukup lama gara-gara sepi wisatawan. “Kenaikannya cukup membahagiakan untuk pengusaha kecil seperti kami. Apalagi, waktu UNFCCC lalu juga sudah ada banyak sekali permintaan,” ujarnya senang.

Seperti diberitakan sebelumnya, wisatawan asing dan domestic dipastikan bakal menyerbu Bali pada libur akhir tahun ini. Sebagian besar biro perjalanan wisata telah menerima banyak sekali permintaan layanan wisata dari wisatawan asing dan domestik. Sebagian besar hotel di kawasan Sanur, Kuta, dan Nusa Dua juga telah full booking. [ni komang erviani]

Harga Emas Makin Tak Stabil

DENPASAR (SINDO) – Harga emas di Denpasar makin tidak stabil. Berdasarkan pantauan SINDO di sentra penjualan perhiasan emas di Jl. Hassanudin Den pasar Bali Senin (24/12) kemarin, perhiasan emas dengan kadar 18 karat dijual dengan harga Rp. 185 ribu per gram. Padahal seminggu lalu, harganya cuma Rp. 170 ribu per gram. Sementara harga emas dengan kadar 22 karat dijual Rp. 200 ribu per gram, naik dari Rp. 190 ribu per gram.

Menurut salah seorang pedagang , Jupri, harga emas makin tidak stabil sejak enam bulan terakhir. Pria berusia 31 tahun itu menduga ketidakstabilan harga emas terkait dengan lonjakan harga minyak dunia yang kini telah menyentuh USD 94.per barel. “Kayaknya sih karena harga minyak dunia yang katanya naik,” ujarnya.

Ketidakstabilan harga emas, menurut Jupri, telah membuat nasib pedagang emas makin tidak karuan. Pasalnya, pedagang seringkali harus menanggung rugi bila harga emas tiba-tiba anjlok. Pasalnya, harga emas dapat berubah setiap waktu. Padahal sebelumnya, harga emas bisa bertahan pada nominal yang sama hingga berbulan-bulan. “Kalau dulu, emas bisa bertahan di harga yang sama sampai enam bulan atau satu tahunan. Kalau sekarang, harganya makin nggak karuan. Sekarang naik, besok bisa turun. Risiko ruginya banyak,” keluh Jupri.

Hal senada juga disampaikan Wayan Sani, pedagang emas lainnya. Dikatakan Sani, harga emas yang tidak stabil membuatnya harus sangat berhati-hati menentukan harga jual. Karenanya, setiap saat ia harus selalu memantau harga umum. “Biar nggak rugi. Kalau salah harga, nanti rugi,” terangnya.

Meski harganya tak stabil, perdagangan emas di Denpasar tetap ramai. Apalagi terkait serangkaian hari raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru ini. Sejumlah warga Denpasar memilih berbelanja perhiasan emas untuk dikenakan di hari raya. Namun sejumlah pedagang mengaku belum ada peningkatan penjualan dari hari-hari biasa. Jupri misalnya, mengakui omset penjualannya masih normal di kisaran Rp. 20 hingga 25 juta per hari.

Salah seorang konsumen, Novita, mengaku tak khawatir dengan ketidakstabilan harga emas. Ditemui sesaat setelah membeli sebuah kalung emas di salah satu toko emas Jl. Hassanudin, perempuan asal Manado itu mengaku tetap senang menabung dalam emas. Menjelang Natal, ia sengaja membeli sebuah kalung emas agar bisa dikenakan di Hari Natal. Dikatakan, investasi emas tetap paling aman dan menjanjikan.“Biar bisa dipakai Natalan, sekaligus nabung,” terangnya. [ni komang erviani]

Minggu, 23 Desember 2007

Mengeruk Dolar di Walidwipa

Bali bukan cuma nyaman untuk berwisata, melainkan juga untuk berinvestasi.Sebanyak 70% investasi di Bali dikuasai asing.Parahnya,semua keuntungan investasi justru dibawa pergi dari Bali.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali, sepuluh tahun silam, Benjamin Ripple langsung jatuh cinta. Hanya dalam rentang tiga hari, pria berkewarganegaraan Amerika Serikat itu langsung menginvestasikan modalnya di Bali. Padahal sebelumnya dia sempat menjelajah wilayah Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

”Ketika pertama kali tiba di Bali, saya sudah lihat ada peluang untuk berinvestasi,” ujar Ben, begitu dia biasa disapa. Ben memilih berinvestasi di bidang pertanian, bidang yang sama dengan latar belakang pendidikannya. Sayang, Ben enggan menyebut nominal uang yang diinvestasikannya ketika itu.

Tidak puas dengan investasi pertamanya, pada 2004 Ben kembali menginvestasikan modalnya di perusahaan lain dengan bidang usaha serupa. Sebanyak USD500.000 ditanamkan Ben dalam perusahaan yang kini dipimpinnya sendiri,PT Bening Big Tree Farms. Perusahaan yang berkantor di Jln By Pass Ngurah Rai Denpasar itu, kini aktif melakukan ekspor beberapa produk pertanian, seperti kakao,jambu mede, merica, garam, hingga gula jawa.

Ada sekitar 30 tenaga kerja yang kini menggantungkan hidup pada perusahaan eksportir hasil pertanian tersebut. Ada juga ribuan petani garam, petani kakao, petani jambu mede, dan perajin gula jawa yang rutin memasok produk ke perusahaan yang kini telah melebarkan sayap ke Yogyakarta,Jawa Tengah, dan Flores itu.

Meski masih membukukan kerugian, Ben optimistis investasinya di PT Bening Big Tree Farms bakal mulai meraup untung pada 2008 nanti. ”Untuk keluar dari garis merah (rugi) ke hitam (untung), biasanya perlu waktu 3–6 tahun,” harapnya. Investasi di Bali rupanya sudah sangat membuai Ben. Dia bahkan berencana untuk berinvestasi lagi di bidang lain dalam waktu dekat. Bentuknya? ”Masih rahasia,” ujarnya sambil tersenyum.

Sebutan paradise island yang rekat pada nama Bali rupanya bukan sekadar istilah. Bali atau dulunya disebut Walidwipa, ternyata bukan cuma surga bagi wisatawan yang ingin berlibur, melainkan juga surga bagi investor asing. Ben hanyalah satu dari banyak orang asing yang memilih menaruh modalnya di Bali.

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali telah menerbitkan sedikitnya 218 surat persetujuan investasi asing dengan nominal total Rp36,3 triliun. Sedangkan surat persetujuan investasi dalam negeri yang diterbitkan pada kurun waktu tersebut, 34 buah dengan nominal sebesar Rp14,9 triliun. Artinya, 70% dari total investasi di Bali selama kurun waktu 10 tahun terakhir dikuasai investor asing.

Hanya ada 30% investasi yang benarbenar milik investor dalam negeri. Besarnya ”kekuasaan” asing pada pundipundi ekonomi Bali, paling terlihat pada sektorsektor yang terkait erat dengan pariwisata, di antaranya sektor konstruksi (Rp13,7 triliun), perdagangan (Rp11,4 triliun), serta hotel dan restoran (Rp9 triliun).Itu belum termasuk investasi ”terselubung”yang tentu saja tidak tercatat di BKPMD Bali.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat 75% investasi bidang akomodasi di Bali dikuasai investor asing. Sebagai gambaran, saat ini ada sedikitnya 53.000 kamar hotel di seluruh Bali. 30% dari jumlah itu merupakan hotel berbintang yang seluruhnya dikuasai investor asing. Sudah bukan rahasia lagi, banyak investor asing yang memilih berinvestasi secara ”terselubung” dengan ”meminjam” nama warga lokal.

Beberapa di antaranya bahkan mengambil jalan pintas dengan menikahi warga lokal. Pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, I Made Kembar Sri Budhi, mensinyalir fenomena ”nikah sembari berinvestasi” ini muncul karena banyak investor yang tidak mau ribet dengan aturan hukum di Indonesia. Ironisnya,warga lokal justru merasa diuntungkan dengan aksi para investor asing itu karena mampu menaikkan derajat ekonominya.

Banyaknya investasi asing ”terselubung”, membuat serbuan investor asing ilegal di Bali makin tidak terkendalikan. Banyak di antaranya kini telah ”menyerbu” hingga ke daerah-daerah pelosok Bali dengan membangun vila-vila pribadi yang disewakan. Tingginya investasi asing di Bali sayangnya tidak dibarengi penyerapan tenaga kerja lokal dalam jumlah cukup banyak. Jumlah tenaga kerja yang diserap investasi asing di Bali hanya sebanyak 95.351 orang.

Padahal, jumlah angkatan kerja yang ada di Bali saat ini mencapai 2,01 juta orang. Sementara itu, ada sebanyak 5.571 orang pekerja asing yang diserap investor asing di Bali. Secara angka, investor asing memang menyerap lebih banyak tenaga kerja Indonesia dibandingkan tenaga kerja asing.

Namun, tenaga kerja lokal umumnya menduduki level menengah ke bawah. Level manajer dan pembuat kebijakan di perusahaan asing umumnya dipegang pekerja asing. Level yang tentu saja mendapatkan penghasilan dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lokal. Kecenderungan ”membayar” pekerja lokal dalam jumlah yang jauh lebih kecil,bahkan juga terjadi pada posisi-posisi yang sebenarnya satu level.

Sebagai contoh, pekerja lokal dan asing yang sama-sama menduduki posisi manajer bagian di sebuah hotel akan mendapat gaji yang berbeda. Pekerja asing umumnya cenderung menerima jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan pekerja asing.

”Celakanya, investor asing membayar orang kita lebih rendah, meski dalam posisi yang sama,” keluh Murjana Yasa, pengamat ekonomi dari Universitas Udayana. Investasi asing pada masa-masa awal Orde Baru, harus diakui mampu menggairahkan perekonomian masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali masyarakat Bali.

Namun dengan makin tingginya kepemilikan asing pada pundipundi ekonomi Bali dalam beberapa tahun terakhir, justru menyebabkan banyaknya kebocoran di sana sini. Banyak keuntungan asing yang lantas dibawa ke negara mereka masingmasing.

”Sayangnya, tidak banyak investor asing yang me-reinvest keuntungannya di Bali. Ini menyebabkan kebocoran pendapatan luar biasa karena keuntungan dibawa ke luar negeri,” tegas Murjana.

Melihat angka pertumbuhan ekonomi Bali, memang ada tanda-tanda peningkatan yang cukup melegakan. Lihat saja bagaimana pertumbuhan ekonomi Bali terus merangkak naik dari pascakrisis 1999 hanya sebesar 0.69%, mencapai 5,9% pada 2006. Pada 2007 ini, pertumbuhan dipastikan naik lagi menjadi 6%.

Bahkan pada 2008 mendatang,sejumlah pengamat memprediksi pertumbuhan ekonomi Bali akan bisa menyentuh angka 7%. Namun, apa yang terjadi di balik itu? Ironis. Ketika pertumbuhan ekonomi Bali terus merangkak naik,jumlah penduduk miskin di Bali justru ikut merangkak naik.

Badan Pusat Statistik Bali mencatat hingga Maret 2007 total penduduk miskin di Bali sebanyak 229.000 orang. Jumlah itu 6,63% dari total penduduk Bali sekitar 3,4 juta orang.Padahal data yang diperoleh pada Juli 2005 silam mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 228.400 orang.

Kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.Selama Juli 2005 hingga Maret 2007, garis kemiskinan mengalami kenaikan sebesar 8,81%, yaitu dari Rp152.519 per kapita per bulan pada Juli 2005 menjadi Rp165,954 per kapita per bulan pada Maret 2007.

Tingginya investasi asing dan pertumbuhan ekonomi yang juga berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan di Bali, menunjukkan betapa investasi asing di Bali belum mampu meningkatkan perekonomian dari masyarakat Bali itu sendiri. Kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Bali masih digerakkan konsumsi.

Bank Indonesia mencatat ada tiga komponen dari sisi permintaan yang menggerakkan angka pertumbuhan ekonomi Bali,yakni konsumsi rumah tangga sebesar 14,36%, diikuti investasi (9,06%) dan konsumsi pemerintah (6,38%). Sementara dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi terutama digerakkan sektor pengangkutan sebesar 13,39%, diikuti sektor keuangan (12,86%) dan sektor industri pengolahan (11,04%).

”Tingginya konsumsi dalam jangka panjang akan menyebabkan disinsentif bagi perekonomian,” aku Pemimpin Bank Indonesia Denpasar Viraguna Bagoes Oka. Oleh karena itu, investasi asing masih sangat diperlukan untuk meningkatkan perekonomian Bali. Diharapkan, masuknya investasi Bali bisa menekan peningkatan angka pengangguran di Bali. (ni komang erviani/andika hendra mutaqim/ dimuat di Koran SINDO Minggu 23/12/2007)

Sabtu, 22 Desember 2007

Apa Daya Investor Lokal

Investasi memang universal. Tidak memandang apakah asing atau lokal. Siapa yang memiliki kapital besar, kemungkinan besar akan menguasai pasar. Namun, minimnya investor lokal di Bali memang patut dipertanyakan.

Investor dalam negeri tampaknya kalah bersaing dengan investor asing yang mempunyai modal lebih besar. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjok Oka Artha Ardana Sukawati mengakui adanya kelemahan investor lokal dalam berinvestasi. Cok Ace, sapaan karibnya, beralasan hal itu akibat dari minimnya transfer pengetahuan oleh para investor asing kepada masyarakat Bali.

Namun, Cok Ace menolak melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada investor asing. Dikatakan, investor asing telah terbukti memiliki kekuatan modal yang lebih tinggi dan keberanian yang jauh lebih besar dalam berinvestasi. Kemampuan investor asing tersebutlah yang menjadikan dorongan terbesar bagi mereka untuk berinvestasi di Bali.

”Sudah menjadi hukum dagang bahwa di mana ada peluang dan ada kemampuan maka investasi pun bisa dijalankan,”ujarnya pada SINDO. Selain kemampuan berinvestasi yang rendah, iklim investasi dalam negeri juga tidak cukup menguntungkan bagi investor lokal. Seperti diakui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali Panudiana Kuhn.

Dia menunjuk tingginya tingkat suku bunga kredit di Indonesia membuat daya saing pengusaha lokal menjadi sangat rendah. Suku bunga kredit perbankan di Indonesia saat ini rata-rata 14%, jauh lebih besar dibandingkan suku bunga tabungan yang hanya sekitar 8%. Padahal di luar negeri, selisih antara suku bunga kredit dan tabungan sangat tipis.Suku bunga kredit di Singapura misalnya, kini hanya sekitar 6,5%, atau sekitar 1% lebih tinggi dari suku bunga 5,5%.

”Jadi jelas daya saing pengusaha lokal jauh lebih rendah, karena kita harus bayar bunga bank jauh lebih besar,” keluh pengusaha tekstil itu. Australia sebagai negara yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat Bali,menjadi ”penguasa” dari pundi-pundi ekonomi Bali.Investasi Australia menduduki peringkat pertama investasi di Bali, diikuti Singapura,Jepang,Amerika Serikat, dan Korea Selatan.

Sejak 1998 hingga 2007 ini, investasi Australia di Bali yang tercatat sudah mencapai USD609.700. Sementara investasi Singapura sebesar USD427.400, Jepang USD131.350. Amerika Serikat USD107.100, dan Korea Selatan USD93.000. Apa pun alasannya, serbuan investor asing menjadi tantangan tersendiri yang harus dijawab Bali.

Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) di Bali bisa menjadi salah satu langkah untuk makin meningkatkan peran masyarakat lokal dalam perekonomian Bali. ”Masyarakat dan tenaga kerja di Bali harus meningkatkan kemampuannya, agar memiliki bargaining power yang tinggi untuk bisa bersaing. Ini penting agar masyarakat Bali benar-benar merasakan manfaat dari keberadaan para investor asing di Bali,” tegas Murjana.

Patut dipikirkan sebuah regulasi investasi yang bisa membantu investor lokal.Salah satu yang bisa dicoba adalah setiap investasi asing diwajibkan menggandeng pengusaha lokal sebagai partner. Atau mungkin membuat regulasi yang mewajibkan, jabatan tertentu diisi orang Bali. (ni komang erviani/ andika hendra mutaqim / Dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Jangan Anaktirikan Pertanian dan Kelautan

PARIWISATA merupakan prospek investasi yang masih diandalkan di Bali,namun potensi pertanian dan kelautan juga patut menjadi andalan.

Akan sangat bagus menggabungkan pariwisata, pertanian, dan kelautan menjadi sinergis. Wisata terpadu menjadi pendidikan Pemerintah Provinsi Bali. Kesuksesan Bali Tourism Development Center (BTDC) Nusa Dua akan ditiru untuk diterapkan di berbagai kabupaten di Bali.

Salah satu kawasan yang bisa dikembangkan adalah Batu Ampar, Grograk, Buleleng dengan pasir putihnya dan daratan yang datar menawarkan prospek untuk dibangun kawasan pariwisata terpadu. Di wilayah-wilayah tersebut bisa dibangun, hotel, restoran, taman rekreasi, dan pusat perbelanjaan.

Pengembangan pariwisata terpadu juga bisa dilakukan di Pulau Nusa Penida, Klungkung. Tren pariwisata ke depan lebih mengarah ke ekowisata. Untuk itu, kawasan yang bisa dikembangkan adalah kawasan agrowisata komoditas kopi arabika dan jeruk di Kintamani, Bangli.Pengembangan kawasan agrowisata buah salak di Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, juga belum mendapat perhatian penuh.

Bekerja sama dengan masyarakat setempat akan semakin menguntungkan dan memudahkan bagi investor asing dalam pengelolaannya. Pengembangan kawasan pariwisata di Bali lebih mengarah ke Bali bagian utara, yaitu kabupaten Buleleng. Pariwisata di Bali timur juga bakal mendapat prioritas sebagai tempat berinvestasi terutama untuk investor asing.

Arah pengembangan investasi ke daerah barat dan timur bertujuan untuk menyeimbangkan investasiinvestasi di Bali. Sejak 1960-an sampai 2000, konsentrasi investasi lebih mengarah ke Bali bagian selatan, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpasar dengan Kuta, Nusa Dua,Jimbaran dan Sanur sebagai sentra.

”Badung dan Denpasar sudah mengalami titik jenuh sebagai tempat investasi sektor pariwisata,” kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali I Made Kandiyuana. Sektor pertanian dalam arti luas akan diarahkan pada pertanian yang mendukung berkembangnya industri pariwisata di Bali.

Masih jarangnya hotel, terutama hotel berbintang di Bali, menggunakan produk pertanian lokal sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi investor asing. Mereka tidak perlu lagi memerlukan pasar untuk produk pertanian karena sudah ada ribuan hotel dan ribuan restoran yang siap menampung hasil produksi.Tetapi dengan catatan, produk pertanian pada kualifikasi ini harus memenuhi standar internasional.

Produk pertanian yang bisa digarap oleh investor asing di Bali adalah jeruk, salak, anggur, durian, mangga, manggis, dan stroberi. Khusus untuk Kabupaten Jembrana saja, produk total buahbuahan mencapai 35.655 ton per tahun. Investasinya akan diarahkan ke peningkatan budi daya dan pemasaran. Akan menjadi sebuah keunggulan jika investornya membangun perusahaan pengolahan buah karena jika panen maka buahnya akan melimpah.

Selain buah, investasi pertanian mengarah sayur-sayuran juga cukup prospektif. Sektor kelautan yang seharusnya mendapatkan prioritas unggulan adalah budi daya perikanan. Kalau melihat di Kabupaten Buleleng, potensi budi daya perikanan masih sangat terbuka luas.Apalagi didukung adanya budi daya nener di Gerogak, Buleleng, sebagai tempat pengembangan terbesar di Asia Tenggara.

Selain itu, potensi budi daya ikan hias bisa mencapai seluas 27,32 hektare, potensi budi daya ikan kerapu mencapai 500 hektare, budi daya rumput laut seluas 250 hektare. Budi daya tambak udang tak kalah menariknya.Tambak udang mempunyai potensi untuk dikembangkan seluas 500 hektare,tidak ketinggalan adalah potensi budi daya mutiara seluas 250 hektare.

”Penguatan investasi di sektor pertanian dan kelautan akan menciptakan fondasi yang kuat bagi perekonomian Bali,” ujar Kandiyuana. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu tidak diinginkan menghancurkan pariwisata Bali (semoga tidak pernah lagi), maka perekonomian Bali bisa bergantung ke sektor selain pariwisata. (andika hendra mustaqim/ ni komang erviani / dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Wisatawan Lari, Investor Pergi

Ledakan bom yang telah dua kali mengoyak tidak hanya membuat pariwisata Bali nyaris ambruk, tetapi juga menorehkan momok menakutkan bagi calon investor.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali mencatat, rencana investasi asing di Bali pada 2000 sebesar Rp1,78 triliun.Angka itu meningkat tajam pada 2002, di mana rencana investasi mencapai Rp9,973 triliun.

Namun, realisasinya tentu tak seindah yang dibayangkan, yakni hanya Rp602,18 miliar atau 6,04%. Penyebabnya adalah terjadinya peledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang membuat investor pun berpikir berulang kali untuk melanjutkan investasinya. Pada tahun itu, rencana 86 perusahaan asing untuk membuka usahanya pun hanya terealisasi 13 perusahaan.

Menurunnya nilai investasi, juga diiringi anjloknya angka kunjungan wisatawan asing ke Bali. Pada 2002, mencapai 1.285.844 orang atau menurun sebesar 5,23% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 1.356.774 orang. Kondisi pariwisata Bali semakin parah pada 2003. Kunjungan wisatawan asing hanya menembus angka 993.029 orang atau penurunan sebesar 22,77%.Angka ini merupakan penurunan wisatawan yang paling drastis sejak 1969.

Dampak Bom Bali I menjadikan trauma bagi investor asing yang akan menanamkan investasinya di Bali.Tidak ayal,pada 2003,rencana investasi yang sudah disetujui BKPM sebesar Rp1,41 triliun, realisasinya mencapai Rp764,38 miliar. Adanya jaminan keamanan dari pemerintah daerah dan pusat dengan dukungan kepolisian, menjadikan investor asing pun sedikit demi sedikit kembali percaya untuk berinvestasi di Bali.

Pada 2004, rencana investasi asing terdongkrak mencapai Rp4,61 triliun dengan nilai realisasinya mencapai Rp487,89 miliar. Kepercayaan investor asing terhadap jaminan keamanan kembali mendongkrak rencana investasi pada 2005 mencapai Rp10,54 triliun. Namun, Bali ibarat kembali menjadi keledai yang terjebak pada lubang yang sama.Bom Bali II meledak kembali di Nyoman Kafe, Jimbaran dan Raja’s Kafe di Kuta pada 1 Oktober 2005.

Banyak pihak yang menyalahkan pemerintah dan aparat kepolisian karena telah kecolongan aksi teroris. Tidak ayal, realisasi investasi kembali melorot ke Rp140,59 miliar atau hanya 1,33%. Yang menyedihkan, angka itu sekaligus tercatat sebagai realisasi yang paling rendah dalam 10 tahun terakhir. Kunjungan wisatawan asing pada tahun itu juga menurun menjadi 1.386.449 orang atau menurun 4,93%, di mana pada tahun tersebut, realisasi investasi juga menurun.

Setahun berikutnya, angka kunjungan wisata kembali turun menjadi 1.260.317 orang. Turunnya tren investasi juga menciptakan multiplier effect berupa sulitnya para pengusaha untuk membayar gaji karyawannya. Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada 2006, tercatat sedikitnya 378 pekerja mendapat PHK maupun dirumahkan. Itu pun baru pekerja hotel di wilayah Kuta,seperti Hotel Bali Clif,Grand Balisani Suites dan Vila Rumah Manis.

Padahal, Bali Recovery yang dilaksanakan pemerintah daerah dan swasta dalam membangun kembali pariwisata Bali setelah Bom Bali I, menjadikan kunjungannya cukup bagus pada 2004 sebanyak 1.458.309 orang atau meningkat 46,85% dibandingkan tahun sebelumnya. Bak sebuah lagu dangdut yang dipopulerkan Kristina, investasi di Bali mengalami jatuh bangun.

Bayangkan saja, setelah Bali mendapatkan bencana, kemudian merestrukturisasinya, kemudian tertimpa bencana yang sama. Menurut Kepala BKPMD Provinsi Bali I Made Kandiyuana, pemerintah daerah berusaha membangun kembali kepercayaan investor asing setelah Bom Bali II pada 2002.Bahkan,apa yang diusahakan pemerintah daerah dan masyarakat Bali sudah membuah hasilnya pada 2004 dan awal 2005.

Dengan indikasi pada kedua tahun tersebut, investasi asing sudah menunjukkan angka yang progresif karena kepercayaan investor asing terhadap kondisi keamanan dan kesiapan Bali sudah membaik. Kenyataannya, akhir 2005, bom kembali meledak dan menghancurkan kembali kepercayaan investor asing yang mulai tumbuh tersebut.

”Padahal, kita sudah susah payah meyakinkan investor potensial ke berbagai negara. Sepertinya, apa yang sudah kita lakukan dan rencanakan menjadi sia-sia saja karena bom,” ujarnya. Namun, Kandiyuana mengatakan bahwa pemerintah tidak putus asa dalam memperjuangkan untuk masuknya investasi asing ke Bali bekerja sama dengan semua pihak termasuk jaminan keamanan dari aparat keamanan.

Sementara Kepala Bidang Humas Polda Bali Kombes Antonius Samuel Reniban mengatakan, polisi bekerja keras untuk menciptakan sebuah keamanan bukan hanya semata-mata untuk kepentingan investor, melainkan untuk menciptakan keamanan dan kedamaian bersama.Namun menciptakan keamanan bukan hanya tugas polisi, melainkan semua pihak.

”Semua pihak berperan untuk menjaga keamanan karena ini masalah rasa,” paparnya. Begitu lembaran tahun 2006 dibuka, Pemerintah Daerah Bali berjuang kembali untuk meyakinkan investor asing bahwa Bali tidak akan kecolongan untuk yang kedua kali. Usaha yang dilakukan tidak percuma, rencana investasi pada 2006 mencapai Rp2 triliun,dengan realisasi Rp380,61 miliar.

Angka rencana investasi pada 2007 kembali melonjak sampai Rp5,34 triliun dan angka realisasinya belum bisa diketahui. Pandangan pengamat ekonomi dari Universitas Udayana Murjana Yasa, membaiknya investasi di Bali pasca-Bom Bali I dan II bukanlah merupakan suatu hal yang membanggakan. Sebabnya adalah investor asing datang membawa uang dalam jumlah banyak bukannya mendirikan perusahaan baru.

Namun, mereka mengakuisisi sejumlah perusahaan, seperti hotel dan biro perjalanan wisata, terutama milik orang lokal yang mengalami trauma karena krisis pasca-Bom Bali. ”Masalahnya, persoalan perizinan untuk mendirikan perusahaan baru memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya tinggi, jadi beli yang ada saja. Orang tidak mau membangun dari nol,” ujarnya.

Terjadinya bom atau belum, investasi di bidang pariwisata masih menjadi primadona. Buktinya, investasi hotel dan restoran yang disetujui BKPM pada 2001 Rp185,42 miliar. Kemudian setelah terjadinya Bom Bali I pada 2003, investasi di hotel dan restoran justru mel o n j a k mencapai Rp1,73 triliun. Setelah Bom Bali II pada 2006, rencana investasi hotel dan restoran juga cukup tinggi mencapai Rp743,65 miliar.

Menurut Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Ardhana Sukawati, investor asing menanamkan investasinya di Bali terutama di bidang hotel dan restoran lebih karena adanya kesempatan dan peluang untuk berinvestasi di Bali.

Ditambah, adanya modal baik modal sendiri maupun modal pinjaman bank didukung dengan kemampuan dalam bidang pengetahuan tertentu menjadikan keberanian mereka berinvestasi. ”Hukum dagang di mana ada peluang dan ada kemampuan maka investasi pun bisa dijalankan,” ujarnya. (andika hendra mustaqim/ ni komang erviani/ dewi umaryati/ miftachul chusna/ dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Antara Izin,Pungli,dan Tanah

Bali mempunyai potensi yang melimpah untuk berinvestasi.Sayang,kendala klasik berupa ruwetnya perizinan dan pungutan liar selalu menghantui investor.

Lamanya pengurusan perizinan, mulai dari pusat kemudian turun ke provinsi, kemudian harus turun kembali mengurus di kabupaten atau kota menjadikan banyak waktu yang terbuang percuma.

Padahal,salah satu prinsip yang diterapkan sebagian besar investor asing adalah kecepatan dan ketepatan perizinan. Di balik perizinan yang ribet, sudah menjadi rahasia umum pula jika di dalamnya terdapat pungli. Benjamin Ripple, investor asal Amerika Serikat, membenarkan sinyalemen itu. Dia mengeluhkan sulitnya mengurus perizinan investasi di Indonesia. Belum lagi, banyak oknum-oknum yang cenderung mempersulit perizinan.

”Saya tidak mengerti, sebenarnya dia (pemerintah) mau kami investasi atau tidak?” gugatnya. Terus sampai kapan perizinan dan pungli bisa diselesaikan? Sejak zaman orde baru sampai zaman reformasi pun susah dilepaskan dan sepertinya sudah mendarah daging. Hal tersebut memang diakui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali I Made Kandiyuana.

Solusinya adalah penerapan pelayanan satu atap dalam hal perizinan investasi seperti yang diatur dalam Undang- Undang No 25/2007. Pelayanan satu atap akan diberlakukan mulai 2008. Kelak, semua investor asing dan lokal yang akan menanamkan investasinya di Bali tidak akan menemukan proses berbelit-belit sekaligus mendapatkan layanan penuh.

”Kabupaten hanya akan mengurusi izin mendirikan bangunan (IMB),” ujar Kandiyuana. Peranan pusat dalam hal investasi akan dipangkas karena hanya memiliki kewajiban dalam pengurusan standar prosedur semata. Perizinan adalah masalah klasik, memang. Namun, permasalahan investasi yang paling membuat pusing kebanyakan investor adalah tanah. Harga tanah di Bali yang mahal dibandingkan daerah lain menjadikan nilai investasi yang harus ditanamkan di Bali lebih mahal.

Tingginya harga jual tanah dan harga sewa tanah itu lantaran Pulau Bali adalah pulau yang kecil sehingga tanahnya terbatas. Contohnya tanah di dekat Pantai Sanur, Denpasar.Di sana, harga tanahnya mencapai Rp400 juta per are (100 meter persegi). Bahkan, ada salah satu konsorsium pengusaha Korea Selatan merencanakan investasi di tanah bekas galian C di Kabupaten Klungkung, Bali, namun batal karena harga tanah yang melonjak dalam hitungan hari.

Harga awal tanah bekas galian C itu di bawah Rp10 juta per are,namun setelah isu tanah tersebut akan dibangun hotel, pemilik tanah menaikkan harga tanah sampai 5 kali lipat menjadi Rp50 juta per are.

”Padahal kami menargetkan harga tanah per arenya maksimal Rp12 juta,” papar DI Jung, pimpinan konsorsium. Persepsi bisnis pariwisata yang mampu menghasilkan uang dalam jangka waktu cepat menjadikan harga tanah pun semakin mahal. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Sukawati alias Cok Ace mengatakan, tanah yang mahal lebih banyak karena investor asing cepat mendapatkan break event point (BEP) alias dalam waktu singkat bisa tutup modal.

Cok Ace sendiri tidak bisa memastikan seberapa cepat BEP yang dicapai investor asing ini, Dia hanya menyebut kisaran 3 sampai 5 tahun dengan catatan pariwisata Bali stabil. Cok Ace juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap pengusaha lokal. Padahal, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap investor lokal dengan dukungan kebijakan yang melindungi dan pro kepada pengusaha lokal. Pengusaha lokal sendiri tidak bisa berbuat banyak tanpa bantuan pemerintah.

”Bantuan pemerintah yang paling penting adalah pinjaman atau kredit perbankan yang mudah dan murah bunganya,” tuturnya. Infrastruktur tidak boleh ditinggalkan saat kita berbicara permasalahan investasi. Adalah hal yang mustahil bila berharap investasi asing masuk ke Bali tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur yang paling memprihatinkan di masa depan menyangkut kelistrikan.

Kebutuhan listrik di Bali mencapai 480 megawatt (MW), sementara pasokan listriknya mencapai 550 MW,pasokan listrik tersebut pun dibantu 200 MW melalui jaringan interkoneksi bawah laut. Menurut Kandiyuana, jika Bali tidak membangun pembangkit listrik dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, investor akan enggan menggelontorkan uangnya ke Bali.Bali memang berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Celukan Bawang, Buleleng dan Karangasem.

Kemudian,tantangan infrastruktur ke depan bagi Bali adalah bagaimana membangun jalan tol dari Denpasar– Jembrana, Denpasar– Buleleng,Buleleng– Jembara, atau jalan tol penghubung antarkota. Perluasan landasan Bandara Ngurah Rai juga sangat signifikan menjadi dua untuk take off dan landing pesawat. Perpanjangan bandara juga menjadi penting sehingga pesawat berbadan lebar bisa masuk ke Bali.

Walaupun ada hambatan dan tantangan, investasi asing akan terus digenjot pada 2008 mendatang. Target yang dipatok untuk investasi bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp6–10 triliun.Tentunya sebagian besar,target tersebut akan dipasok oleh PMA yang akan lebih mendominasi.

”Target investasi tersebut untuk menunjang pertumbuhan ekonomi di atas 6% pada 2008,”ujar Kandiyuana. Promosi Bali ke luar negeri adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengenalkan potensi Pulau Dewata ini kepada investor asing.

Lalu melakukan pendekatan dengan berbagai perusahaan besar di luar negeri untuk membentuk konsorsium dan menanamkan modalnya di Bali dengan berbagai jaminan kepastian hukum dan keamanan. Insentif juga bakal diberikan kepada investor asing seperti memberikan keringanan pajak dan sebagainya. ”Bagaimanapun, Bali adalah impian bagi investor asing,” pungkasnya. (andika hendra mustaqim/ ni komang erviani / Dimuat di Koran SINDO Edisi Minggu, 23/12/2007 )

Sayang Ibu Lewat Bahasa Bunga

DENPASAR (SINDO) – Suasana di sentra penjualan bunga potong kawasan Jl. Letjen Sutoyo Denpasar Sabtu (22/12) kemarin terasa berbeda. Sejak pagi, belasan outlet bunga potong sudah dipadati pengunjung yang sebagian besar berseragam sekolah. Kebetulan, sejumlah sekolah di Denpasar kemarin memulangkan siswanya lebih cepat setelah pembagian hasil ujian semester. Selain anak sekolah, tidak sedikit pula karyawan kantoran, pasangan suami istri, hingga bapak-bapak paruh baya yang menyerbu pedagang bunga potong.

Dua sahabat Ni Wayan Wida Primadewi (16 tahun) dan Nimas Febri Dionita (15 tahun), ikut berdesakan diantara belasan pelanggan dan ratusan potong bunga di salah satu outlet. Kedua siswi SMA Negeri 3 Denpasar itu sengaja meluangkan waktu sepulang sekolah untuk membeli bunga potong. Buket kecil berisi setangkai bunga Krisan dan dua tangkai mawar merah dibayar Wida dengan selembar uang sepuluh ribuan. ”Ini untuk ibu. Kan sekarang Hari Ibu,” terang Wida. Beda dengan Wida, Nimas memilih dua tangkai anggrek untuk sang ibu. “Soalnya ibu saya senang anggrek,” Nimas beralasan.

Sudah empat tahun ini, Wida dan Nimas tidak pernah absen memberikan bingkisan bunga kepada ibu mereka, tepat di Hari Ibu. Bagi Wida, memberi bunga ketika Hari Ibu merupakan ungkapan rasa sayang dan terimakasih kepada ibu. “Sudah kebiasaan sih. Cuma sebagai ungkapan terimakasih kepada ibu yang sudah merawat kita,” cerita Wida.

Nyoman Indra Wira Sasmita (12 tahun) pun tak mau kalah. Bersama sang ayah Nyoman Warmita (47 tahun) yang menjemputnya di sekolah, siswa SMP 7 Denpasar itu juga sengaja mampir untuk membeli enam tangkai mawar. “Ini untuk ibu dan nenek. Untuk memperingati Hari Ibu,” ujarnya polos. Menurut Warmita, tradisi memberi bunga kepada istri, ibu, dan mertua perempuannya sudah dilakukan sejak 15 tahun lalu. “Ini sudah tradisi. Anak saya sekarang juga sudah terbiasa dengan kebiasaan ngasih bunga,” ujar bapak dua anak itu.

Jargon “ungkapkan cinta dengan bunga” rupanya masih erat dengan kehidupan masyarakat kita. Bunga sering dijadikan media untuk menyampaikan perasaan cinta dan sayang. Hal itu jelas terlihat ketika momen-momen tertentu, seperti pada Hari Ibu yang jatuh setiap 22 Desember. Para pedagang bunga pun merasakan panen di momen Hari Ibu kemarin. Pemilik Tunjung Florist, Gede Swastika misalnya, mengaku mengalami peningkatan penjualan hingga 25 persen dari kondisi normal. Momen Hari Ibu, menurut Swastika, merupakan salah satu momentum untuk meraup lebih banyak keuntungan.

Pedagang bunga potong rupanya juga memanfaatkan momen Hari Ibu untuk menaikkan harga. Setangkai mawar yang biasanya bisa diperoleh dengan harga berkisar Rp. 1.500 sampai Rp. 2.000 misalnya, tiba-tiba naik menjadi Rp. 3.000. Swastika pun mengakui, satu buket bunga yang biasa dijual seharga Rp. 20 ribu kemarin dijual Rp. 30 ribu. “Harganya naik karena memang sudah naik dari pengepulnya,” Swastika menjelaskan.

Hadirin, pemilik Flamboyan Indah, juga mengakui adanya sedikit peningkatan penjualan di saat Hari Ibu. Namun peningkatannya dirasakan tidak terlalu signifikan. Menurut Hadirin, omset penjualannya masih mendekati kondisi normal, sekitar Rp. 1 juta rupiah per hari. “Kalau Harii Ibu memang agak ramai. Walaupun memang tidak seramai saat Valentine,” terangnya. [ni komang erviani]

Anak-anak dan Gombal Warming

KUTA (SINDO) - Ada aksi tebang pohon di Kuta. Korbannya dua batang pohon. “Apa yang dikisahkan sebatang -pohon ketika ditebang?” teriak sejumlah anak-anak sanggar kesenian Bajra Sandi, membacakan puisi karya sastrawan Bali Cok Sawitri. Anak-anak lain lantas muncul dalam kostum pelepah pisang kering. Mereka mencoba mengungkapkan betapa aksi tebang pohon menyebabkan kekeringan di mana-mana.

Ini memang bukan aksi tebang pohon sungguhan, melainkan sebuah aksi teatrikal yang ditampilkan sekitar 35 anak-anak dan remaja akhir pekan kemarin. di Aula Kantor Kelurahan Kuta, Badung, Bali. Mereka tampil dengan sebuah aksi teater berjudul Tanah Air Api, yang mengungkap betapa aksi penebangan sebatang pohon telah merusak lingkungan di masa sekarang dan masa depan.

Aksi teatrikal Tanah Air Api digelar dalam rangkaian kegiatan Alam Raya Milik Bersama, serangkaian kegiatan dialog, workshop, proses kreatif, dan pertunjukan seni. Alam Raya Milik Bersama gelaran Kelompok Tulus Ngayah dan Institute for Global Justice bakal dilaksanakan sampai Senin (10/12) ini.

Menurut Koordinator Kelompok Tulus Ngayah, Cok Sawitri, Perayaan Alam Raya Milik Bersama dilaksanakan untuk sekadar memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat terkait isu global warming. Pasalnya, menurut Cok, bahasa-bahasa yang digunakan dalam sidang UNFCCC terlalu tinggi bagi masyarakat. Sebagian besar dari masyarakat bahkan merasa tidak punya kepentingan dengan global warming. “Padahal, yang bakal merasakan dampak langsung global warming kan masyarakat juga. Yang sekarang banyak dibahas di Nusa Dua, kami lihat sebagai gombal warming,” keluh Cok yang mengenakan kaos bertuliskan “gombal warming”.

Untuk lebih mendekatkan pemahaman global warming kepada masyarakat, jelas Cok, masyarakat adat juga dilibatkan penuh dalam kegiatan tersebut. Selain itu, sejumlah guru taman kanak-kanak juga diminta pelibatannya. “Karena guru TK adalah penyampai pesan pertama untuk anak-anak kita. Jadi mereka bisa sampaikan pesan global warming dengan benar,” ujar Cok.

Meski masih usia dini, anak-anak sanggar seni Bajrasandi rupanya cukup mengerti dengan makna tari yang mereka bawakan malam itu. Kadek Evi Andriani (11 tahun) misalnya, mengaku tidak senang melihat orang menebang pohon. “Kan kasihan kalau ditebang. Nanti panas,” ujar bocah kelas lima sekolah dasar yang berperan sebagai pohon.

Pendapat Ade Agoes Kevin (7 tahun) tak jauh beda. Meski hanya berperan sebagai pemegang payung, Kevin tegas menolak aksi penebangan pohon. “Takut. Kan nggak boleh tebang pohon. Nanti Tuhan marah,” ujar Kevin ketika ditanya pendapatnya tentang aksi tebang pohon. [Ni Komang Erviani]

Rumput Laut Pengganti Bom Ikan

BULELENG (SINDO) - Keakraban Daeng Hayak (71 tahun) dengan bom ikan dan potasium, kini tinggal sejarah. Padahal, keseharian Daeng di masa lalu tak pernah lepas dari bom ikan dan potas. Pria keturunan bugis yang lahir dan besar di Desa Sumberkima Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali itu, dulunya termasuk salah satu nelayan pencari ikan dengan bom. Meski ia mengaku punya alasan untuk itu. ”Sebab saya dulu nggak tahu harus bekerja apa lagi. Sementara anak-anak harus makan dan tetap sekolah,” kenang ayah dari 10 anak itu.

Beda dulu, beda sekarang. ”Sekarang saya tahu kalau itu (bom ikan,red) merusak,” ujarnya. Daeng Hayak kini memang sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya dari mengebom ikan. Ia kini menggantungkan hidup pada budidaya rumput laut, usaha yang kini juga diikuti oleh sekitar 180 orang nelayan lain di pesisir Gerokgak, Buleleng, Bali.

Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian baru yang memberi keuntungan ekonomis bagi para nelayan Gerokgak. Setidaknya, keuntungan itulah yang dirasakan Daeng Hayak, sejak merintis budidaya rumput laut tersebut tahun 2005 lalu. ”Baru beberapa bulan saya tanam rumput laut, saya sudah bisa jual enam juta rupiah. Jauh lebih untung dibandingkan cari ikan pakai bom,” terang Daeng Hayak. Sejak tahun 2005 itu pula, banyak nelayan pencari ikan dengan bom dan potas di wilayah Gerokgak yang beralih ke budidaya rumput laut.

Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah berkurang. Berdasarkan catatan WWF-Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998 hanya sekitar 25 persen. Hal tersebut diduga karena banyaknya aktivitas pengeboman ikan. Padahal, TNBB merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.

Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan, masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas Misnawiyanto, Ketua FKMPP.

Lahan seluas 40 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan, kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Panen yang dihasilkan pun lumayan, mencapai 12 ton per bulan. Potensi budidaya rumput laut di kawasan luar TNBB itu pun masih terbuka lebar. Berdasarkan perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan TNBB bisa mencapai sekitar 298 Ha, dengan potensi menghasilkan rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.

Menurut aktivis lingkungan yang juga pengamat terumbu karang, Putu Iwan Dewantama, alih mata pencaharian masyarakat dari nelayan pengebom ikan menjadi petani rumput laut telah terbukti mampu mengembalikan kelestarian ekosistem bawah laut perairan Gerokgak. Dikatakan Iwan, hasil riset terakhir mencatat bahwa tutupan karang di perairan Gerokgak sudah meningkat menjadi 40 persen. Sebagai upaya membantu pelestarian terumbu karang, para nelayan juga telah sepakat tidak menggunakan patok untuk menanam terumbu karang. ”Para nelayan sepakat untuk menanam rumput laut dengan sistem apung. Mereka benar-benar telah sepakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya,” cerita Iwan. [Ni Komang Erviani]

Dulunya Danau, Kini Padang Rumput

Sebagian wilayah Danau Buyan di Buleleng Bali, kini berubah menjadi padang rumput luas.


Ketika awan yang menggelayut di atas langit Danau Buyan Buleleng Bali makin gelap, Wayan Mustanda (39 tahun) tetap asyik dengan sabit di tangannya. Dua buah karung plastik besar yang dibawanya dari rumah, nyaris penuh terisi rumput. “Sekarang lebih gampang cari rumput. Apalagi setelah danau di sini surut,” terang Mustanda yang sehari-hari beternak sapi. Mencari rumput untuk pakan ternak setiap hari, sudah menjadi rutinitas Mustanda sejak masih kanak-kanak. Namun sejak beberapa tahun belakangan, Mustanda mendapatkan lahan rumput luas yang tak pernah habis dan makin hari makin meluas. Yakni di atas lahan bekas danau buyan yang surut. “Dulu danau ini luas. Sampai ujung tanggul di sana,” cerita Mustanda sambil menunjuk ke arah tanggul danau seluas 478,33 hektar itu.

Penyusutan muka air Danau Buyan sejak beberapa tahun belakangan, telah mengubah sebagian wilayah danau buyan menjadi padang rumput luas. Bibir danau berpindah ratusan meter dari titik tanggul semula. Dermaga kayu kecil yang biasa menjadi tempat favorit para pemancing pun, kini tak lagi bisa digunakan. Air danau sudah berpindah jauh dari titik semula.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas Udayana, muka air Danau Buyan telah mengalami penurunan sebanyak 5 meter pada periode 2003 – 2005. Memasuki tahun 2006, kondisi tinggi muka air danau makin menunjukkan penurunan yang signifikan.

Menurut Dr. Ir. I Wayan Sandi Adnyana, M.S., anggota tim peneliti PPLH Universitas Udayana, penurunan muka air danau sejak beberapa tahun belakangan tidak hanya terjadi di danau buyan. Penurunan muka air juga terjadi di danau Tamblingan, danau alam yang letaknya bersebelahan dengan danau buyan, masih di wilayah Kabupaten Buleleng. Bali.

Dari penelitian PPLH, ditemukan ada tiga faktor penyebab turunnya muka air danau buyan dan tamblingan. Diantaranya karena curah hujan yang sangat rendah. “Curah hujan di kawasan danau sejak lima tahun terakhir jauh lebih rendah dari sebelumnya. Padahal faktor curah hujan ini sangat menopang pasokan air danau,” terang Sandi. Menurut Sandi, curah hujan di kawasan danau pada musim kemarau biasanya mencapai rata-rata 70 mili meter per bulan. Namun sejak tahun 2002, curah hujan di musim kemarau bisa hanya sekitar 0-5 mili meter. “Jadi, penurunannya sampai di bawah normal. Ini sangat mungkin disebabkan pemanasan global. Ada perubahan iklim yang berpengaruh sangat luar biasa,” ujarnya.

Selain faktor curah hujan, penurunan muka air danau juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan di sekitar danau. Banyaknya masyarakat sekitar danau yang beralih dari petani kopi menjadi petani sayuran, diduga memberi kontribusi yang cukup besar pada penurunan air danau. Pasalnya, kebun kopi memiliki fungsi resapan air yang sangat tinggi, dibandingkan kebun sayuran. Sandi mencatat, luasan kebun kopi di kawasan sekitar danau buyan pada 2003 hanya tersisa 14,32 hektar, dibandingkan tahun 1981 lalu yang mencapai 118,34 hektar. Selain itu, tercatat luas pemukiman sekitar danau meningkat dari hanya 58,06 hektar tahun 1981 menjadi 86,10 hektar pada 2003. “Surutnya air danau juga disebabkan ada aksi pengambilan air danau secara besar-besaran oleh warga sekitar. Karena sekarang sudah banyak hotel dan vila di sekitarnya,” tegas Sandi.

Turunnya muka air danau Buyan dan Tamblingan, dikhawatirkan dapat mengurangi pasokan air bagi masyarakat Bali. Pasalnya, danau buyan dan tamblingan merupakan dua dari empat danau alam di Bali yang memiliki fungsi vital sebagai penyangga tata air. Dua danau lainnya, yakni danau beratan di Kabupaten Tabanan dan Danau Batur di Kabupaten Bangli. Sandi berharap pemerintah dan masyarakat di sekitarnya bisa duduk bersama untuk mencegah kerusakan lingkungan yang makin parah. [Ni Komang Erviani]

Dulunya Danau, Kini Padang Rumput

Sebagian wilayah Danau Buyan di Buleleng Bali, kini berubah menjadi padang rumput luas.


Ketika awan yang menggelayut di atas langit Danau Buyan Buleleng Bali makin gelap, Wayan Mustanda (39 tahun) tetap asyik dengan sabit di tangannya. Dua buah karung plastik besar yang dibawanya dari rumah, nyaris penuh terisi rumput. “Sekarang lebih gampang cari rumput. Apalagi setelah danau di sini surut,” terang Mustanda yang sehari-hari beternak sapi. Mencari rumput untuk pakan ternak setiap hari, sudah menjadi rutinitas Mustanda sejak masih kanak-kanak. Namun sejak beberapa tahun belakangan, Mustanda mendapatkan lahan rumput luas yang tak pernah habis dan makin hari makin meluas. Yakni di atas lahan bekas danau buyan yang surut. “Dulu danau ini luas. Sampai ujung tanggul di sana,” cerita Mustanda sambil menunjuk ke arah tanggul danau seluas 478,33 hektar itu.

Penyusutan muka air Danau Buyan sejak beberapa tahun belakangan, telah mengubah sebagian wilayah danau buyan menjadi padang rumput luas. Bibir danau berpindah ratusan meter dari titik tanggul semula. Dermaga kayu kecil yang biasa menjadi tempat favorit para pemancing pun, kini tak lagi bisa digunakan. Air danau sudah berpindah jauh dari titik semula.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas Udayana, muka air Danau Buyan telah mengalami penurunan sebanyak 5 meter pada periode 2003 – 2005. Memasuki tahun 2006, kondisi tinggi muka air danau makin menunjukkan penurunan yang signifikan.

Menurut Dr. Ir. I Wayan Sandi Adnyana, M.S., anggota tim peneliti PPLH Universitas Udayana, penurunan muka air danau sejak beberapa tahun belakangan tidak hanya terjadi di danau buyan. Penurunan muka air juga terjadi di danau Tamblingan, danau alam yang letaknya bersebelahan dengan danau buyan, masih di wilayah Kabupaten Buleleng. Bali.

Dari penelitian PPLH, ditemukan ada tiga faktor penyebab turunnya muka air danau buyan dan tamblingan. Diantaranya karena curah hujan yang sangat rendah. “Curah hujan di kawasan danau sejak lima tahun terakhir jauh lebih rendah dari sebelumnya. Padahal faktor curah hujan ini sangat menopang pasokan air danau,” terang Sandi. Menurut Sandi, curah hujan di kawasan danau pada musim kemarau biasanya mencapai rata-rata 70 mili meter per bulan. Namun sejak tahun 2002, curah hujan di musim kemarau bisa hanya sekitar 0-5 mili meter. “Jadi, penurunannya sampai di bawah normal. Ini sangat mungkin disebabkan pemanasan global. Ada perubahan iklim yang berpengaruh sangat luar biasa,” ujarnya.

Selain faktor curah hujan, penurunan muka air danau juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan di sekitar danau. Banyaknya masyarakat sekitar danau yang beralih dari petani kopi menjadi petani sayuran, diduga memberi kontribusi yang cukup besar pada penurunan air danau. Pasalnya, kebun kopi memiliki fungsi resapan air yang sangat tinggi, dibandingkan kebun sayuran. Sandi mencatat, luasan kebun kopi di kawasan sekitar danau buyan pada 2003 hanya tersisa 14,32 hektar, dibandingkan tahun 1981 lalu yang mencapai 118,34 hektar. Selain itu, tercatat luas pemukiman sekitar danau meningkat dari hanya 58,06 hektar tahun 1981 menjadi 86,10 hektar pada 2003. “Surutnya air danau juga disebabkan ada aksi pengambilan air danau secara besar-besaran oleh warga sekitar. Karena sekarang sudah banyak hotel dan vila di sekitarnya,” tegas Sandi.

Turunnya muka air danau Buyan dan Tamblingan, dikhawatirkan dapat mengurangi pasokan air bagi masyarakat Bali. Pasalnya, danau buyan dan tamblingan merupakan dua dari empat danau alam di Bali yang memiliki fungsi vital sebagai penyangga tata air. Dua danau lainnya, yakni danau beratan di Kabupaten Tabanan dan Danau Batur di Kabupaten Bangli. Sandi berharap pemerintah dan masyarakat di sekitarnya bisa duduk bersama untuk mencegah kerusakan lingkungan yang makin parah. [Ni Komang Erviani]

Sabtu, 08 Desember 2007

Konservasi Laut Ala Nelayan Serangan

Konservasi Laut Ala Nelayan Serangan

Nelayan Pulau Serangan Bali melakukan penanaman terumbu karang di wilayah laut mereka. Mengembalikan keseimbangan ekosistem yang rusak karena reklamasi dan eksplotasi karang untuk bahan bangunan.

DENPASAR (SINDO) – Belasan nelayan Pulau Serangan Denpasar Bali, sibuk merangkai potongan-potongan pipa paralon dan jaring ikan berukuran besar. “Ini akan dipakai untuk wadah meletakkan terumbu karang, sebelum dibawa ke laut,” jelas Wayan Karsika, (38 tahun), salah seorang nelayan. Sejak awal Desember ini, Karsika dan anggota Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Serangan sibuk bersiap-siap menerima kunjungan partisipan UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) pada 9 dan 10 Desember mendatang. “Yah, kami perbaiki bagian-bagian yang rusak aja. Biar kelihatan sedikit lebih rapi,” ujar Wayan Patut, Koordinator Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara.

Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Serangan bakal menjadi salah satu lokasi pararel event UNFCCC, karena keberhasilan mereka membangun konservasi terumbu karang di Pulau Serangan. Konservasi dilakukan dengan melakukan penanaman terumbu karang di laut sekitar Pulau Serangan. Pulau Serangan merupakan pulau kecil di sisi timur Pulau Bali, masih berada di wilayah administratif Kota Denpasar Bali. Sejak 1997, Pulau Serangan direklamasi hingga menyatu dengan Pulau Bali. Reklamasi juga memperluas wilayah Pulau Serangan dari hanya 112 hektar menjadi seluas 480 hektar.

Menurut Wayan Patut, program konservasi dimulai pada 2003 dengan melakukan perbanyakan terumbu karang. “Kami menerapkan metode transpalantasi (stek,red),” terang Patut. Media tanam yang digunakan dalam metode transplantasi berupa kerangka plat beton yang kemudian ditempeli bibit terumbu karang dengan substrat buatan. Dengan metode ini, terumbu karang dapat tumbuh lima sampai sepuluh kali lebih cepat dari seharusnya, atau sekitar 1 cm per bulannya. Hingga kini, lahan penanaman terumbu karang di laut Serangan sudah mencapai luas 1 hektar dengan 20.000 pieces terumbu karang. Kebun karang buatan yang berada di kedalaman 4–12 meter itu kini sudah menjadi rumah bagi 40 spesies ikan.

Sebagai upaya menggali dana untuk membiayai program konservasi, nelayan Serangan tak kehabisan akal. “Kami sekarang menjual soft coral dan terumbu karang buatan,” cerita Patut. Soft coral merupakan jenis terumbu karang lunak yang hidup di antara terumbu karang keras (hard coral,red) dan tidak memberi manfaat signifikan bagi ekosistem. Soft coral bahkan cenderung mengganggu pertumbuhan hard coral dan beracun bagi ikan. Soft coral yang diperjualbelikan nelayan Serangan, diambil dari kebun karang buatan mereka sendiri. “Kami tidak mengambil soft coral di alam bebas. Kami cuma mengambil soft coral yang mengganggu kebun karang buatan kami,”tegas Patut.

Selain menjual soft coral, nelayan Serangan juga menjual terumbu karang buatan yang dibentuk dari campuran semen, batu apung, dan mill. Sebelum dijual, karang dbuatan diletakkan di dalam laut agar ditumbuhi alga. Karang buatan yang telah ditumbuhi alga itulah yang kemudian dijual untuk hiasan akuarium air laut. Soft coral dan terumbu karang buatan nelayan Serangan sudah diekspor ke luar negeri, yakni Paris. Selain digunakan untuk membiayai program konservasi, hasil penjualan soft coral dan terumbu karang buatan juga dibagikan kepada para nelayan. Dengan begitu, manfaat ekonomi dari program konservasi juga dirasakan oleh nelayan setempat.

Inisiatif warga melakukan konservasi terumbu karang Pulau Serangan, tidak lepas dari proyek reklamasi besar-besaran yang dilakukan investor. Menurut Wayan Patut, ide melakukan konservasi terumbu karang di Serangan bermula dari kesadaran atas tingginya kerusakan lingkungan akibat reklamasi. Kerusakan lingkungan tersebut berdampak sangat besar pada perekonomian warga.

Wayan Karsika (38 tahun) termasuk salah satu nelayan yang merasakan dampak nyata kerusakan lingkungan akibat reklamasi. Gara-gara kerusakan lingkungan, kini ia hanya bisa mendapat penghasilan melaut rata-rata Rp. 10 ribu per bulan. “Itu kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, bisa nggak makan,” terangnya. Mencari ikan sudah menjadi bagian dari keseharian Karsika sejak kecil. Ia bahkan membiayai uang sekolahnya sendiri dari hasil mencari ikan, seperti yang juga dilakukan oleh sebagian besar anak-anak Serangan lainnya ketika itu. Namun hasil laut yang melimpah sudah menjadi barang mewah bagi Karsika dan nelayan lainnya di Pulau Serangan sejak reklamasi dilakukan.

Selain kesulitan mencari ikan, reklamasi juga menyebabkan hilangnya mata pencaharian 150 orang istri nelayan yang menjadi pedagang souvenir, pencari cacing laut, serta puluhan orang penambang (transportasi penyeberangan dengan perahu,red). Serangan dulunya merupakan salah satu tempat wisata favorit di Bali dengan daya tarik utama berupa atraksi penyu. Banyaknya penyu yang bertelur secara alami di Serangan, bahkan membuat pulau ini dikenal dengan sebutan pulau penyu.“Tapi setelah reklamasi, jarang sekali ada penyu datang. Karena lingkungannya sudah rusak. Wisatawan juga jadi sepi sekali,” ujar Nyoman Sopi (42 tahun), mantan pemandu wisata yang sempat kehilangan pekerjaannya paska reklamasi.

Banyaknya mata pencaharian yang hilang, sempat membuat warga Serangan mencari jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan. Warga memilih mencari karang di laut dan dijual untuk bahan bangunan. Setelah bertahun-tahun, baru pada 2003, warga sadar bahwa aksi tersebut makin memperparah kerusakan lingkungan di wilayah mereka. Berangkat dari kesadaran itulah, para nelayan lantas merintis upaya konservasi terumbu karang di laut Serangan. Harapannya agar kerusakan lingkungan Serangan tidak semakin parah. Dalam jangka panjang, upaya ini diharapkan dapat menyeimbangkan kembali ekosistem Serangan. [Ni Komang Erviani]

Rabu, 05 Desember 2007

Taman Koral Berbasis Masyarakat Adat

Sebuah taman koral seluas 2,5 hektar, sukses dibangun dengan teknik biorock di kedalaman 15 meter laut Pemuteran, Buleleng, Bali. Mustahil tanpa keterlibatan warga desa.

BULELENG (SINDO)-Kadek Dharma (19 tahun) bersama tiga temannya, tampak kelelahan setelah hampir satu jam berada di kedalaman 15 km laut Pemuteran, Buleleng Bali, sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Denpasar. Masing-masing dari mereka membawa sekantung besar sampah plastik. “Sampah di bawah (laut,red) sebenarnya masih banyak, tapi nggak mungkin kami ambil semua, Jadi, kami ambil setiap hari semampunya,” cerita warga asli Desa Pemuteran Buleleng itu.

Dharma dan ketiga temannya merupakan anggota Reef Gardener, sebutan bagi para petugas kebersihan bawah laut pemuteran. Sehari-hari, Reef Gardener bertugas membersihkan terumbu karang di laut Pemuteran dari sampah plastik. “Karena terumbu karang akan terganggu kalau ditutupi sampah plastik,” Dharma menjelaskan.

Tidak cuma Dharma yang merasa peduli dengan kehidupan terumbu karang laut di wilayah Desa Pemuteran. Made Gunaksa misalnya, kini menjadi salah satu dari 28 anggota pecalang laut Desa Adat Pemuteran. Pecalang merupakan kelompok pengamanan swakarsa oleh masyarakat adat di Bali. Seperti namanya, pecalang laut punya tugas khusus mengamankan laut di wilayah Desa Adat Pemuteran. “Kami berpatroli setiap hari. Kalau ada nelayan yang tertangkap basah menangkap ikan hias dengan potasium, langsung kami tangkap,” terang pria yang sehari-hari juga menjadi guide diving untuk tamu mancanegara itu.

“Desa kami benar-benar serius menjaga kelestarian terumbu karang di sini,” demikian Wayan Siram, tokoh masyarakat di Desa Adat Pemuteran. Pernyataan Siram cukup beralasan. Selain memiliki reef gardener dan pecalang laut, Desa Adat Pemuteran juga memiliki hamparan taman koral buatan seluas 2,5 hektar di bawah laut. Taman koral di kedalaman 15 meter tersebut, dirintis bersama pada tahun 2000 lalu antara warga masyarakat dan pengusaha pariwisata setempat.

Lewat sebuah yayasan bernama Yayasan Karang Lestari, masyarakat kembali menghijaukan wilayah laut pemuteran yang kritis ketika itu. Banyaknya aksi penangkapan ikan hias dengan bom potassium sejak tahun 1990-an, membuat kawasan laut Pemuteran sangat tidak menguntungkan bagi nelayan setempat. “Dulu kami kesulitan cari ikan. Sekali melaut, paling cuma dapat satu kaleng ikan teri batu. Padahal kalau normal, seharusnya dapat 60 sampai 70 kaleng,” kenang Komang Madiarta, nelayan setempat. Padahal, desa dengan 2000 kepala keluarga atau 8000 jiwa itu sangat menggantungkan hidup dari aktivitas melaut. Geografis desa yang kering, membuat warga hanya bisa bertanam jagung pada saat musim hujan. Buah pahit yang dipetik nelayan setempat, menjadi titik balik kesadaran mereka untuk menjaga laut Pemuteran.

Kesadaran masyarakat menjadi kunci keberhasilan pembangunan taman koral di Pemuteran. Untuk mempercepat proses konservasi terumbu karang di Pemuteran, diterapkan teknik transplantasi karang dengan arus listrik. Teknologi dari Jerman itu disebut dengan biorock. Arus listrik tegangan rendah digunakan untuk mempercepat pertumbuhan karang. “Teknik biorock memungkinkan pertumbuhan karang lima sampai delapan kali lebih cepat dari pertumbuhan normal,” terang Agung Prana, Ketua Yayasan Karang Lestari.

Hasil konservasi laut pemuteran, kini sudah terlihat jelas. Sebanyak delapan puluh jenis terumbu karang dengan ratusan spesies ikan, tumbuh subur di lahan 2,5 hektar laut Pemuteran. Bahkan hanya beberapa belas meter dari sana, kini sudah dibangun sea garden, sebuah taman bawah laut yang juga dibangun dengan teknologi biorock. Bedanya, arus listrik di sea garden digerakkan oleh tenaga surya.

Sea garden dibangun dengan meletakkan enam buah bangkai kapal, puluhan patung budha, serta onggokan-ongokan bangunan tua di kedalaman 20 meter sebagai kerangka terumbu karang. Ada dua site menarik di dalam sea garden, yakni Pura Tembok dan Tangkad Jaran. “Jadi kami seperti memindahkan taman ke laut,” cerita Prana.

Hasil konservasi terumbu karang Pemuteran, juga terlihat dari banyaknya taman-taman koral yang terbentuk secara alamiah di sekitar laut Pemuteran. “Sekarang, kita nggak sulit lagi cari ikan,” terang Madiarta. Masyarakat Pemuteran kini juga tak hanya menggantungkan hidup dari bertani dan mencari ikan. Daya tarik pelestarian lingkungan membuat minat turis asing berkunjung ke Pemuteran makin tinggi. “Sekarang banyak warga kami yang kerja di hotel, juga guide. Perekonomian masyarakat malah meningkat. Makanya kami pikir, kalau bukan kami yang menjaga laut di sini, siapa lagi,” ujar Siram bangga.

Keberhasilan konservasi terumbu karang di Pemuteran, menurut Agung Prana, tak lepas dari pelibatan dan dukungan penuh dari warga desa setempat. “Teknologi biorock ini terbukti gagal di Maldiv dan Filipina. Kunci keberhasilan di Pemuteran adalah community development. Tanpa itu, teknologi apapun akan jadi percuma. Mustahil bias berhasil,” terang Prana [Ni Komang Erviani/ dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 6 Desember 2007 ]

Tebang Pohon Kena Sanksi Adat

Ketika demam perubahan iklim melanda masyarakat Indonesia dengan aksi tanam sejuta pohon, masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, justru kebingungan mencari lahan kosong untuk ditanami. Aturan adat desa setempat ternyata sudah mengatur konservasi lingkungan sejak abad ke-11. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro pun dibangun untuk mengurangi penggunaan bahan baker fosil.

KARANGASEM (SINDO) – Hamparan sawah luas dengan bukit menghijau di baliknya, langsung menyapa ketika memasuki perbatasan Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali. Tak ada satu pun pemukiman warga di sekitarnya. Hanya sebuah bangunan mungil berukuran 2 x 3 meter, tampak berdiri kokoh di atas sebuah saluran irigasi milik Subak Tenganan. Subak merupakan sebutan untuk sistem saluran irigasi sawah tradisional di Bali.

Sebuah generator listrik yang digerakkan oleh putaran turbin dari aliran air subak, terlihat memenuhi bangunan mungil yang didominasi bahan kayu. “Listrik yang dihasilkan di sini, kami pakai untuk menggerakkkan penggilingan beras. Jadi, padi yang dihasilkan desa kami, bisa langsung kami olah jadi beras,” begitu Mangku Wayan Widya, tokoh Desa Adat Tenganan Pegringsingan, menjelaskan detil alur kerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) itu.

Mikro hidro merupakan pembangkit listrik tenaga air skala kecil yang ramah lingkungan. Teknologi sederhana yang mengubah aliran air menjadi listrik tersebut, kini coba diterapkan warga masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan untuk menggerakkan penggilingan beras di desa mereka. “Semoga dengan begini, masyarakat desa kami tidak perlu lagi beli beras. Jadi kami bisa menikmati beras hasil panen di sawah sendiri,” harap Mangku Widya.

Pembangunan PLTMH oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan, memang bukan tanpa alasan. PLTMH dibangun atas kesadaran masyarakat akan perubahan kehidupan sosial dan ekonomi yang mereka jalani. “Kami menyadari ada yang janggal. Kami punya sawah seluas 255 hektar, tetapi semua warga kami beli beras di luar desa,” terang Wakil Kelihan Adat Desa Tenganan Pegringsingan, Nyoman Sadra. Kelihan adat merupakan sebutan bagi tokoh pemimpin desa di Bali.

Dijelaskan Sadra, masyarakat Tenganan dulunya hidup dari sawah desa seluas total 255 hektar. “Bahkan dulu kami semua di sini punya lumbung padi, untuk menyimpan hasil panen. Seluruh hasil panen kami gunakan untuk konsumsi sendiri,” kenang Sadra. Namun kini, lumbung-lumbung padi milik warga tak lagi berfungsi. “Sekarang, semua warga beli beras di luar desa. Di swalayan atau toko-toko,” terang Sadra. Masyarakat kini terpaksa membeli beras, karena hasil panen dari sawah mereka dijual dalam bentuk gabah. Tak cuma itu. Beralihnya mata pencaharian penduduk ke bidang pariwisata, membuat sawah-sawah mereka digarap oleh warga desa tetangga dengan sistem bagi hasil.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan masyarakat adat Tenganan, lahan sawah desa seluas 255 hektar dapat menghasilkan sedikitnya 500 ton beras setiap kali panen. Namun dengan sistem bagi hasil yang belakangan diterapkan masyarakat, desa adat mendapat hasil yang jauh lebih kecil. Di tahun 2006 misalnya, desa hanya menerima 266 ton beras. Sadra memperkirakan, dari total panen yang seharusnya mereka terima pada tahun 2006, masyarakat desa mengalami kerugian total Rp. 300 juta. “Ditambah lagi, hampir semua masyarakat harus mengeluarkan uang untuk membeli beras,” keluh Sadra.

Penggilingan beras mikrohidro diharapkan menjadi solusi untuk membangun kembali swasembada beras di Tenganan, dengan cara yang tetap ramah lingkungan. Itu sebabnya, selip beras digerakkan dengan tenaga listrik yang tidak membutuhkan bahan bakar fosil. PLTMH hanya memanfaatkan sumber daya air dari sungai yang melintasi desa, Sungai Buhu. Debit air sungai Buhu yang cukup besar, yakni 350 liter/detik, kini bisa menghasilkan sedikitnya 12.500 watt listrik untuk menggerakkan alat penggilingan beras. Program PLTMH dibuat masyarakat desa Tenganan atas dukungan Yayasan Wisnu, Global Environmental Facilities-Small Grannt Programs (GEF-SGP), Jaringan Ekowisata Desa, Bank Indonesia (BI), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Desa Adat Tenganan Pegringsingan memang tergolong satu dari sedikit desa di Bali, bahkan mungkin Indonesia, yang punya kepedulian terhadap masalah lingkungan. Jauh sebelum masyarakat dunia berteriak tentang pemanasan global, desa yang terletak di bagian timur pulau Bali ini sudah mengatur pelestarian lingkungannya dalam awig-awig (aturan) desa. Aturan desa jelas mengatur peruntukan lahan dari total 917 hektar wilayahnya. “Itu sebabnya, luas sawah desa tetap 255 hektar sejak dulu. Tidak pernah berkurang. Kami tidak pernah mengalihkan fungsi lahan di sini,” ujar Sadra bangga.

Keseluruhan tanah di Desa Tenganan adalah milik desa adat, walaupun atas nama perorangan atau kelompok. Pengelolaan tanah diatur jelas dalam aturan desa, terutama untuk mempertahankan keberadaannya dan kepemilikannya. Masyarakat Tenganan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah kepada orang luar Tenganan. Hal inilah yang menyebabkan luas wilayah Tenganan saat ini masih sama seperti pada abad ke-11 silam. Dalam aturan desa juga tegas disebutkan bahwa desa adat memiliki hak ngerampag, hak mengambil hasil bumi di tanah milik pribadi.

Sederet aturan lainnya, juga tetap dipegang erat masyarakat di desa yang kini menjadi desa wisata budaya itu. Pohon yang ada di wilayah Tenganan misalnya, tak boleh ditebang sembarangan, bahkan untuk pohon yang tumbuh di tanah milik pribadi. Terutama untuk pohon nangka, tehep, kemiri, pangi, cempaka, dan durian. Bahkan untuk memetik hasilnya, warga hanya dihasilkan mengambil buah yang jatuh setelah matang di pohon. Jika pohon-pohon tersebut tumbang, maka kayunya akan secara otomatis menjadi milik desa. Kayu tersebut nantinya bakal digunakan untuk membuat atau memperbaiki fasilitas umum. Karena sudah menjadi aturan, maka semua bentuk pelanggaran bakal dikenai sanksi adat. Dapat berupa teguran, dikucilkan atau bahkan dikeluarkan dari desa.

Aturan ketat Desa Tenganan, membuat desa ini tetap terjaga kelestarian alamnya. Bahkan ketika masyarakat Indonesia heboh-heboh dengan aksi tanam sejuta pohon, nmasyarakat Tenganan tak lagi menemukan lahan kosong untuk bertanam. “Kita tidak tahu lagi harus tanam pohon di mana,” ujar Sadra. Permukiman penduduk tetap terjaga tanpa mengganggu lahan hutan dan persawahan. “Jadi jelas, masyarakat Tenganan sudah melakukan konservasi lingkungan sejak abad ke-11. Mereka tidak perlu ikut aksi tanam sejuta pohon, karena mereka sudah menjaga pohon-pohon yang ada sejak dulu,” ujar I Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu.

Pembangunan selip beras bertenaga mikrohidro diharapkan bisa menjadi bentuk lain dari upaya konservasi lingkungan di Tenganan. Diakui Suarnatha, dana yang diperlukan untuk membangun selip beras mikrohidro tersebut tak sedikit, mencapai hampir Rp. 400 juta. “Tapi kita harus lihat manfaatnya. Ini bukti upaya pelestarian lingkungan yang nyata dari masyarakat Tenganan dengan kearifan lokalnya,” tegas Suarnatha. Masyarakat Tenganan membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menyelamatkan alam dari kerusakan lingkungan. [Ni Komang Erviani / dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 4 Desember 2007]